Rabu, 31 Juli 2013

Gorontalo dan Transformasi Ramadhan Melalui Tradisi Tumbilotohe


Gorontalo dan Transformasi 
Ramadhan Melalui Tradisi Tumbilotohe
  Damang Averroes Al-Khawarizmi;   Mantan Tenaga Pengajar 
di Salah Satu PTS Gorontalo  
Gorontalo Post, 31Juli 2013


 
Setahun lalu sejak saya masih tinggal di Gorontalo dan berprofesi sebagai dosen di sana. Di Salah satu PTS Gorontalo. Ada sebuah peristiwa menarik yang rugi dan tidak boleh terlewatkan kiranya untuk dituliskan.

Peristiwa itu bersamaan dengan momentum bulan suci ramadhan pada tiga hari yang tersisa di puncak akhir ramadhan. Biasanya pada hari kedua puluh tuju ramadhan. Inilah yang disebut tradisi Tumbilotohe.

Tumbilotohe dalam bahasa Gorontalo terdiri dari dua suku kata yaitu Tumbilo berarti pasang, dan Tobe berarti lampu. Dengan demikian Tumbilotohe adalah acara pasang lampu.

Dalam telaah history, Tumbilotohe merupakan tradisi masyarakat lampau yang sudah berlangsung sejak abad ke 15 M. Meski pada awalnya tradisi Tumbilotohe hanya ditujukan untuk membantu masyarakat Gorontalo yang akan menuju mesjid pada malam hari, sehingga dibantu dengan penerangan lampu minyak yang dinyalakan tiap masyarakat Gorontalo di depan rumah mereka.

Mari kita bandingkan dengan tradisi bunyi bercun dan ledakan petasan di malam hari. Ketika shalat Tarawih sedang berlangsung di mesjid. Dan rata-rata tradisi bunyi bercun dan petasan dilakukan oleh anak-anak muda kita.

Tentu berbeda makna otentitas dan hikmat yang melekat dalam kedua tradisi itu. Misalnya ledakan petasan mesti menciptakan warna-warni pelangi, namun hal itu akan menciptakan kebisingan suara, bagi warga yang sedang melaksanakan shalat tarawih ataukah warga yang sudah tidur terlelap di malam hari. Mereka akan merasa terganggu dengan bunyi dentumannya. Apalagi suara bercun yang memang hanya dapat menimbulkan suara yang menggelagar, tidak ada keindahan yang sama sekali diciptakannya. Hanya bisa memekakan telinga. Entah unsur estetik apa yang dihasilkannya dari alat tersebut, di saat harga minyak tanah melambung tinggi. Tetap banyak orang yang menggunakannya sebagai bahan bakar bercun.

Maka jauh berbeda dengan kebiasaan masyarakat Gorontalo merayakan bulan suci ramadhan. Mereka menciptakan keindahan eksotik tersendiri, tanpa merugikan masyarakat sekitarnya dengan memasang bola lampu kecil di depan rumah mereka. Bahkan kesan itu lebih menarik lagi ketika malam idul fitri, kombinasi ucapan selamat hari raya idul fitri dilukis dalam wajah lampu yang temaran. Inilah yang dimaksud oleh penulis, tradisi yang dapat menggugah batin hingga melahirkan pengalaman teologis, mengalir secara emprik.

Gorontalo Sebuah Antitesa
Karena itu, hemat penulis lebih besar mudharatnya sekiranya. Jika kita melihat di kampung seberang sana. Gorontalo, negeri serambi Madinah, sebuah negeri yang menciptakan antitesa.

Kenapa saya mengatakan masyarakat penuh antitesa? Alasannya adalah negeri tersebut sebanding antara masyarakatnya yang religius (sebagian besar merupakan warga NU) dan masyarakatnya yang nonreligius. Meski kebiasaan pengklasifikasian masyarakat nonreligius ini tidak Nampak pada bulan ramadhan. Oleh karena semua tempat prostitusi dan market penjual minuman keras ditutup rapat. Tapi kita tidak bisa menafikan Gorontalo juga adalah masyarakat paling kuat tradisi islamnya dalam mempertahankan perayaan Isra Mi’raj, serta perayaan Maulid Nabiullah SAW. Sehingga tak pelaklah, jika dikatakan potensi Gorontalo untuk membangun bibit generasi mudanya, dalam membina masyarakat yang religius dan berinsani, tetap terbuka peluang itu. Sederhananya hidup itu penuh pilihan. Pilihan yang baik atau pilihan yang buruk.

Kesan Empirik Tumbilotohe
Kembali pada tema tulisan ini, Tradisi Tumbilotoho sebagai tradisi yang pernah memecahkan rekor muri pada tahun 2007. Di provinsi itu telah tercipta jumlah hingga 5000 balon lampu pasang yang diciptakan dalam berbagai model dan ornament yang berbeda.

Kesan saya, ketika masih tinggal di Gorontalo. Pemandangan menarik ini tidak hanya dipersepsikan sebagai tradisi yang lahir begitu saja. Untuk menciptakan nuansa eksotik di halaman depan rumah saja. Lebih dari itu efek batin yang muncul dalam pribadi ummat islam untuk merasakan puncak spiritual terdokumentasi dalam sebuah tradisi simbolik.

Ketika Tuhan dimaknai menghadirkan rahmat dan syafaatnya dimana-dimana. Disaat perbuatan baik diganjar dengan pahala yang berlipat-lipat. Membaca ayat suci Al’qur’an melebihi kekuatan amalnya dibandingkan bulan-bulan lain-lainya. Tentu tidak jauh berbeda dengan tradisi Tumbilotohe, bola lampu yang dipasang berjejer di tiap pagar-pagar rumah tersebut.

Ibarat napak tilas kemenangan dari sebulan melatih diri dan fisik kita “diperbudak” oleh kepentingan syahwat dunia semata. Padahal jiwa kita juga pada intinya memiliki tempat untuk bersandar pada dirinya (an sich). Tradisi Tumbilotohe telah mengejawantahkan pesan “empiric” kemenangan yang diraih selama sebulan penuh.

Indahnya islam, indahnya bulan suci ramadhan tidak hanya monopoli dan kuasa personal saja. Tetapi telah mengalir dalam kebersamaan, merangkai bola lampu indah yang berjejer dalam tampilan yang eksotik. Pesan ketuhanannya, menyatunya Tuhan dengan hamba-Nya sebagai pengalaman yang cukup menarik telah mewujud secara nyata.

Transformasi Ramadhan
Memenuhi kewajiban puasa di saat bulan ramadhan dalam konteks di atas. Terkait dengan tradisi Tumbilotohe, kewajiban puasa bukanlah sekedar dengan tidak makan dan minum di siang hari, melaksanakan rutinitas shalat tarawih atau semalam suntuk berdoa dan bertafaqur. Namun melupakan pesan otentik yang hadir dalam sebulan penuh itu.

Maksud Allah mewahyukan ajaran puasa ialah agar manusia terbebaskan dari segala yang bendawi dan ego personal. Di puncak inilah terletak makna dan tujuan seta fungsi otentik hakiki ibadah puasa sebagai ajaran yang mengutamakan kepasrahan. Ayat pertama wahyu Tuhan kepada Nabiullah Muhammad SAW yang diturunkan pada bulan ramadhan ialah iqra atau membaca dan menganalisis kejadian manusia dan alam duniawi.

Pembacaan ritual teologis yang dilakukan secara kritis akan mengantarkan manusia pada pengalaman empirik baik yang disebut spiritual ruhaniah atau yang metafisik mengandung kegaiban. Semua ritual suci di bulan ramadhan ini, transformasinya adalah membuminya pesan ketuhanan menjalankan semua ritual suci itu. Tuhan tidak hanya hadir dalam pribadi kita, dalam pengalaman personal saja. Tetapi telah bertransformasi dalam wujud nyata artistik yang melekat dalam ornament Tumbilotohe.

Tuhan hadir di tengah-tengah kita. Melaksanakan bulan ramadhan tidaklah kita merugi karena hanya mendapat lapar dan dahaga. Melalui tradisi pemasangan bola lampu yang berkedip dengan nyala warna kuning. Tuhan dan para malaikatnya tidak pernah berhenti menyiratkan nikmat kuasa ke semua hamba-Nya di muka bumi ini. Bahwa posisi Allah lebh dekat dengan manusia dibanding urat nadinya pada ranah tersebut. Telah Nampak dalam sebuah tradisi kecil. Sebagaimana maksud pernyataan hadits “barang siapa memahami jati dirinya maka ia akan mengenal Tuhannya (man arofa nafsahu faqad arofa rabbahu).

Seraya terus memuji dan melantunkan rasa syukur, dengan tradisi Tumbilotohe. Mari kita memetik hikmah dan syafaat dari semuanya. Sebelum kita meraih kemengan yang tiada taranya, sebuah hari agung nan suci. Itulah idul fitri. Selamat Mengarungi Transformasi Ramadhan, samudera spiritual kemanusiaan Ilahi.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar