Rabu, 31 Juli 2013

Dari Taman Bermain Menuju Kawin Paksa Presidensial

Dari Taman Bermain
Menuju Kawin Paksa Presidensial
Andi Irmanputra Sidin ;  Pakar Hukum Tata Negara
MEDIA INDONESIA, 15 Juli 2013




PERDEBATAN urgensi perubahan Undang-Undang (UU) No 42/2008 tentang Pemilihan Umum Presiden (Pilpres) muncul ke permukaan, khususnya menyangkut ambang batas parpol dan/atau gabungan parpol untuk mengusulkan pasangan calon presiden (capres). Seperti diketahui bahwa pasangan calon diusulkan oleh partai politik (parpol) atau gabungan parpol peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% dari suara sah nasional dalam pemilu DPR (Pasal 9 UU Pilpres).

Sayangnya, mayoritas parpol kurang bergairah untuk merevisinya. Hal demikian bisa dipahami. Ketika meneropong urgensi tersebut dalam kacamata politik (kepentingan pragmatis), perdebatan revisi ini menjadi tidak menarik. Cara yang paling ampuh menghentikan perdebatan tersebut ialah memakai cara malas dengan menyandarkannya pada sebuahnya pada sebuah realitas politik kekinian. Hal itu tidak bisa disalahkan, tapi juga tidak bisa dibenarkan.

Wacana ambang batas presidensial selama ini selalu dihubungkan guna menguatkan sistem presidensial sehingga ambang batas minimal 20% dianggap batas bawah penguatan sistem presidensial. Padahal, ambang batas presidensial sesungguhnya tidak berkorelasi dengan penguatan presidensial. Namun, ambang batas itu sesungguhnya akibat dari `taman bermain' bagi parpol di DPR yang memang dihadirkan oleh konstitusi kita bahwa tata cara pemilihan presiden dan wakil presiden lebih lanjut diatur dalam UU (Pasal 6A ayat 5 UUD 1945). `Taman bermain' ini bisa menghasilkan ketentuan konstruktif, tapi bisa jadi juga destruktif, bergantung pada spiritnya.

Otoritas presiden
Jika membandingkan dengan kekuasaan presidensial negara lain yang sering menjadi rujukan, Indonesia pascaperubahan UUD 1945 sesungguhnya termasuk sangat kuat. Sebagai perbandingan, presiden dalam membentuk kabinetnya memiliki hak prerogatif mengangkat dan memberhentikan penjabat menteri termasuk jaksa agung dan tidak membutuhkan pertimbangan apalagi persetujuan DPR atau DPD. Berbeda dengan negara lain, presiden dalam mengangkat menteri-menterinya, termasuk jaksa agung, membutuhkan pertimbangan bahkan persetujuan parlemen atau senatnya.

Dalam bidang kekuasaan legislatif, presiden memiliki kuasa untuk `menguntit' ke mana pun DPR dan DPD membahas sebuah rancangan undang undang (RUU). DPR dan DPD tidak bisa menyetujui sebuah RUU menjadi UU jika pembahasan tidak dihadiri presiden. Otoritas seperti itu tidak dimiliki presiden di beberapa negara yang sering dijadikan rujukan. Biasanya presiden hanya memiliki hak veto terhadap sebuah UU yang sudah disetujui parlemen, tetapi hak veto itu pun bisa dianulir oleh parlemen dalam kuorum tertentu.

Sementara itu di Indonesia, selain presiden ikut membahas, jika salah satu atau keseluruhan materi, muatan, ayat, atau pasal atau bagian dari RUU yang sedang dibahas tidak disetujui presiden, RUU tersebut tidak bisa disetujui DPR menjadi sebuah UU untuk disahkan presiden.

Hal yang paling sering menjadi paranoia dalam presidensial kita ialah mengenai pemberhentian presiden/wakil presiden, yang sering kali masih dibayangi trauma proses pemberhentian Soekarno hingga Gus Dur oleh MPR. Memang konstitusi dulu, presiden selaku mandataris MPR yang bekerja untuk dan atas nama MPR bisa diberhentikan di tengah jalan cukup dengan `asumsi politik', yaitu melanggar konstitusi dan GBHN. Asumsi politik itu tidak perlu mendapatkan verifikasi konstitusional terlebih dahulu.

Namun, setelah perubahan UUD 1945, presiden harus terbukti secara konstitusional di Mahkamah Konstitusi (MK) telah melakukan pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, hingga tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden/wakil presiden baru, kemudian bisa diberhentikan oleh MPR. Jadi meski 100% anggota DPR yang notabene juga anggota MPR ingin memberhentikan presiden karena sudah berbeda diametral haluan politik, DPR harus mendakwa presiden terlebih dahulu dan membuktikannya di MK.

Jadi, sistem presidensial kita sesungguhnya sudah sangat kuat. Menaikkan di atas 25% atau menurun 25% atau menurun kan ambang batas hingga titik 0% pengusulan pa sangan capres oleh parpol (cukup terdaftar sebagai peserta pemilu) tidak korelatif, harus dihubungkan dengan penguatan sistem penguatan sistem presidensial.

Peran parpol

Parpol sesungguhnya satu satunya organisasi yang memiliki hak istimewa yang diberikan konstitusi untuk mengusulkan pasangan capres (constitutional privelege). Organisasi lainnya yang sudah hadir bahkan sebelum kemerdekaan, seperti NU dan Muhammadiyah yang jasanya akan NKRI tidak diragukan, bahkan tidak diberi hak keistimewaan itu untuk mengusulkan pasangan capres.

Bahasa positifnya, rakyat sangat memercayai parpol untuk menjadi produsen kepemimpinan negara karena parpol dianggap organisasi yang paling profesional untuk itu. Namun dalam bahasa agak negatif, parpol berhasil membajak rekrutmen kepemimpinan negara pada tingkat konstitusi sehingga pengusulan capres dari jalur lain sulit untuk dibuka.

Apa pun bahasanya, apakah itu positif atau negatif, tidak menjadi penting dalam realitas ketatanegaraan kita saat ini. Yang diinginkan ialah dalam dua periode rekrutmen kepemimpinan nasional ini, ada kecenderungan parpol terjebak oleh sistem yang mereka ciptakan sendiri dalam UU sebagai akibat `taman bermain' tersebut. Fenomena `kawin paksa' di antara parpol dalam pengusulan pasangan capres terjadi, padahal mereka belum tentu `saling cinta'. Celakanya, hal itu berimplikasi pada hak-hak rakyat untuk mendapatkan pilihan lebih banyak dalam menentukan calon pemimpin.

Selama ini parpol peserta pemilu sepakat untuk membuat aturan main dan menyerahkan hak istimewa mereka sebagai parpol yang berhak mengusulkan pasangan capres. Parpol sepakat bahwa jika sebagai parpol peserta pemilu yang ingin secara sendiri-sendiri mengusulkan pasangan capres, parpol tersebut harus memenuhi ambang batas perolehan minimal 20% dari jumlah kursi DPR atau 25% perolehan suara sah nasional dalam Pemilu DPR. Alasan akademis yang sering dipakai dan paling ampuh untuk mengecoh ialah guna penguatan presidensial. Padahal sesungguhnya, sekali lagi, hal itu tidak korelatif dan linear.

Namun yang pasti, ambang batas yang berlaku selama ini bukanlah tergolong perbuatan `tak senonoh' menurut konstitusi. Ada keadaan pascadua periode pemilu langsung presiden, rakyat harus dibahasakan dengan bahasa yang mudah dicerna mengenai ambang batas presidensial tersebut.

Bahasa yang mudah dicerna bahwa kalau ambang batas 20%, rakyat hanya disuguhi menu prasmanan pasangan capres pada pemilu nanti maksimal lima macam menu (pasangan capres). Kalau ambang batasnya diturunkan hingga lebih rendah, mungkin titik 0% (cukup terdaftar sebagai peserta pemilu), menu yang disajikan memungkinkan hingga 12 macam menu (pasangan capres) dari 12 peserta pemilu legislatif saat ini.

Oleh karenanya, jika wacana tersebut dibawa ke perdebatan hak istimewa parpol dalam mengusulkan pasangan capres, akan terjadi eksklusivitas perdebatan di antara parpol itu sendiri. Yang pasti ruang dialektika sesungguhnya ialah kalkulasi politik atau kekuasaan di antara parpol itu sendiri yang bisa jadi atmosfernya adalah saling jegal di antara mereka sendiri. Namun yang pasti, dialektika publiknya tidak akan sevulgar itu, tetapi akan menggunakan isu yang lebih mudah mengecoh, yaitu penguatan presidensial.
Padahal, esensi perdebatan ambang batas ini sesungguhnya bukan hak parpol, melainkan yang utama ialah hak rakyat untuk memilih dari menu prasmanan yang bakal disajikan parpol di pemilu presiden mendatang.

Oleh karenanya, isu ambang batas presidensial jangan terburu-buru ditutup di DPR. Lemparkanlah ke rakyat hingga beberapa waktu ke depan. Jika rakyat memang lebih menginginkan sedikit menu prasmanan karena produknya dijamin berkualitas dan bergaransi pada pilpres nantinya, atau setidaknya rakyat ternyata masih menyukai menu yang itu-itu saja seperti pemilu ke marin, ambang batas presidensial tidak urgen untuk diubah.

Namun kalau rakyat menginginkan ada menu baru dan pilihan lebih variatif karena rakyat sudah sadar tidak ingin dipaksa mencicipi menu yang dipaksakan di antara parpol itu sendiri, parpol harus legowo memenuhi kehendak rakyat untuk merevisi ambang batas itu.

Semua bergantung pada ketersadaran rakyat akan hak konstitusional sebagai pemilik kedaulatan. Yang pasti, bandul tersebut berada pada kearifan parpol dalam mendesain demokrasi konstitusional kita, apakah lebih senang berjudi dalam `kawin paksa' pasangan capres, atau melakukan purifikasi akan hak keistimewaan mereka sebagai pemilik hak secara sendiri dalam mengusulkan pasangan capres yang diberikan langsung oleh konstitusi?***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar