Rabu, 04 September 2013

Gorontalo, Perceraian & Siklus Kehidupan

Gorontalo, Perceraian & Siklus Kehidupan
& Co-Owner negarahukum.com
Gorontalo Post, 31 Agustus 2013



Setahun silam, tahun 2012, masih berdomisili di Gorontalo, sejak saya masih menjadi salah satu tenaga pengajar di salah satu PTS Gorontalo. Sebagai penangguh jawab mata kuliah Hukum Acara Peradilan Agama. Ketika tiba waktunya saya menjelaskan alasan perceraian dengan alasan perzinahan. Ternyata relevan materi “perceraian” dengan latar sosio historis. Kampung tempat dimana saya mengajar.

Namun cerita yang menarik, bukan pada materi inti dari mata kuliah waktu itu. Saya menutup perkuliahan dengan ceritra. Sambil lalu ruangan kelas, tiba-tiba terhenyak. Ketika saya memulai cerita yang saya beri judul “siklus kehidupan”. Cerita itu saya angkat dari opini yang pernah ditulis oleh Guru Besar UIN Makassar atas nama Professor Hamdan Jauhannis di salah harian Koran Makassar.

Begini ceritanya; di dalam sebuah perusahaan tersebutlah seorang pimpinan yang bernama Direktur. Direktur tersebut memiliki salah seorang sekretaris, berdasarkan kelaziman sekretris itu adalah dari kalangan wanita.

Direktur perusahaan itu, hendak bertemu dengan salah satu pimpinan direktur lainnya di luar kota. Maka ia menelphon sekretarisnya agar minggu depan, Sekretarisnya itu menyediakan segala keperluannya, agar menemani sang Direktur.

Sebelumnya sang sekretaris adalah ibu rumah tangga yang memiliki suami, maka sebagai tanggung jawab terhadap suaminya, ia melapor kepada suaminya. Dengan mengatakan “ayah mohon izinmu minggu depan saya akan keluar kota, karena pimpinan perusahaan tempatku bekerja, meminta menemaninya ke luar kota”. Dan sang suamipun mengizinkan isterinya untuk berangkat.

Cek per cek, ternyata suami dari sekretaris itu memiiki selingkuhan di sebuah sekolah kurus bahasa inggris. Sebab istrinya akan keluar kota, maka dengan sangat lowong waktunya, ia memiliki kesempatan untuk selingkuh dengan guru kursus itu.

Ternyata tanpa sepengetahuan Direktur, cucunya adalah salah satu murid dari guru kursus yang menjadi aktor perselingkuhan dari cerita ini. Oleh karena sang guru kursus, hendak memenuhi “hasrat nafsu” teman selingkuhannya. Pada pertemuan mengajar ia menyampaikan kepada siswanya, “mohon minggu depan anak-anakku tidak usah masuk sekolah karena saya tidak masuk, karena minggu depan saya sibuk.”

Salah satu siswa dari sekolah kursus itu, akhirnya ia sangat bahagia, dengan semangat ia menghubungi kakeknya, sang direktur tadi, agar menemaninya minggu depan, jalan-jalan keluar kota, karena kakeknya pernah menjajinya, Cuma tidak ada waktu liburnya, sehingga ia belum sempat menagih janji kakeknya itu.

Sang direktur yang juga kakek dari siswa sekolah kursus tersebut, karena teramat sayang pada cucunya. Akhirnya ia membatalkan keberangkatannya untuk keluar kota. Agar dapat menemani cucunya. Sang Direktur kemudian menelphon sekretarisnya “bahwa minggu depan keberangkatannya ia batalkan ”lalu si sekretaris juga menelphon suaminya kalau dia tidak jadi berangkat, si suami juga menelphon selingkuhannya agar tidak datang bermalam ke rumahnya, karena ia takut ketahuan oleh isterinya.

Mau tidak mau permpuan selingkuhan, sebagai guru kursus juga menelphon siswanya, kalau sedianya dia tetap masuk mengajar minggu depan, dan mengatakan kepada siswanya bahwa dia tidak jadi sibuk. Harapannya agar semua siswanya tetap masuk bersekolah.

Terpaksa si cucu tadi menelphon kakeknya kalau dia tidak jadi jalan-jalan, karena tidak ada waktu libur. Dan seterusnya cerita, itu hingga semua pada membatalkan rencana awal dan menjalani rutinitas hari-hari mereka. Tanpa lagi ada niat dan motif perselingkuhan.

SIKLUS KEHIDUPAN
Dari cerita di atas, siapa sesungguhnya yang bersalah, apakah sang direktur yang terlalu gampang, membawa sekretarisnya keluar kota padahal dia memiliki tanggug jawab, untuk memenuhi kebutuhan lahir dan batin suaminya, bukankah pernikahan adalah ikatan lahir batin antara suami-isteri yang berjalan secara timbal balik. Ataukah sang sekretaris yang telah memilih menjadi seorang sekretaris, sehingga lupa dan lalai pada tanggug jawabnya sebagai siteri. Ataukah sisuami yang mencampakan rasa cinta, kasih sayang suaminya, istrerinya sudah rela bekerja untuknya, dengan sembunyi-sembunyi ternyata ia berselingkuh di saat isterinya keluar kota. Ataukah guru kursus tadi yang sudah tahu kalau sang laki-laki tersebut sudah memiliki isteri, tapi dia tetap mauh berhubungan layaknya pasangan kekasih, padahal dia adalah seorang guru yang patut menjadi teladan untuk siswanya.

Jawabnya, yang jelas, yang salah tetaplah salah. Maka boleh jadi perzinahan yang terjadi setiap tahun di Gorontalo merupakan “siklus kehidupan” yang ditentukan oleh satu orang, yang selalu berniat, berpikir hingga berbuat salah. Dan impasnya terjadi secara sitemik. Perceraian semakin meningkat jumlahnya karena kita sebagai pelaku dalam realitas kehidupan yang menjadi penyebabnya. Kemudian penyebab satu menimbulkan sebab lainnya yang berjalan terus menerus.

Kalau niat kita baik maka akan diganjar dengan kebaikan pula oleh Allah SWT. Kalau buruk sudah tetunya yang hadir dalam mata telanjang di tengah-tengah masyarakat adalah keburukan yang tiada lain juga adalah ketimpangan , kesesatan dan pada akhirnya menjadi mala petaka bagi orang yang tidak mau menebarkan kebaikan.

Dan disini pula termaktub hikmat, sehingga para rohaniawan, tidak putus-putusnya mengajak untuk berbuat baik, dan mencegah pada perbuatan yang keji, amar-ma’ruf nahi munkar. Oleh karena siklus kehidupan menjadi jawaban bahwa tebarlah kebaikan dimanapun hingga engkau mendapatkan kebaikan pula.

Kalau semua orang pada sadar untuk menanggung hak dan kewajibannya sebagai suami atau isteri. Sadar akan semua imbas dari perbuatannya. Mustahil imbasnya akan merembes pada anak hingga cucu-cucu, dan generarsi muda kita. Untuk memperoleh internalisasi dari keluarga yang menjadi lingkungan pertama, memperoleh absorbsi etika dan moral dari keluarga-keluarnya.

Sebaliknya, kalau kita tidak pernah sadar, untuk bertindak atas dasar dan niat kebaikan, dalam keluarga saja, praktis anak-anak yang lahir tanpa ayah ibu karena percerain yang berakhir karena alasan perzinahan. Sudah tentu anak-anak kita akan terputus untuk memperoleh, dorongan untuk berbuat dan menebarkan kebaikan, dari ayah dan ibunya.

Akhirnya kita semua, patut sadar, saya hanya dapat menulis dan mengajak kepada pembaca, yang menentukan adalah diri kita sendiri. Maka mulai hari ini dan selanjutnya mari kita sadar untuk bertindak dengan niat baik, agar konsekuensi dari perbuatan itu semuanya akan berakhir pada kebaikan. Sebagaimana pesan dalam kearifan suku bugis yang juga bersesuaian n dengan perintah dalam agama Islam “naacappuri deceng” (berakhir dengan kebaikan; khusnul khatimah)!***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar