Senin, 28 Oktober 2013

Masih Perlukah Densus Antikorupsi ?

Masih Perlukah Densus Antikorupsi ?
Tribun Tumur Makassar, 27 Oktober 2013




Komisi III DPR telah sepakat menetapkan Sutarman menjadi Kapolri terpilih, guna mengganti Timur Pradopo. Selanjutnya disampaikan kepada Presiden untuk dilantik sesuai peraturan perundang-undangan. Dari sisi kepangkatan dan pengalaman, Ia dianggap layak menahkodai lembaga penegak hukum yang berkantor di jalan Trunojoyo ini.

Selama Sutarman mengikuti uji kelayakan dan kepatutan, wacana pembentukan Densus Antikorupsi mencuat di ruang Komisi III. Anggota fraksi PPP Ahmad Yani dan Bambang Soesatyo dari fraksi Golkar mengusulkan perlunya pembentukan Densus Antikorupsi untuk membantu kerja polisi memberantas korupsi. Bahkan menegaskan DPR akan siap membantu dalam hal penganggarannya. Gajinya juga nanti disamakan penyidik KPK (Kompas, 22/10).

Bak gayung bersambut pasca-penetapan Kapolri, Sutarman dengan senang hati menerima usulan tersebut. Isu pembentukan Densus Antikorupsi pun menjadi perdebatan hangat di ranah publik. Pro_kontra kemudian bermunculan, Di satu sisi ada yang berpendapat detasemen khusus tipikor urgen untuk dibentuk melihat kondisi bangsa terbelit gurita korupsi. Posisi kontra berargumen lembaga antirasuah sudah mumpuni memberantas para peranggarong uang negara. Terbukti dari hari ke hari kinerja KPK semakin baik dan tanpa pandang bulu, menciduk petinggi lembaga negara seperti kasus baru-baru ini menetapkan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar sebagai tersangka penerima suap.

Bila melihat kedua argumen di atas, pada prinsipnya memiliki niat baik memberantasan korupsi. Apalagi kondisi negeri sudah darurat korupsi. Ibarat tubuh manusia terserang penyakit kanker kronis. Sehingga dibutuhkan langkah-langkah luar biasa (extra_ordinary) dalam penanganannya.

Terkait anjuran parlemen kepada Kapolri terpilih membentuk Densus Antikorupsi sah-sah saja. Di instansi Kepolisian Republik Indonesia, sebelumnya sudah ada Densus 88 Antiteror. Datasemen Khusus yang berwenang melakukan pemberantasan terorisme. Atau dengan kata lain pembentukan Densus baru tidaklah bertentangan dengan konstitusi.

Walaupun demikian, Penulis sendiri menolak pembentukan Densus Antikorupsi Mabes Polri. Pertama, berpotensi terjadi benturan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi. Meskipun Sutarman menegaskan bahwa Densus Antikorupsi akan bekerjasama dengan KPK menguatkan upaya pemberantasan korupsi. Akan tetapi bila lembaga ini memiliki kewenangan sama dengan KPK maka pengalaman masa lalu (baca: kasus Simulator SIM) bisa terulang kembali.

Sedangkan bila dikatakan saling menguatkan dalam upaya pemberantasan korupsi. Seyogianya Sutarman paham tugas pokok Kepolisian menegakkan hukum, melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya (vide Pasal 14 UU Nomor 2 Tahun 2002).

Kemudian dari segi pencegahan dan pemberantasan korupsi, dalam Pasal 26 UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 berbunyi penyidikan terhadap tindak pidana korupsi dilakukan berdasarkan ketentuan dalam KUHAP. Dimana dalam Kitab Undnag-Undang Hukum Acara Pidana Pasal 6 ayat 1 menegaskan penyidik adalah pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.

Sedangkan dari sisi KPK sendiri, lembaga antirasuah dalam melaksanakan tugas koordinasi dengan cara dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi. Artinya tanpa Densus Antikorupsi kedua lembaga (Polri-KPK) wajib saling menguatkan.

Kedua, pemahaman keliru sebagian orang bila hanya berlandaskan pada pemikiran bahwa Densus 88 Antiteror saja bisa dibentuk, kenapa tidak Densus Antikorupsi. Perlu kita ketahui Densus 88 Antiteror dibentuk dengan Skep Kapolri Nomor 30/VI/2003, untuk melaksanakan UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Dengan kewenangan melakukan penangkapan dengan bukti awal yang dapat berasal dari laporan intelijen manapun, selama 7x24 jam.

Berbeda dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, walaupun kepolisian dan kejaksaan juga berwenang. Tetapi undang-undang pemberantasan korupsi memerintahkan dibentuknya lembaga khusus yakni Komisi Pemberantasan Korupsi. Guna melaksanakan perintah tersebut, maka diterbitkanlah UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Suatu lembaga penegak hukum yang lahir karena kurang optimalnya lembaga penegak hukum konvensional.

Selain itu pemborosan anggaran juga terjadi bila Densus Antikorupsi terbentuk. Padahal sekali lagi tanpa Densus pun, pihak internal Kepolisian memiliki unit tindak pidana khusus yang menangani perkara korupsi. Sehingga cukup unit itu saja yang dioptimalkan kinerjanya.

Ketiga, komitmen memerangi korupsi. Inilah poin paling penting bila Sutarman memiliki niat memberantas korupsi. Sangat beralasan melihat sepak terjang kepolisian dalam mengungkap praktik korupsi selama ini. Tidak ada sesuatu yang membanggakan, malahan yang terjadi sejumlah petinggi Polri diduga memiliki rekening gendut seperti Djoko Susilo.

Kuatkan KPK

Oleh karena itu, agar tidak terjadi benturan kewenangan dan pemborosan anggaran negara, serta mengembalikan citra baik kepolisian di mata masyarakat. Maka adapun solusi konkret yang bisa diambil Kapolri ke depan. Pertama, membangun hubungan harmonis antar lembaga penegak hukum dan menguatkan KPK dengan cara pengirim anggota kepolisian guna mengisi kekurangan sumber daya manusia lembaga antirasuah. Bantuan sangat urgen dilakukan melihat banyaknya kasus korupsi yang ditangani tidak sebanding dengan jumlah penyidik KPK yakni hanya sekitar 60-70 orang.

Kedua, memberi jalan bagi pihak luar (KPK) mengungkap kasus korupsi di tubuh instansi kepolisian. Di saat yang sama berani melakukan upaya “bersih-bersih” internal sendiri. Ingat, untuk membersihkan lantai kotor maka tidak bisa menggunakan sapu yang kotor tapi menggunakan sapu yang bersih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar