Senin, 22 Juli 2013

Partai Gagap & Para Orang Kuat

Partai Gagap dan Para Orang Kuat
Arya Budi ; Manajer Riset PolTracking Institute
Koran Tempo 
 
 

Pada saat yang sama, politisi kebingungan untuk mengamankan kepentingannya tetap mendapatkan akses sumber daya negara baik berupa posisi, kursi, dan ‘gaji’. Alhasil, semakin banyak kita menyaksikan perpindahan—atau bahkan eksodus—politisi dari satu partai ke partai lainnya. Hampir semua partai akhirnya mengalami ‘tukar-tambah’ dan bahkan ‘tukar-kurang’. Bahkan dalam catatan Pol-Tracking Institute, Partai NasDem, Hanura, dan Gerindra adalah partai dengan tingkat penerimaan perpindahan politisi paling tinggi secara berturut-turut.

Kegagapan partai dan kebingungan politisi menjelang pemilu 2014 menunjukkan bahwa Indonesia tengah berada dalam the age of catch-all party. Yaitu sebuah periode politik dimana partai tidak lagi peduli dengan ideologi, platform, dan program baik sebagai organisasi politik maupun linkage actor (aktor penyambung) yang mentransformasikan kepentingan pemilih ke dalam kebijakan negara. Sebuah era dimana partai berusaha memakan semua jenis pembilahan sosial yang ada baik agama, kelas sosial, ras, dan profesi (Otto Kirchheimer, 1974). Konsekuensi dari abad kepartaian ‘pemakan semua’ ini adalah pragmatisme politik yang muncul dalam wujud rekruitmen calon legislatif terbuka dan head hunting tokoh publik menjelang batas pengajuan calon legislatif. Nalar partai berubah menjadi lembaga lapangan kerja dari yang secara ideal dibayangkan publik sebagai linkage atau penghubung antara demos dan cratos.

Klingemann, Hofferbert, dan Budge (1999) dalam studinya di 10 negara demokratis di Eropa Barat dan Amerika Utara, menyatakan bahwa pada dasarnya program atau platform partai berpengaruh terhadap kebijakan yang diambil negara. Namun lanjut mereka, para elit partai sebenarnya tidak terlalu peduli dengan kebijakan sehingga mengakibatkan partai mempunyai keluesan untuk bergerak dalam kotinum Kiri dan Kanan, apapun kebijakan akan didukung selama mampu berkontribusi elektoral untuk memposisikan elit pada kursi yang diinginkan. Indonesia sebagai ‘negara demokrasi baru’ sedikit banyak menganfirmasi fakta di negara-negara demokratis Eropa tersebut apalagi sistem kepartaian kita tidak mengenal Kiri-Kanan.

Hal ini terjadi karena para ‘orang kuat’ atau strongperson yang pada awalnya merapat-mengitari aktor tunggal era Soeharto, kini berpendar terdiaspora ke banyak partai di tengah tuntutan iklim demokrasi. Alhasil, fakta politik yang kita saksikan saat ini adalah pelembagaan personal menjadi sebentuk partai politik. Sebagai misal, rusaknya peran dan fungsi struktur lembaga (baca:eksekutif, legislatif, yudikatif) di dalam Partai Demokrat pasca Kongres Luar Biasa adalah akibat despotisme partai di bawah kuasa satu tangan SBY. Atau kemunculan Hanura dan Gerindra pada 2009 dan NasDem menuju 2014 adalah tak lebih dari pelembagaan personal melalui mobilisasi ruled elite akibat turbulensi antar ruling elite sebelumnya. Dan kini platform dan program sosial Partai Golkar adalah refleksi kepentingan figur Ketua Umum yang berniat teguh dalam kandidasi presiden. Sehingga akhirnya, program Golkar adalah program Aburizal Bakrie.

Para ‘orang kuat’ ini mampu meyakinkna publik bahwa terdapat partai politik dan massa simpatisan yang menginginkan dirinya tampil. Tujuannya sederhana namun krusial: mengakses dua sumber penting dari negara: power dan resource. Power menjadi penting di dalam sistem pemerintahan presidensial di Indonesia karena presiden mempunyai kuasa besar (kepala negara dan pemerintahan) dan sulit untuk dijatuhkan (pasal 7 UUD 1945), bahkan bebas dari kritik (baca:penghinaan) dalam diskursus RUU KUHP. Sedangkan resource negara adalah entitas yang masih bisa diakses melalui skema pembiayaan APBN dan penempatan posisi kroni di dalam jabatan-jabatan strategis seperti menteri, ditjend, atau komisaris BUMN dan lembaga negara lainnya dengan potensi dana yang besar.

Padahal menjadi presiden tidaklah gampang. Menurut Richard Neustadt (1919-2003), seorang penasihat tersohor presiden Amerika Serikat dari era Truman, Kennedy, dan Johnson, melalui bukunya Presidential Power (1960)mengatakan bahwa bagaimanapun juga presiden selalu diharapkan untuk “melakukan lebih” bahkan melebihi aturan atau otoritas yang mengijinkan dia melakukan sesuatu. Kadang kondisi figure heavy seperti ini menciptakan megalomania politik. Artinya, dalam analogi yang agak sarkastik, orang gila tak akan pernah menyadari bahwa dirinya gila, bahkan menganggap dirinya waras sementara orang di luar dirinya adalah gila. Sekalipun riwayat kepemimpinan nasional sejak transisi 1999 menyebut bahwa presiden yang melahirkan-merawat partai, bukan partai yang melahirkan presiden, yaitu: Gus Dur lahirkan PKB, Mega dengan PDIP, dan kini SBY memegang penuh PD.

Alhasil, partai politik di Indonesia tidak diukur melalui derajat mewakili atau representativeness, jelasnya partai diukur dengan derajat kesetiaan elit terhadap patron partai atau despotism degree. Apa yang dikata ‘Bapak’ atau ‘Ibu’ maka itulah yang benar sekalipun bekerjanya informal power bertentangan dengan AD/ART partai dan kadang menjadi keputusan mengikat tanpa surat keputusan, cukup dengan SMS misalnya. Partai di Indonesia menjadi partai despotik karena partai sebuah pelembagaan (kepentingan) orang kuat, dan elit mengerubungi orang kuat tersebut hingga menjadi partai politik. Perilaku partai (baca: sikap dan kebijkan politik) tidak dibimbing oleh konstitusi partai, melainkan oleh perilaku para orang kuat di dalam partai. Pada banyak kasus, partai menjadi gagap lalu politisi pun bingung antara setia pada kehendak patron yang menyimpang atau konstitusi partai makin tak relevan.

Kondisi tersebut berpotensi menciptakan militant ignorance (Scott Peck, 1978) sehingga semakin banyak orang-orang yang setia untuk tidak peduli dengan kelembagaan partai. Namun rakyat barang kali menaruh hati terhadap beberapa figur yang memunculkan harapan, entah berpartai maupun tidak. Partai perlu berbenah dan orang kuat perlu mengalah karena seburuk apapun partai dimata publik, partai menjadi keniscayaan yang dibutuhkan oleh demokrasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar