Senin, 22 Juli 2013

Menimbang Konvensi Partai

Menimmbang Konvensi Partai
Arya Budi ; Manajer Riset PolTracking Institute
Koran Tempo 
 
 

Sehingga, untuk menghindari gagalnya penyelamatan partai, konvensi partai dalam pencapresan 2014 menjadi pilihan krusial.
Dalam nalar founding patron, wacana konvensi partai yang dilempar oleh SBY sebagai orang yang paling berkuasa di PD dan di republik ini menjelaskan empat alasan atau motif politik krusial. Pertama, setelah sadar melakukan okupasi politik dengan menduduki fungsi ekskutif, legislatif, dan yudikatif sekaligus di dalam partai dengan empat posisi puncak struktur partai, gagasan konvensi penting untuk membersihkan klaim otoriter dari partai yang bergerak demokratis pada Kongres Bandung 2010 lalu. Kedua, tidak adanya stock figur. Ketiga, SBY tidak mau lagi menurunkan Demokrat melalui mekanisme ërestuí yang kini dimilikinya baik secara kultural dan struktural secara total. Keempat, konvensi menjadi alternatif internal yang berdampak eksternal, yaitu untuk menciptakan momentum atensi publik secara positif terhadap Partai Demokrat.

Namun yang perlu kita pahami dalam skala refleksi kepartaian Indonesia yang lebih luas, paling tidak ada dua catatan penting untuk melihat diskursus konvensi partai dalam kandidasi capres. Pertama, konvensi dalam system kepartaian multipartai ekstrem seperti di Indonesia hanya relevan bagi partai yang memperoleh persentase suara dua digit atau diatas 10%. Selain soal relevansi dengan kekuatan atau bargaining partai dalam mengusung capres, partai dengan kekuatan elektoral yang rendahókatakanlah di bawah 10%–akan sulit mendapatkan atensi publik dan akan tersaingi oleh diskursus atau isu politik yang dilempar oleh partai dengan kekuatan elektoral lebih besar atau diatas dua digit.

Sebagai misal, salah satu partai di Korea Selatan yang menjajal konvensi partai pada 2011 lalu mendapatkan atensi publik karena sistem kepartian multipartai sederhana (tidak lebih dari 5 partai) sehingga mempunyai cukup kekuatan elektoral untuk mengambil atensi publik.

Kedua, kultur politik di Indonesia sejak merdeka (pemilu 1955) hingga kini menunjukkan bahwa justru presiden yang melahirkan partai. Dalam arti bahwa orang kuat yang berpotensi menjadi presiden adalah raison díetre lahirnya partai politik. Artinya, jika PD atau partai apapun yang melampaui perolehan suara dua digit berhasil mengadakan konvensi terbuka (kombinasi preferensi elit politik dan preferensi publik-pemilih), maka partai tersebut akan membalikkan sejarah kepartaian sejak Indonesia dideklarasikan sebagai negara. Sebabnya, partai yang melahirkan presiden, bukan presiden yang melahirkan partai sebagaimana pola umum sejak dulu.

Konvensi adalah bentuk kandidasi eksekutif (baca: biasanya presiden) secara terbuka dengan variasi derajat pelibatan kader atau publik yang berbeda-beda. Ada tiga jenis demokratisasi dalam seleksi kandidat yang jamak disebut konvensi ini. Pertama adalah konvensi tertutup, yaitu partai politik menyelenggarakan pemilihan internal yang hanya bisa diikuti oleh anggota partai di seluruh daerah secara nasional. Kedua adalah konvensi terbuka, yaitu partai politik menyelenggarakan pemilihan untuk menentukan kandidat yang akan diusungnya dengan cara mengikutsertakan semua pemilih tanpa harus melihat keanggotaan partai. Dan ketiga adalah konvensi-kongres, yaitu partai membuka proses pemilihan kandidat di dalam rapat umum partai. Ada dua variasi dalam model konvensi-kongres ini, pertama, semua anggota partai berhak hadir untuk memberikan suara dalam penentuan kandidat. Kedua, internal voters (anggota partai) hanya diwakili oleh delegasi atau selected voters seperti kantor cabang partai politik. Singkat kata, tidak satupun partai di Indonesia mengadopsi seleksi kandidat demokratis dari variasi model tersebut.

Dalam hal ini, Richard S.Katz (2001) dengan bahasa yang lain menyatakan bahwa salah satu dari empat fungsi yang berkorelasi dengan kandidasi (terbuka) adalah refleksi perwajahan preferensi politik oleh publik. Artinya, dalam silogisme politik yang simpel: partai yang mempunyai kecenderungan tertutup dalam melakukan proses seleksi kandidat tidak mampu merefleksikan perwajahan publik. Dan yang muncul adalah perwajahan elit partai karena majunya seorang kandidat partai untuk kursi jabatan publik didasarkan pada selera elit partai.

Muara atas hal ini fatal: kandidat yang muncul dipaksakan agar diterima publik melalui fatamorgana figur dan simulacrum campaign (kampanye manipulatif). Hal inilah yang menjelaskan turbulensi (baca: evaluasi kandidat presiden) di beberapa partai seperti Partai Golkar sementara nama kandidat sudah dideklarasikan. Singkatnya, konvensi yang di gagas PD bisa berakhir sama jika derajat pelibatan di dalam memilih capresnya hanya berputar di kalangan elit (ketua DPD dan DPC misalnya), karena kandidat hanya merefleksikan selera elit minus publik.

Di sisi lain, melihat kultur kekusaan dan pola konstelasi partai yang masih berpegang pada kuasa para patron partai, secara internal wacana konvensi bisa berakhir seperti pengalaman Golkar pada pemilu 2004. Wiranto sebagai pemenang konvensi Golkar justru kalah dalam pilpres (putaran pertama) sedangkan Jusuf Kalla yang kalah konvensi justru menang sebagai cawapres dengan capres SBY, akibat dua hal: terbelahnya konsolidasi partai pasca-konvensi dan selera elit Golkar tak merefleksikan selera konstituen apalagi publik pemilih secara umum.

Akhirnya, diskursus konvensi hanya menjadi mubazir bagi partai akibat biaya politik (transaksi yang terjadi inter-elit) dan biaya operasional, jika konvensi sebagai conceptual term tidak seperti yang publik bayangkan. Jelasnya, pelibatan publik (baik anggota/simpatisan maupun publik-pemilih) melalui election yang diselenggarakan partai menjadi penting daripada sekedar selection yang berputar di elit. Publik pemilih perlu wacana yang autentik daripada sekedar ëbola liarí yang dilempar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar