Kamis, 10 Oktober 2013

Mahkamah Korupsi Negeri Konstitusi

Mahkamah Korupsi Negeri Konstitusi
Gunarto  ;  Ketua Program S-3 Ilmu Hukum Fa­kultas Hukum Unissula Se­ma­rang
SUARA MERDEKA, 09 Oktober 2013






“Kita harus memandang hukum sebagai manifestasi dari nilai-nilai luhur yang bisa jadi penerang jalan hidup”

BEGITU heboh berita berita penangkapan Ketua Mahkamah Konsti­tusi Akil Mochtar sampai-sampai media-media inter­nasional terkemuka, seperti The New York Times, Washington Post, termasuk kantor berita Reuters dan Aljazeera pun memberitakan. NYT mi­sal­nya, memberi judul berita itu dengan ”Top Indonesian Judge Held in Corruption Case”. Korupsi bukan lagi harus diberantas secara hukum melainkan dunia hukum itu sendiri telah dipenuhi praktik-praktik korupsi.

Bila selama ini korupsi itu diidentikkan dengan “mencuri” uang negara, yang terjadi dalam dunia penegakan hukum justru korupsi berupa upaya kontrapenegakan hukum itu sendiri. Makin kuat praktik korupsi di sebuah negara, penegakan hukumnya pun makin lemah. Bahkan, korupsi dan penegakan hukum itu bermetamorfosis secara simbiotik. Karena itu, hukum tidak bisa dijadikan sebagai satu-satunya alat pemberantas korupsi.

Apalagi kalau hukum itu hanya dimaknai sebagai perangkat undang-undang, formal justice, atau legal justice. Pemaknaan semacam itu hanya menganggap hukum tak lebih dari sekadar aturan dan teks-teks yuridis untuk mengukur perilaku dengan standar kaidah boleh atau tidak boleh. Jika itu yang terjadi maka hukum akan terdeviasi ke titik terendah sebagaimana dikhawatirkan Rothwax, mantan hakim Amerika yang melontarkan keprihatinannya dengan mengatakan, ”hukum hanyalah tempat permainan untuk mencari menang atau kalah”.

Penyakit Hukum
Adalah pakar-pakar hukum semacam Alan Dershowitz dan Marc Galanter yang sudah sejak lama selalu menunjukkan sisi kelam dari modernisasi sistem penegakam hukum. Secara absolut para teoretisi dan praktisi hukum selalu menahbiskan nilai-nilai keadilan dan kebenaran sebagai ruang suci bagi persemaian dunia hukum. Tapi keduanya justru ‘’mencurigai’’ postur dan praktik sistem penegakan hukum modern dipenuhi dengan ambisi-ambisi ekonomis yang sejatinya justru antikeadilan

Bahkan Dershowitz dengan penuh keyakinan mengatakan, ìironisnya adalah bahwa makin maju dan makin canggih praktik hukum maka makin besar pula peluang untuk mendayagunakan hukum secara antikeadilanî.

Hipotesis (saya sebut demikian supaya batin dan nurani kita tidak runtuh) ini seakan-akan menemukan ruang yang sangat aktual berkait rangkaian fakta di negara kita. Berapa banyak polisi, jaksa, hakim, dan advokat menampilkan sisi-sisi antikeadilan dalam menerapkan penegakan hukum. Penangkapan aparatur penegak hukum karena praktik penistaan hukum seperti menimpa Akil hanyalah fenomena pucuk gunung es.

Karena itu, kenaifan terhukum harus mulai dihapus secara kritis dengan memandang hukum bukan lagi sekadar perangkat aturan atau undang-undang. Kita perlu memandang hukum sebagai manifestasi dari nilai-nilai luhur yang dapat menjadi penerang jalan hidup bersama menuju kedamaian, harmoni, dan keadilan secara individual dan sosial.

Celakanya, mengutip antro­polog besar Indonesia Koentja­raningrat, masyarakat kita memiliki empat karakter yang cenderung negatif. Pertama; sikap tak sadar akan arti dan kualitas. Sikap ini menjadikan perilaku sosial kita menjadi minimalis dan asal-asalan. Memandang hukum pun asal-asalan. Memangku jabata, serta mengangkat dan menempatkan orang pada jabatan/posisi tertentu juga asal-asalan, sehingga menjadikan semua kualitas perilaku sosial kita juga asal-asalan dan minim kualitas.

Kedua; sikap untuk mencapai tujuan secepatnya tanpa berproses secara kerja keras. Sikap ini menjadikan kita cenderung menghalalkan segala cara meski itu dila­kukan dengan cara paling naif seka­lipun. Misalnya, seorang yang seharusnya menegakkan hukum, karena kepentingan eko­nomi atau kepentingan lain, justru membonsai hukum itu sendiri asalkan tujuannya cepat tercapai.

Ketiga; sikap tak bertanggung jawab. Sikap inilah yang paling merusak sebab orang tidak pernah mengaku bersalah dan karena itu tidak mau bertanggung jawab atas kesalahannya. Bagaimana mung­kin orang yang sudah disumpah untuk memegang jabatan tertentu dan dia diberi fasilitas atas jabatannya itu, justru merusak sumpah dan jabatan itu sendiri.

Keempat; sikap apatis dan le­su. Sikap ini sebuah ketidakpedulian dan mudah menyerah terha­dap keadaan, bahkan cenderung me­ngeluh. Sikap ini tidak meng­gambarkan etos kuat, dedikasi tinggi, dan penuh komitmen terhadap tugas dan cita-cita bangsa. Jika elite bangsa, termasuk juga elite penegak hukum yang dimanjakan dengan fasilitas negara, ternyata lahir dari sikap-sikap ini, sesungguhnya negara ini tengah dipimpin orang-orang yang salah.

Kembali ke Moral
Sudah saatnya kita menyadari bahwa poros kehidupan ini adalah manusia. Manusia yang baik mam­pu menampilkan kehidupan yang baik. Begitu juga dengan dunia hukum. Penegak hukum yang baik, mampu menjalankan roda penegakan hukum yang baik pula. Sebaliknya, sebaik apa pun sistem, jika dikendalikan orang-orang yang tidak baik maka akan menghasilkan produk penegakan hukum yang tidak baik pula.

Setidak-tidaknya, ada tiga tujuan penting memberi fondasi moral. Pertama; kemunculan kesadaran internal secara autentik bahwa kejujuran, kebenaran, dan keadilan merupakan nilai-nilai yang harus dipertahankan dan dijunjung tinggi. Kesadaran ini bersifat self-control atau ibda’ binnafsi. Semua itu membangun kematangan jiwa dan kedewasaan paripurna yang tumbuh secara alami. Sikap ini akan imun terhadap godaan dan rayuan yang bersifat materalistik.

Kedua; terbangun kesadaran transsendental bahwa jabatan itu merupakan kesementaraan dan harus dipertanggungjawabkan baik secara awam maupun secara kha­liqi di hadapan Tuhan. Per­tang­gungjawaban secara tran­sen­detal tidak mungkin diselesaikan secara suap atau gratifi­kasi. De­ngan kesa­daran sema­cam ini, peluang untuk terjadi pe­nyim­pangan semakin kecil. Dengan de­mikian kita bisa ber­ekspektasi bahwa pe­negakan hukum akan lebih murni, jurur, adil, dan dijiwai semangat kebenaran. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar