Badai
Fathanah dan Sikap PKS
Burhanuddin Muhtadi ; Penulis buku Dilema PKS: Suara dan Syariah
MEDIA
INDONESIA, 14 Mei 2013
BADAI Fathanah' tak kunjung berlalu menghantam citra Partai
Keadilan Sejahtera (PKS). Fathanah awalnya bukan siapa-siapa. Namanya melejit seiring
dengan proses tertangkap tangan dalam kasus dugaan suap daging impor. Fathanah
menjadi momok bagi PKS karena setidaknya ada dua jalinan yang susah dimungkiri
siapa pun. Pertama, meski dibantah sebagai kader PKS, Fathanah memiliki
hubungan akrab dengan mantan orang nomor satu di partai, yakni Luthfi Hasan
Ishaaq (LHI) yang kemudian menjadi tersangka dalam kasus yang sama.
Kedua, kasus suap daging impor yang melibatkan Fathanah
terjadi di kementerian yang dipegang oleh kader PKS. Sekuat apa pun bantahan
Fathanah bukan kader partai, tapi akal sehat mengatakan bahwa dia mustahil
bermanuver selincah itu jika tidak diberi ruang oleh partai, atau setidaknya
oleh oknum partai. Terlebih lagi, ada beberapa `bocoran' hasil penyidikan KPK
yang menunjukkan ada kaitan diam-diam antara aksi Fathanah dan sebagian elite
partai.
Misalnya, salinan sertifikat rumah milik istri Anis Matta,
Anaway Irianti Mansyur, yang ditemukan penyidik KPK di tas Ahmad Fathanah saat
ope rasi tangkap tangan beberapa waktu lalu. Memang hal itu menjadi urusan adik
Anis, yakni Saldi Matta. Saldi mengaku dapat transferan uang dari Fathanah
senilai Rp50 juta. Menurut Saldi, uang tersebut merupakan pembayaran utang.
Fathanah berutang padanya September 2012 dan baru dibayar pada Januari 2013.
Pertanyaannya, masak Fathanah yang mampu membelikan
rumah-rumah mewah dan mobil-mobil bermerek ke istri maupun `teman-teman'
wanitanya masih perlu utang Rp50 juta?
Selain itu, nama putra Ketua Majelis Syuro PKS Hilmi
Aminuddin, Ridwan Hakim, juga `terseret' oleh pusaran kasus daging impor ketika
dipanggil sebagai saksi. Belakangan Hilmi dan Anis juga dipanggil sebagai saksi
dalam kasus yang sama. Belum lagi aliran dana kasus ini juga menyerempet ke DPW
PKS Sulsel dalam proses pemenangan calon gubernur yang didukung partai. Suka
tidak suka, nama partai ikut terkena getah akibat `badai Fathanah' ini.
Meski PKS berulang kali membantah kasus yang melilit
Fathanah dan LHI terkait dengan partai dan selalu meminta publik memakai asas
praduga tak bersalah, PKS diam-diam justru larut dan `membenarkan' asosiasi
publik tentang kaitan kasus ini dengan partai.
Adanya perubahan tagline
PKS dalam rapimnas sekaligus milad ke-15 di Semarang baru-baru ini seolah
mengukuhkan hal tersebut. Rebranding
partai dari `Bersih, Peduli, dan
Profesional' menjadi `Cinta, Kerja,
dan Harmoni' malah mengonfirmasi dugaan publik bahwa PKS tidak percaya diri
lagi sebagai partai bersih setelah dihempas `badai Fathanah'. Secara tidak
langsung, perubahan tagline itu malah
membenarkan kaitan LHI dan Fathanah dengan partai.
Respons
berlebihan
Di samping itu, sikap PKS dalam menanggapi upaya penyitaan
mobil-mobil yang diduga hasil pencucian uang juga kontraproduktif. Coba
misalnya PKS kooperatif, paling banter penyitaan itu hanya diberitakan sesaat
saja oleh media. Namun karena upaya KPK menyita mobil-mobil itu direspons
secara berlebihan, justru malah menjadikan PKS sebagai bulan-bulanan media.
Meski ada tudingan KPK tidak melakukan prosedur penyitaan yang benar, reaksi
PKS seperti menghalangi, mengempiskan ban-ban mobil yang mau disita, lalu
melaporkan pihak KPK dan juru bicaranya ke polisi malah menambah runyam
situasi.
Bukan hanya itu, langkah PKS dalam merespons upaya
penyitaan mobil oleh KPK malah secara sadar menyeret nama partai untuk
berhadapan secara diametral dengan KPK. Selama ini hampir semua partai punya
kader yang bermasalah dengan korupsi. Akan tetapi, partai-partai biasanya balik
badan dan mempersilakan kader-kader yang bermasalah tadi untuk menyelesaikan kasusnya
sendiri.
Paling banter, partai menyediakan bantuan hukum pengacara
agar kader yang bermasalah tadi tidak `bernyanyi'. Tapi dalam kasus ini, PKS
secara gagah berani malah mempertaruhkan nama institusi untuk berhadapan dengan
KPK.
Menurut saya, nama PKS terlalu mahal dan berharga untuk
dipertaruhkan dalam kasus ini. Ada beberapa argumen yang saya pergunakan agar
elite partai tidak memperhadapkan PKS dengan KPK. Pertama, argumen elektoral.
Secara empiris survei membuktikan bahwa kepercayaan publik terhadap KPK jauh
lebih tinggi ketimbang trust terhadap
partai-partai, termasuk PKS. Jika PKS terkesan melawan KPK, publik akan membela
KPK dan makin meninggalkan partai. Bagaimanapun juga insentif terbesar yang
dicari partai mana pun adalah dukungan elektoral. Jika pemilih menjauhi PKS
karena dituding melawan KPK, target tiga besar di Pemilu 2014 menjadi jauh
panggang daripada api.
Kedua, PKS lahir dengan membawa misi suci reformasi. PKS
adalah produk sah reformasi. Agenda reformasi yang paling krusial ialah melawan
korupsi. Sebelum `badai Fathanah' menghantam citra partai, PKS adalah role
model, atau setidaknya fresh practice partai yang relatif bersih dari noda
korupsi. Jika dibandingkan dengan partai-partai lainnya, kader PKS juga paling
sedikit terkena isu tak sedap terkait korupsi. Ketika PKS membawa nama
institusi melaporkan KPK ke polisi, publik akan melakukan generalisasi atau gebyah uyah terhadap PKS dengan seluruh
kader dan elitenya bahwa seolah-olah partai ini melindungi koruptor.
Kasihan para kader atau elite PKS yang bersih dan bersahaja
karena terkena asosiasi dan generalisasi. Jika PKS memandang KPK tidak
melakukan penyitaan mobil sesuai prosedur, bicarakan dengan baik-baik agar
`miskomunikasi' itu bisa diselesaikan tanpa meninggalkan riak-riak yang menodai
citra partai. Manajemen isu harus mampu dijalankan secara elegan agar publik
tidak mengaitkan kasus LHI dan Fathanah ke PKS.
PKS juga harus kembali ke khitah dengan menerapkan standar
ketat mobilisasi pendanaan bagi partai. PKS menghidupkan kembali prinsip tiga
aman dalam mencari dana politik, yakni aman syar'i,
aman politis, dan aman yuridis. Inilah conventional
wisdom yang mampu mengembalikan muruah
PKS di mata publik. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar