Jumat, 31 Mei 2013

“Desakralisasi” PKS

“Desakralisasi” PKS
Burhanuddin Muhtadi ;  Penulis Buku “Dilema PKS: Suara dan Syariah” (2012)
KORAN SINDO, 16 Mei 2013
 
 
”Bagi kami, Ustadz Anis Matta, Ustadz Hilmi Aminuddin bukan cuma pimpinan partai, tapi juga guru kami yang mengajarkan kehidupan kepada kami. Bagi kader, sangat sakit dan perih melihat keduanya dipanggil (Komisi Pemberantasan Korupsi/ KPK),” kata Ketua Divisi Humas PKS Mardani Ali Sera, Selasa (14/5/2013). 

Turbulensi politik pascaterkuaknya kasus dugaan suap daging impor yang melibatkan mantan Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq (LHI) dan orang dekatnya, Fathanah, memasuki babak baru. Pucuk pimpinan tertinggi partai dakwah dipanggil oleh komisi anti-rasuah. Bisa dimengerti kegetiran kader partai menyaksikan Muraqib ‘Am mereka diperiksa KPK sebagaimana diwakili kesedihan Mardani Ali Sera. 

Muraqib ‘Am atau pengawas umum adalah istilah dalam gerakan tarbiyahuntuk menunjuk kepada pimpinan tertinggi Jamaah Tarbiyah, khususnya dalam kapasitasnya sebagai Ketua Dewan Pimpinan Tingkat Pusat (DPTP), atau Majlis Riqabah ‘Ammah. Meskipun baru diperiksa sebagai saksi, pemanggilan Hilmi Aminuddin tentu mengganggu “sakralitas” Muraqib ‘Am, apalagi dipanggil sebagai saksi dalam kasus korupsi. 

Putra beliau, Ridwan Hakim, juga dipanggil dalam perkara yang sama. Sebagai partai kader, posisi Muraqib ‘Am sangat istimewa karena menjadi soko guru bagi para pembina kader. Disengaja atau tidak, ada semacam “sakralisasi” terhadap posisi Muraqib ‘Am. Apalagi selaku Muraqib ‘Am, Hilmi Aminuddin jarang tampil di depan publik sehingga makin menambah sakralitas dirinya. 

Pada masa Orde Baru, jejaring Jamaah Tarbiyah yang menjadi embrio PKS menerapkan strategi “sirriyah al–tanzim wa alamiyyah al–dakwah” (struktur rahasia dengan pendekatan dakwah yang terbuka). Posisi-posisi kunci di puncak kepemimpinan organisasi sengaja dikaburkan, atau bahkan disembunyikan. Saat itu, modus operandi Jamaah Tarbiyah mirip isolated social movement organisation atau organisasi gerakan sosial yang terisolasi satu sama lain. 

Mereka tidak memiliki cabang dan bergantung pada kontak langsung antaranggota. Hal ini dapat dipahami karena situasi yang tidak kondusif membuat hubungan antarorgan tarbiyah harus terputus agar terhindar dari kontrol dan represi rezim Soeharto yang antipati terhadap Islam politik. Setelah Orde Baru tumbang, Jamaah Tarbiyah melakukan reorganisasi dengan mengawinkan gerakan sosial (social movement) dan partai. 

Prinsip yang dipakai “gerakan adalah partai dan partai adalah gerakan” (al-harakah hiya al-hizb wa alhizb huwa al-harakah). Karena itu, PKS adalah partai yang tidak biasa (unusual party) karena mengandalkan proses pengaderan sebagai tulang punggungnya. Dilihat dari sisi tujuan politik, strategi rekrutmen kader yang dilakukan PKS dapat dibagi ke dalam dua kategori. 

Pertama, ditujukan untuk memobilisasi sebanyak mungkin orang, apa pun suku, ras, dan jenis kelaminnya. Ini terutama untuk kepentingan elektoral. Titik tekan pola rekrutmen ini adalah dari segi jumlah. Kedua, pola rekrutmen yang bertujuan mendaftar kader-kader potensial melalui mekanisme rekrutmen yang selektif. PKS lalu mewajibkan para kadernya terlibat aktif dalam serangkaian pelatihan intensif. 

Pelatihan ini dikemas secara berjenjang atau hierarkis (marhalah). PKS juga mengenal muwashaffat atau kriteria kader yang dibuat spesifik dan terperinci untuk tiap jenjang keanggotaan di dalam partai. Ini semua untuk memastikan sistem stelsel aktif berbasis group and grid berjalan efektif dan diharapkan mampu membentuk komitmen total dan loyalitas anggota. 

Mantan presiden PKS, Tifatul Sembiring, menyatakan: “Kemenangan partai kader tidak akan muncul tanpa loyalitas, loyalitas tidak akan muncul tanpa ketaatan,ketaatan tidak akan ada tanpa pengorbanan, dan pengorbanan tidak akan ada tanpa keikhlasan” (Republika, 30 Juli 2005). 

Politisi PKS Zulkieflimansyah bahkan menyebut sistem kaderisasi di PKS memiliki banyak kemiripan dengan partai komunis yang bersifat stelsel aktif, hierarkis, dan meniscayakan loyalitas dan komitmen penuh terhadap garis kebijakan partai. Dia menyebut proses dan sistem kaderisasi PKS sebagai ”partai komunis dengan cita rasa ideologi Islam”.

Ironi PKS 

Justru di sinilah ironi terbesar melanda PKS. Selama ini ada dua proses sakralisasi yang membuat PKS tampak berbeda dibandingkan partai lain. Pertama, saat partai-partai di Indonesia dilanda virus gejala presidensialisasi partai, meminjam istilah DJ Samuels (2002), yang bertumpu pada karisma figur, PKS konsisten bertumpu pada kader. Meminjam istilah Goodwin, Jasper, dan Polletta (2001), kader PKS menerapkan passionate politics, politik yang bergairah. 

Kedua, sakralisasi PKS sebagai partai yang bersih dari korupsi. Sebelum kasus LHI dan Fathanah mencuat, dibandingkan partai-partai lain, PKS paling sepi dari isu tak sedap terkait korupsi. PKS bahkan menumbuhkan citra bersih dan peduli sebagai bagian inheren partai. Kasus suap daging ini melucuti sakralisasi pengaderan PKS yang fenomenal itu. Presiden PKS adalah puncak kaderisasi partai. 

Bisa dibayangkan kegalauan kader PKS menyaksikan penetapan LHI sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap daging sapi impor dan tindak pidana pencucian uang. Publik bisa berpraduga ada yang salah dalam proses kaderisasi PKS karena (mantan) orang nomor satu partai tersandung kasus korupsi ketika masih menjabat. 

Tak bisa dimungkiri, badai LHI-Fathanah yang menyeret elite-elite PKS lainnya dalam pusaran kasus suap daging impor ini mengakibatkan desakralisasi citra partai. PKS tak lagi punya kepercayaan diri mengusung jargon bersih dari korupsi karena sekali kasus korupsi melanda partai langsung melibatkan (bekas) orang nomor satu di PKS. 

Proses desakralisasi ini harus membuat PKS menapak kembali ke bumi. Desain strategi PKS pada 2014 harus dimulai dengan upaya sistematik untuk memulihkan citra partai pascamencuatnya kasus LHI-Fathanah. Jika tidak, target tiga besar di pemilu nanti makin jauh panggang daripada api. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar