Rabu, 31 Juli 2013

Hak Napi Bukan HAM

Hak Napi Bukan HAM
Zamrony  ;  Mantan Asisten Satgas Pemberantasan Mafia Hukum
KORAN SINDO, 23 Juli 2013



Tulisan ahli hukum pidana, Profesor Romli Atmasasmita, di KORAN SINDO berjudul ”Hak Napi = HAM” (17/7) menarik didiskusikan. Beliau mengemukakan beberapa dalil untuk ”menchallenge” Peraturan Pemerintah Nomor 99/2012 yang mengetatkan hak napi korupsi, narkoba, dan terorisme.

Dalil pertama dikatakan bahwa hak warga binaan adalah hak asasi yang masih tersisa pada setiap warga binaan sesuai UU Pemasyarakatan dan PP 32/1999. Dalil kedua, penerapan justice collaborator belum ada dasar hukum peraturan pelaksanaannya. Dalil ketiga, PP 99/ 2012 dianggap bertentangan dengan UU pemasyarakatan karena norma baru yang bertentangan dengan UU Pemasyarakatan.

Dalil keempat, syarat justice collaborator merupakan kebijakan keliru dan tidak relevan dengan masa pembinaan warga binaan karena seharusnya bagian dari strategi penyidikan yang bertujuan membongkar organisasi kejahatan dengan kompensasi keringanan hukuman atau pembebasan dari penuntutan.
Sebenarnya empat dalil itu memiliki beberapa kemiripan dengan dalil permohonan uji materi PP 99/2012 oleh beberapa napi korupsi melalui pengacaranya, Profesor Yusril Ihza Mahendra. Akankah dalil itu kita telan bulat-bulat? Tunggu dulu.

Pendapat Berbeda

Hak asasi manusia (HAM) berbeda dengan hak napi. Apa saja jenis HAM telah dirumuskan secara detail dalam Pasal 28A-28J UUD 1945 dan UU 39/ 1999 tentang HAM misalnya hak hidup, hak atas rasa aman, dan seterusnya. Ini sangat berbeda dengan rumusan hak napi dalam Pasal 14 ayat (1) UU 12/ 1995 tentang Pemasyarakatan seperti hak mendapatkan remisi dan pembebasan bersyarat. Menyamakan HAM dengan hak napi jelas keliru.

Tidak ada pengaturan hak mendapatkan remisi dalam UUD 1945 dan UU HAM, kecuali di UU Pemasyarakatan. Pasal 14 ayat (2) UU Pemasyarakatan mengatur bahwa syarat dan tata cara untuk mendapatkannya diatur dalam peraturan pemerintah. Ada syarat dan tata cara yang wajib dipenuhi untuk bisa mendapatkannya. Jika tidak memenuhi syarat, tentu saja tidak diberikan, tidak otomatis.

Sebagai komparasi, hak hidup merupakan hak yang melekat pada setiap manusia dan tak perlu syarat mendapatnya. Ini berbeda dengan hak napi yang mewajibkan syarat sebagai reward kelakuan baik, membayar denda dan uang pengganti, serta kesediaan bekerja sama dengan penegak hukum mengungkap tindak pidana. Jika hak napi adalah HAM, untuk mendapatkannya tentu tidak memerlukan syarat.

Jika hak napi melekat pada setiap manusia, tentu bayi yang baru lahir dengan serta-merta memiliki hak mendapatkan remisi, padahal bayi bukanlah napi. Itu pendapat pertama. Pendapat kedua, justice collaborator dapat diterapkan tanpa harus menunggu peraturan pelaksanaan. Ingat, sejak 14 Desember 2011 kita sudah memiliki dasar hukum Peraturan Bersama yang ditandatangani Menkumham, Kapolri, Jaksa Agung, Ketua KPK, dan Ketua LPSK tentang perlindungan bagi pelapor, saksi pelapor, dan saksi pelaku yang bekerja sama.

Pasal 6 mengatur bahwa saksi pelaku yang bekerja sama berhak mendapatkan penghargaan berupa pemberian remisi tambahan dan hak-hak napi lainnya. Ketua Mahkamah Agung juga tidak ketinggalan dengan menerbitkan Surat Edaran No 4/2011 tentang perlakuan bagi pelapor tindak pidana (whistleblower) dan saksi pelaku yang bekerja sama (justice collaborators) di dalam perkara tindak pidana tertentu.

Jadi, dalil yang mengatakan justice collaborator tidak ada peraturan pelaksanaan tidaklah tepat. Pendapat ketiga, UU Pemasyarakatan secara jelas mendelegasikan kepada pemerintah untuk mengatur syarat dan tata cara pelaksanaan hak napi. Pemerintah berwenang mengatur sesuai politik hukum dan pilihan hukum (legal policy) baik berupa pelonggaran ataupun pengetatan remisi.

Substansi PP 99/2012 wajar saja dianggap norma ”baru” karena kita tidak menemukan pengaturan syarat pemberian remisi dalam UU Pemasyarakatan. Apakah napi dihukum ”dua kali” dengan pengetatan remisi? Tentu tidak. Sebagai contoh, jika napi divonis lima tahun penjara, ternyata harus menjalani penjara lebih dari lima tahun baru dapat dikatakan penghukuman dua kali.

Jika napi tidak mendapatkan remisi sama sekali karena tidak memenuhi syarat itu, artinya hukuman yang dijatuhkan pengadilan harus dijalani secara penuh, bukan dihukum dua kali. Pembinaan napi bukan hanya terkait pemberian remisi dan bebas bersyarat, melainkan juga pembinaan intelektualitas, religiusitas, kesehatan jasmani rohani, latihan kerja, dan produksi sesuai PP 31/1999. Lantas bagaimana mungkin membaurkan napi ke masyarakat di tengah pengetatan remisi?

Sekali lagi, pemberian remisi masih mungkin didapatkan napi, bukan dihapuskan. Sekalipun tidak mendapatkan remisi, program asimilasi (extra mural) masih mungkin dilakukan agar napi dapat berbaur dengan masyarakat. Asimilasi ini pada umumnya dilakukan napi dengan bekerja di luar lapas, pagi hari berangkat bekerja di lembaga sosial dan sore hari kembali ke lapas. Apakah seluruh napi harus mendapatkan persamaan perlakuan dan pelayanan? Tentu saja.

Tapi, bukan persamaan dalam pembinaan. Pola pembinaan koruptor harus berbeda dengan maling ayam yang mencuri karena kelaparan sehingga maling ayam lebih butuh pembinaan keterampilan kerja. Koruptor tidak butuh itu. Standard Minimum Rules for the Treatment of Prisoners hasil Kongres PBB 1955 dan diadopsi dalam UU Pemasyarakatan juga menyatakan bahwa kelas-kelas napi dan cara-cara pembinaan yang berbeda harus diadakan (angka 70 – bab hak khusus).

Pembedaan pembinaan napi bukan diskriminasi. Merujuk Pasal 1 UU HAM, diskriminasi baru terjadi jika pembedaan misalnya terkait suku, agama, dan ras. Jika semua napi dipersamakan pola pembinaannya, bagaimana dengan hak remisi napi yang divonis mati? tidak mungkin, kecuali dengan grasi. Pendapat terakhir, justice collaborator bisa dilakukan tidak hanya pada tahap penyidikan, tetapi juga tahap penuntutan (persidangan) dan tahap pelaksanaan pidana.

Reward pada tahap penuntutan dapat diberikan oleh hakim dengan menjatuhkan vonis ringan ataupun percobaan. Sudah rahasia umum, kebanyakan tersangka/ terdakwa korupsi tidak mengakui dan mati-matian membela diri karena masih berharap bisa divonis bebas. Dengan begitu, bisa jadi banyak informasi penting disembunyikan. Setelah harapan bebas ternyata berbuah vonis penjara, barulah terpidana korupsi bersedia ”blak-blakan” seraya melirik remisi sebagai alternatif pengurangan hukuman.

Ingatlah, Indonesia telah meratifikasi Konvensi PBB Menentang Korupsi yang menyatakan negara wajib mempertimbangkan berat-ringannya kejahatan pelaku ketika mempertimbangkan pembebasan bersyarat. Komitmen antikorupsi Indonesia juga pernah disorot oleh dunia internasional karena terlalu obral remisi koruptor.

Sejalan dengan itu, Perpres 55/2012 tentang Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi juga memandatkan pengetatan remisi koruptor. Akhirnya, lepas dari argumentasi yuridis formal di atas, mari dekatkan hati nurani kita kepada rasa keadilan masyarakat, bukan hanya kumpulan pasal-pasal mati karena hukum itu hidup di tengah-tengah masyarakat.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar