Rabu, 04 September 2013

Aristocracy Of Money

Aristocracy Of Money
Aspianor Masrie  Dosen Hubungan Internasional Fisip Unhas
Tribun Timur Makassar, 04 September 2013
 
 

 
 
Pemilukada Makassar 2013, nampaknya sudah tidak lagi menjadi pesta perubahan bagi kesejahteraan rakyat, akan tetapi sudah menjadi ajang pertarungan para kaum kapitalis (pengusaha, cukong dan pemilik modal) yang punya kepentingan ekonomi politik. Realitas politik ini terlihat dari latar belakang kandidat, sebut saja- misalnya: keberadaan Erwin Kallo dengan kekayaan berjumlah Rp 34.678.780.121 ditambah US $ 6.370, melakukan idol untuk mencari pasangan guna bertarung dalam pemilukada atau Irman Yasin Limpo yang memiliki kekayaan Rp 2.334.374.883 ditambah US $ 25.388 mengunakan kendaraan PAN dan PPP. 
 
Disamping itu, kaum kapitalis memanfaatkan moment pemilukada untuk memperkuat hegemoni ekonominya dengan cara menggelontorkan dana yang tidak terbatas kepada kandidat potensial untuk memenangkan Pemilukada. Bahkan, ada kemungkinan kaum kapitalis melakukan money laundring untuk membiyayai kandidat tertentu. Hal ini disebabkan tidak adanya akses bagi publik untuk mengakses aliran dana yang didapat dari para kandidat secara transfaran. Besarnya peran uang dalam Pemilukada kali ini menyebabkan para kandidat akan tersandera dalam politik balas jasa terhadap kaum kapitalis. 
 
Oleh karena itu, tidak mengherankan pasca kandidat terpilih akan mengorbankan berbagai kepentingan warganya untuk menjawab seluruh kebutuhan para kaum kapitalis yang mendanainya. Sedangkan, janji politik yang dijanjikan selama proses pemilukada, hanya tinggal janji. Realitas politik ini, akan membawa implikasi berbahaya karena akan melahirakan aristocracy of money. Akibatnya, Peraturan Daerah (Perda) khususnya menyangkut kebijakan ekonomi akan berpihak kepada kaum kapitalis. Sebagaimana yang terlihat wariskan Pemerintahan Ilham Arief Sirajuddin dan Supomo Guntur, Peraturan Daerah No.15/2009 tentang perlindungan, pemberdayaan pasar tradisional dan penataan pasar modern yang yang tidak berpihak terhadap warga kecil Makassar.

Money Politics
Aristocracy of money ditandai dengan maraknya money politics selama proses pemilukada. Hasil penelitian The Indonesian Power for Democracy (2009), menunjukkan bahwa pengaruh uang sangat mewarnai dan menentukan dinamika dan proses politik Pemilukada. 
 
Dalam Pemilukada Makassar 2013, aristocracy of money terlihat dari beberapa pasangan kandidat yang harus membeli partai politik untuk dijadikan kendaraan politik atau kandidat independent yang harus membeli suara rakyat (photocopy KTP) melalui broker politik. Disamping itu, para kandidat mengeluarkan ongkos politik yang sangat besar untuk mendanai proses kampanye politik dengan membuat poster, baliho, penaggalan, pemasangan iklan, konsultan politik, lembaga survei, stakeholder tim sukses, sumbangan, dan hadiah yang dikemas dalam berbagai bentuk kegiatan pendidikan, sosial, keagamaan, seni, dan olah raga. Bahkan realitas politik yang paling buruk, setiap kandidat harus menyiapkan modal untuk melakukan politik serangan fajar guna membujuk pemilih untuk memilihnya. Modus operandi money politics yang dilakukan oleh para kandidat terjadi dihampir setiap tahapan pemilukada dalam bentuk; uang sosialisasi, uang pangkal, uang untuk partai, uang membeli suara pemilih, dan uang untuk perhitungan suara.

Money politics dalam demokrasi dikategorikan sebagai jual beli suara dengan cara membagi-bagikan uang atau barang kepada pemilih yang memiliki hidden agenda guna mempengaruhi suara pemilih (vooters). Realitas politik ini disebabkan lemahnya Undang-Undang dalam memberikan sanksi tegas terhadap pelaku money politic. Sebagaimana yang tercantum dalam pasal 82 ayat 1 UU No 32 Tahun 2004, menyatakan bahwa pasangan kandidat dan stakeholder tim sukses dalam kampanye dilarang menjanjikan dan atau memberikan uang atau materi lain untuk memengaruhi pemilih, tetapi tidak menyertakan penjelasan rinci mengenai stakeholder tim sukses itu sendiri. Dengan demikian, peraturan perundangan tentang pemilukada tidak memberikan sanksi tegas terhadap para pelakunya. 
 
Data Bawaslu 2011, menunjukkan bahwa money politics tidak hanya terjadi pada tahapan pemungutan suara, akan tetapi juga terjadi pada tahapan pemutakhiran data, kampanye, masa tenang, pemungutan suara, dan penghitungan suara. Sedangkan, jumlah kasus money politics mencapai 367 kasus dalam bentuk bujukan untuk memilih pasangan kandidat tertentu dengan imbalan Rp. 20 ribu - Rp. 5 juta. Dalam Pemilukada Makassar 2013, money politics bisa mencapai Rp. 10 juta, sebagaimana program bantuan usaha yang ditawarkan pasangan Tamsil Linrung-Das'ad Latif.

Ironisnya, keberadaan money politics dalam Pemilukada Makassar 2013, ditoleransi di masyarakat. Dengan dalih, kedua belah pihak (kandidat dan pemilih) sama-sama membutuhkannya. Hal ini dapat dibenarkan sepanjang tidak ada unsur pemaksaan, intimidasi, dan bentuk-bentuk kekerasan politik lainnya. Oleh karena itu, praktik money politics sangat sulit dikenai hukuman, kecuali yang tertangkap basah. Sedangkan, pelaku yang tidak tertangkap akan sulit dilacak, apalagi dengan pertimbangkan klausul bahwa calon pemilih bisa saja menerima pemberian uang dari para kandidat/stakeholder tim suksesnya, namun bebas menentukan pilihannya. Klausul semacam ini biasanya dianggap sebagai win win solution untuk menoleransi money politics di tengah berlakunya hukum ekonomi politik Pemilukada karena adanya supply and demand antara kandidat dan pemilih.

Rasional Choice
Menghilangkan money politics dari para kandidat yang didukung kaum kapitalis dalam Pemilukada Makassar 2013, rasanya amat sulit karena lemahnya hukum menyangkut praktik money politics. Tanpa adanya politicall will dari para kandidat untuk tidak melakukannya dan sikap tegas dari Panwaslu terhadap pelaku money politics selama proses berlangsungnya pemilukada keberadaan money politics akan tetap eksis. Sebagai alternatif solusi, para pengiat demokrasi (akademisi, LSM, tokoh masyarakat, tokoh agama, para budayawan dan media) harus bersikap netral sebagai pertanggungjawaban moral dengan memberikan pendidikan politik kepada pemilih agar menjadi pemilih yang rasional guna menekan praktik money politics. 
 
Pendekatan pilihan rasional (rational choice) yang dipopulerkan oleh Downs (1957) mengasumsikan bahwa pemilih pada dasarnya bertindak secara rasional, ketika membuat pilihan dalam TPS tanpa mempertimbangkan agama, jenis kelamin, kelas, etnis, dan kekerabatan. Dalam konteks rasionalitas, apabila pemilih merasa tidak mendapatkan manfaat dari para kandidat yang sedang berkompetisi, maka tidak akan melakukan pilihan (Golput). Para pemilih rasional akan mengkalkulasi costs and benefits sebelum menentukan pilihan. Dimana, pertimbangan costs and benefits didasarkan pada gagasan atau program yang bersentuhan dengan dirinya berbasis visi, misi, dan program terbaik yang ditawarkan para kandidat.

Untuk menjadikan pemilih tradisional dan idelogis menjadi pemilih rasional untuk meminimalisir praktik aristocracy of money guna mendapatkan pemimpin berkualitas yang berpihak kepada warganya dalam memimpin Kota Makassar lima tahun ke depan, tidaklah mudah. Oleh karena itu, pengiat demokrasi hendaknya menghilangkan budaya politik sungkan guna membuka Pandora’s Box para kandidat, agar para pemilih memiliki pengetahuan track records dari para kandidat. Sehingga,pemilih menjadi rasional dalam menentukan pilihannya. Selain itu, pengiat demokrasi hendaknya memanfaatkan kebiasaan masyarakat Kota Makassar yang hanya menggunakan waktu singkat dalam memperoleh informasi, sehingga opini publik sangat berguna pempengaruhi sikap politik pemilih dalam menentukan pilihan akhirnya. Menimal para pengiat demokrasi menyerukan kepada pemilih untuk mengambil uangnya tapi jangan pilih kandidat pelaku money politics guna mencegah berkembangnya aristocracy of money dalam perpolitikan Makassar.(*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar