Kamis, 10 Oktober 2013

Mahkamah Diambang Kiamat Konstitusi

Mahkamah Diambang Kiamat
Damang Averroes Al-Khawarizmi  ;   Peneliti Republik Institute 
Gorontalo Post, 10 Oktober 2013


Untuk pertama kalinya tercatat dalam sejarah di Republik ini. Tersebutlah nama pucuk pimpinan MK (Mahkamah Konstitusi) “Akil Mochtar” (AM), yang meruntuhkan wibawa MK, dalam sekejap. Tepatnya pada rabu malam (2/10/013) AM diciduk KPK. Akil Mochtar kini berada di tahanan KPK karena ditangkap saat diduga menerima suap Rp 2 miliar-Rp 3 miliar (berbentuk dolar Singapura). Perkaranya terkait dengan penanganan sengketa pilbub Gunung Mas, Kalteng, dan Lebak, Banten. Akil ditangkap bersama Chairun Nisa (legislator Golkar), Hambit Bintih (bupati Gunung Mas), Cornelis (pengusaha), Tubagus Wawan (suami Airin, bupati Lebak), serta Susi (perantara).

Tidak tanggung-tangung berita penangkapan AM menjadi head line berita harian internasional, berita itu menyebar di Amerika, Australia, hingga tanah Jazirah Arab. Sebut saja misalnya New York Time yang mewawancarai sekretaris jederal TII (Transparency International Indonesia) Dadang Triasongko, yang menyebut penangkapan AM sangat berbahaya bagi demokrasi Indonesia yang mengalami transisi dari masa reformasi tahun 1998. Sementara itu Aljazeera, Reiters dan Hufftingtin Post dalam nada yang sama menulis bahwa kasus AM merupakan skandal kasus korupsi baru di dunia yang melibatkan ketua Mahkamah Konstitusi.

Berita penangkapan AM pada akhirnya memporak-porandakan wibawa MK kita. Prestasi MK yang diakui oleh dunia berada dalam rangking kelima sebagai lembaga yang paling efektif pun luntur sudah, semua kinerja dan prestasi yang pernah diraih oleh MK kini tinggal “boroknya” saja. Operasi tangkap tangan terhadap AM, menjadi bahan pergunjingan di berbagai harian, media, diskusi, talk show, hingga warung-warung kopi. MK seolah menginfirmasi peribahasa “setitik nila merusak susu sebelanga”. Karena satu orang saja yang tertangkap tangan, hakim-hakim lainnya, yang masih memiliki integritas turut dicerca, dimaki, dihujat bahkan ada sekelompok elit berharap ada baiknya benteng keadilan, produk reformasi itu dibubarkan saja. Sehingga tak berlebihan kalau mengatakan MK sebagai salah satu pilar Negara hukum yang lahir resmi bekerja sejak 16 Agustus 2003 tersebut kini terancam krisis kepercayaan, kini berada diambang kiamat. 

Diambang Kiamat

Setali tiga uang, prestasi yang ditasbihkan oleh KPK, atas penangkapan AM, pertama kali pucuk pimpinan diseret menuju gedung prodeo tidak cukup sampai disitu. Penangkapan AM untuk pertama kalinya pula menorehkan tinta, tiga organ kekuasaan menjadi “korban” yang terseret dalam pusaran korupsi. Dilapangan yudicatif ada nama Akil Mochtar (AM) sendiri, di lapangan Legislatif ada nama Chairun Nisa (CN) anggota DPR dari fraksi Golkar, terakhir di lapangan eksekutif “diringkus” nama itu oleh bupati petahana Kalimantan Tengah Hambit Bintih (HB).

Tiga lapangan kekuasaan berikut menunjukan Trias Politica (Montesqie, 1418) kini bermetamorfosa, bersimbiosis dengan laku korupsi maka lahirlah Trias Corruptica yang tersegmentasi dalam tiga lapangan kekuasaan yang serba “korup”. Eksekutif menjadi execu-thieves, legislatif menjadi legisla-thieves, judikatif menjadi judica-thieves. Rupanya kejahatan kerah putih telah melanda semua lapangan kekuasaan Negara itu.

Dapat dimaklumi “nada kesal” dua mantan ketua MK, Prof Jimly yang tidak “tawar-tawar” AM, suksesornya mesti dihukum mati, walaupun sejatinya UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, hukuman mati hanya untuk tindak pidana korupsi tertentu saja (seperti korupsi atas dana bencana alam). Dalam nada yang sama Prof Mahfud pun “mengamini” kalau AM pantas dihukum seberat-beratnya, hingga masa pidana 20 tahun. Karena amat berangnya Mahfud bahkan diberbagai media sempat berujar “bubarkan saja MK”.

Dua mantan ketua MK yang “geram” ditambah komentar pakar hukum tata Negara (Refly Harun) yang pernah mencurigai mafia hukum di MK tiga tahun silam, semakin menambah ketidakpercayaan publik atas kinerja MK. Akhirnya MK kini benar-benar diambang kiamat, mengalami demoralisasi, hingga memutar “arah jarum jam” surut ke belakang. 

Perpu dan KY

Dibalik isu “pembubaran” MK mesti disikapi bijak bersama, jangan terlalu “gegabah” menarik kesimpulan untuk membubarkannya. Membubarkan MK sama halnya menggiring konstitusi kita dalam jurang kehancuran. Kalau MK dikiamatkan, dibubarkan, dialihfungsikan kewenangannya maka dengan cara apa konstitusi dibentengi ? Ada yang beranggapan alihkan kewenangan untuk mengadili sengketa Pilkada ke MA, bukanlah pendapat yang menyelesaikan masalah. Patut diketahui bahwa fungsi MK mengadili sengketa Pilkada merupakan amanat konstitusi untuk mengadili “daulat rakyat” sehingga kewenangan itu diberikan kepada MK. MK merupakan guardian constitution yang tidak bisa ditawar-tawar dan dialihfungsikan kewenangannya.

Dibalik itu, tercium pula niat Presiden untuk mengeluarkan Perpu demi penyelematan MK, dalam hemat penulis penangkapan AM bukanlah hal yang patut disikapi dengan Perpu. Perpu bolah saja dikeluarkan dalam hal kegentingan yang memaksa sebagaimana diamanatkan oleh UUD NRI 1945, tetapi tertangkpanya ketua MK (AM) tidak dapat diklasifikasikan sebagai “hal yang genting”. Toh hanya satu hakim konstitusi yang terindikasi kasus suap. Masih ada hakim anggota lain yang dapat menjalankan tugas dan kewenangan MK tersebut. Kalau seandainya, semua hakim konstitusi yang berjumlah delapan orang itu, terseret dalam pusaran korupsi, mendapat aliran suap dari AM, setelah ditelusuri oleh KPK, maka dalam kondisi tersebut dapat dikatakan “MK benar-benar dalam keadaan darurat”. 

Selain itu, Perpu yang dikeluarkan oleh Presiden amat “berbahaya” karena sewaktu-waktu jika dibiarkan Perpu dapat dikeluarkan oleh Presiden, sewaktu-waktu pula jika MK membuat purusan yang merugikan Presiden kelak, bisa saja ke depannya Presiden akan melawannya dengan Perpu. Hal ini tentu berbahaya, karena putusan MK dapat saja hilang kekuatan putusannya yang final and binding. 

Maka yang perlu dilakukan saat ini oleh MK, majelis kehormatan yang telah dibentuk, tidak perlu membuang banyak waktu dan tenaga, untuk menentukan status AM, melanggar kode etik atau tidak, yang jelas setelah penentuan tersangka terhadapnya, AM bukan lagi hakim konstitusi, dengan sesegara mungkin diadakan pemilihan ketua MK yang dilakukan secara transparan, sehingga fungsi MK dapat berjalan normal kembali.

Terkait dengan niat untuk mengembalikan fungsi KY untuk mengawasi MK, pertanyaan yang akan muncul dengan tawaran ini, dengan cara apa MK mendapat legitimasi sehingga KY dapat melakukan pengawasan terhadap hakim MK, bukankah kewenangan itu sudah dicabut melalui putusan MK di zaman kepemimpinan Prof Jimly dahulu ? Maka yang dapat melawan putusan MK adalah dengan putusan MK pula, sehingga saat ini kalau mau dikembalikan fungsi KY harus menunggu terlebih dahulu pengujian UU KY lagi di MK.

Namun hemat penulis, bukan cara yang solutif jika sekiranya KY yang melakukan pengawasan terhadap MK, karena KY merupakan lembaga Negara yang dapat melakukan sengketa kewenangan di MK. Sehingga posisi KY dalam situasi yang seperti itu, bisa saja mempengaruhi independensi putusan hakim konstitusi. 

Kalau memang mau dihadirkan lembaga yang dapat mengawasi MK, mestinya dibentuk lembaga yang permanen, bisa diambil dari unsur KY, atau dari unsur eksternal lainnya, tapi bukan diambil dari unsur MK. Badan ini bisa dianalogikan ibarat Badan Kehormatan yang dapat memberikan “sanksi etik” terhadap anggota DPR. Namun supaya pengawasan terhadap MK dapat berjalan “proporsional” sekali lagi ditegaskan badan permanen yang melakukan pengawasan “tidak boleh” diambil dari unsur MK. Dengan logika yang sederhana majelis kehormatan yang sudah dibentuk saat ini dapat pula dialihfungsikan sebagai lembaga yang kelak dapat berfungsi melakukan pengawasan atas MK.

Akhirnya, sembari tetap memberi dukungan KPK, jangan lupa pula selamatkan MK. Jangan lagi pernah berpikir untuk membubarkan MK, ataukah menggiringnya dalam ambang kiamat. Jangan karena satu pejabatnya yang korupsi lalu lembaganya mau dibubarkan. Tidak mungkin hanya karena ‘seekor tikus” dalam lumbung padi, tapi lumbung padinya mau dibakar.(*)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar