Sabtu, 28 September 2013

Mengembalikan Peran Negara

Mengembalikan Peran Negara
Herie Purwanto  Dosen Fakultas Hukum Universitas Pekalongan (Unikal)
SUARA MERDEKA, 26 September 2013





TANTANGAN Kepolisian Negara RI makin bertambah berat. Saat ini, rakyat kian tidak puas dengan kinerja pemerintah dalam memberikan rasa aman. Di sisi lain, polisi yang seharusnya jadi pengayom warga, belakangan ini diliputi suasana teror. Sementara suhu politik menjelang Pemilu 2014 makin meningkat.


Kian tingginya ketidakpuasan rakyat atas kinerja pemerintah dalam memberi rasa aman terlihat dari hasil jajak pendapat Kompas yang dilakukan secara periodik (Kompas, 22/9/13).
Dalam bernegara, pembahasan rasa aman di tengah masyarakat tak akan bisa lepas dari peran Polri. Hal itu mengingat secara yuridis, peran memelihara keamanan dalam negeri jadi domain Polri. Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri secara jelas menyebutkan hal itu.


Karena itu, ketika hasil survei beberapa media, termasuk Kompas, kembali menggugat rasa aman akhirakhir ini, Polri menjadi garda terdepan untuk menjawabnya. Bagaimana strategi Polri mengembalikan peran negara dalam memberikan rasa aman kepada rakyat? Salah satunya secara internal, dengan mengubah konsep untuk menguatkan fungsi preventif yang selama ini terabaikan.


Tiga Fungsi


Konstruksi dari organisasi Polri yang kini didukung sekitar 400 ribu personel, menempatkan bidang-bidang tugas operasional untuk mendukung pelaksanaan tugas tadi. Bidang fungsi operasional itu dikelompokkan dalam tiga pilar, yaitu bidang preemtif, preventif ,dan represif. Bidang preemtif dijalankan oleh fungsi intelijen kepolisian, yang memberikan peringatan/deteksi dini dan kontribusi kerangka bertindak fungsi operasional lain.


Sebagaimana fungsi intelijen pada umumnya, intelijen Polri harus bisa mendeteksi dan memprediksi gejala yang timbul dari tiap kejadian. Sekecil apa pun kejadian itu, harus bisa diproyeksikan dampaknya bagi rasa aman masyarakat. Sebelum jadi benih-benih permasalahan, intelijen sudah harus bisa masuk ke dalamnya, melakukan penggalangan dan menjadikannya sebagai kekuatan positif yang bisa dikelola demi keterwujudan rasa aman.


Ketika peran ini kurang maksimal maka peran tugas preventif (pencegahan) akan tampil. Dilakukan komunikasi, dialog, menampung aspirasi kemudian dikelola untuk bersama-sama Polri mencegah, menguatkan diri (imun) terhadap gelagat terjadinya kejahatan, dalam wujud pengamanan swakarsa. Bila potensi itu sudah amelembaga dalam masyarakat maka ia bisa berperan aktif, bersama-sama Polri, mewujudkan rasa aman.


Ciri-ciri sudah terlembaganya kekuatan tersebut adalah adanya kesadaran masyarakat untuk melapor bila jadi korban kejahatan, bersedia menjadi saksi, melaporkan atau mau peduli tiap ada gelagat yang mencurigakan di sekitar tempat tinggalnya. Adapun konstruksi represif akan bergerak ketika risiko gangguan terhadap rasa aman itu sudah tak bisa dikendalikan melalui upaya preemtif dan preventif atau penegakan hukum.


Penegakan hukum itu mencakup ketentuan undang-undang yang bersifat umum sebagaimana dalam KUHP dan yang bersifat khusus, di antaranya terorisme, korupsi, dan narkotika. Tiga jenis kejahatan tersebut, sejatinya bisa menjadi barometer penegakan hukum oleh Polri, mengingat ketiganya adalah kejahatan luar biasa yang sangat meresahkan masyarakat.


Tempat Favorit


Sebagaimana teori dalam organisasi, tiga fungsi operasional yang menjadi subsistem, harus bisa bersinergi satu dengan lainnya. Tidak boleh ada yang merasa dirinya subsistem utama. Bisa dianalogikan, apalah arti mesin canggih bagi sebuah mobil dengan kapasitas silinder besar namun tidak didukung komponen, seperti selang bensin atau ban, yang berfungsi baik? Inilah yang terjadi pada diri organisasi Polri saat ini.


Kita masih melihat penempatan personel-personel yang îutamaî pada salah satu fungsi, tanpa memberikan keseimbangan pada fungsi lainnya. Masih ada pengotak-ngotakan dan persepsi bahwa fungsi represif adalah tempat favorit, ”pos basah” dan sebagainya. Akibatnya, lulusan terbaik sekolah pembentukan atau pengembangan Polri berebut masuk ke sana. Hal ini sangat disadari oleh pimpinan Polri, salah satunya Kapolda Metro Jaya Irjen Putut Eko Bayu Seno.


Ia membuat terobosan dengan menempatkan lulusan Akpol, PTIK, ataupun Sekolah Pimpinan Polri pada fungsi preventif. Harapannya, tercetus banyak gagasan baru yang bisa menebalkan daya tangkal, daya cegah masyarakat terhadap kejahatan, sekaligus menguatkan partisipasi mereka terhadap tugas Polri. Harus ada perubahan konsep bahwa fungsi pencegahan yang diemban fungsi Bimbingan Masyarakat (Binmas) Polri, bukan pelengkap dari fungsi-fungsi yang ada. Lebih baik mencegah ketimbang membiarkan menjadi penyakit, yang sulit untuk menyembuhkannya.


Fungsi preventif kuat, masyarakat imun, dan berpartisipasi pada tugas Polri, akan menjadi kekuatan besar dalam mengatasi gangguan kamtibmas. Realitas itu secara otomatis bisa mengembalikan peran negara dalam menjamin rasa aman rakyat. ●


Reaksi: 







Memelihara Hak Hidup
Anang Sulistyono ; Peserta Program Doktor
Universitas Tujuhbelas Agustus Surabaya

SUARA KARYA, 27 September 2013






Salah satu peran negara yang digariskan konstitusi adalah menjaga, melindungi, atau menyelamatkan hak hidup warga. Kalau hak hidup warga sering sering terancam dan dijadikan obyek permainan, ini mengindikasikan kegagalan negara dalam memerankan peran humanitas strukturalnya.


Firman Allah SWT menyebutkan, "Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah ia memelihara kehidupan manusia semuanya" (QS, Al-Maidah: 32). Ayat ini ditafsirkan oleh Nurcholis Madjid, "siapa yang menghidupi satu orang, identik dengan menghidupi manusia sejagad, dan siapa yang membunuh satu orang, identik dengan membunuh manusia sejagad".
Interpretasi Cak Nur tersebut dapat dipahami, bahwa hidup seseorang di muka bumi ini wajib dilindungi. 


Perlundungan kepadanya, sama dengan melindungi puluhan dan jutaan manusia lainnya. Yang tergantung pada nyawa satu orang bukan hanya anak, isteri, atau anggota keluarga dekatnya, tetapi juga elemen masyarakat lainnya. Ketika nyawa seorang anak manusia tercabut, bisa terjadi, kepentingan banyak orang akan tereksaminasi.


Dalam Pasal 9 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia ayat (1) dipertegas, bahwa setiap orang berhak untuk hidup, dan mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya. Ketentuan yuridis itu menunjukkan bahwa hak untuk hidup merupakan hak mendasar yang melekat atau dimiliki seseorang sebagai karunia Tuhan. Tuhan telah mempercayakan kepada manusia untuk menjalani atau membangun kehidupannya dengan baik, benar, dan bertanggungjawab, terutama saat manusia ini mendapatkan amanat publik.


Salah satu model menjalani kehidupan dengan baik adalah dengan cara berusaha melindungi dan menjaga diri dari berbagai bentuk ancaman atau penyakit sosial yang membahayakan diri dan keselamatannya. Salah satu jenis penyakit sosial yang membahayakan ini adalah kemiskinan. Kemiskinan merupakan jenis penyakit yang bisa mengakibatkan terjadinya disharmonisasi internal keluarga maupun disharmonisasi punlik.


Kemiskinan, sebagaimana laporan Bank Dunia terbaru menunjukkan, sebagian besar penduduk miskin di Asia Tenggara tinggal di Indonesia. Lebih dari 110 juta orang Indonesia hidup dengan penghasilan kurang dari 2 dolar AS atau kurang dari Rp 19 ribu per hari. Jumlah orang sebanyak itu sama dengan total penduduk Malaysia ditambah seluruh penduduk Vietnam dan Kamboja (Ilham Gunawan, 2011).


Meski kemiskinan termasuk penyakit sosial, namun seseorang miskin tetap tidak boleh dibiarkan hidup hingga meninggal dunia akibat kemelaratannya itu. Mereka yang hidup miskin ini tetaplah pelaku sejarah yang menentukan kualitas keberlanjutan hidup diri dan elemen keluarganya. Mereka itu, mempunyai hak hidup yang mendapatkan privilitas untuk melakukan pembebasan dan pembaruan bagi keluarganya, seperti kewajiban mengingatkan negara saat elemennya "membisukan" nurapninya atau merebut haknya saat didengar ada pemimpin negara atau elit kekuasaan bermaksud membagi-bagikan dana publik seperti bantuan langsung sementara masyarakat (BLSM).


Terbukti, begitu mereka mendengar adanya BLSM maka terjadi booming orang miskin dan mereka berbondong-bondong mendatangi tempat penyaluran. Sikap seperti ini menandakan, bahwa mereka merindukan kesejahteraan.


Sahabat Ali RA, sosok cendekiawan dan pejuang muda di zaman Nabi Muhammad SAW pernah berkomentar, "andaikan aku bertemu kemiskinan, tentu aku akan membunuhnya". Komentar ini dapat ditafsirkan, bahwa dalam diri pejuang atau pemegang kekuasaan, orang-orang miskin merupakan "proyek fundamentalnya", yang wajib diprioritaskan untuk digarap.


Orang miskin bukan hanya menjadi "proyek" kesalehan invidual, tetapi seharusnya juga kesalehan kekuasaan. Siapa saja yang sedang menyandang prediket aparat negara, punya kewajiban untuk membuat peran dan kewenangannya mampu memberikan dampak perubahan di lini perbaikan ekonomi atau kesejahteraan hidupnya.


"Orang-orang miskin, orang-orang di jalanan, yang tinggal dalam selokan, yang kalah di dalam pergulatan, yang diledek oleh impian, janganlah mereka ditinggalkan", demikian sajak WS Rendra, yang sebenarnya sebagai bentuk kritik terhadap praktik pelecehan, pendiskriminasian, penindasan atau ketidakadilan terhadap orang-orang miskin, orang-orang yang tertindas, atau kumpulan manusia yang sedang dikalahkan oleh seseorang atau sekelompok orang yang membangun kekuatan yang memproduk kezaliman kekuasaan berlapis-lapisnya.


Dalam kesalehan kekuasaan, setiap pejabat atau pengelola dananya orang miskin dituntut "sahih" dalam ucapana mupun tindakan. Antara kata dengan realitas harus menyatu menjadi bahasa yang berpihak pada rakyat. Kesahihan kekuasaan merupakan investasi terbesar bagi kemaslahatan publik. Rakyat miskin tidak akan pernah bisa keluar dari ketertindasannya, selama pelaku kekuasaannya masih lebih senang dan bangga memelihara dan membenarkan pola penindasan dan pendiskriminasian.


Apa yang sudah menjadi hak orang miskin tidak boleh ditunda-tunda, diabaikan, ditelantarkan, dan apalagi sengaja dipermainkan, karena sejatinya, orang miskin ini sudah tidak sabar menunggu haknya berpihak kepadanya. Selama ini, orang miskin lebih sering dieliminasi dan alinasikan dari bingkai amanat struktural kerakyatan.


Ketika suatu saat muncul kemarahan atau sikap radikalis dari orang miskin, mereka cepat-cepat distigma sebagai rakyat yang tidak penyabar, tidak membudayakan antri, atau tidak pekerja keras. Padahal mereka ini sejatinya sudah banyak berusaha membebaskan diri dari kemiskinannya, namun tetap kesulitan atau terkadang dibuat sulit oleh negara.(*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar