Sabtu, 28 September 2013

Vickinisasi dan Kebohongan Publik


Vickinisasi dan Kebohongan Publik
Damang Averroes Al-Khawarizmi  ;   Peneliti Republik Institute 
& Co-Owner negarahukum.com
Tribun Timur Makassar, 28 September 2013





BERAKHIR sudah petualangan Vicky Prasetyo Alias Hendriyanto bin Hermanto, Mantan tunangan Zaskia Gotik, Ia ditangkap oleh tim Kejaksaan Negeri Cikarang di Hotel Santika, TMII, Jakarta Timur, Jumat (6/9/2013) sore, karena telah buron selama delapan bulan. Vicky ditangkap karena kasus pemalsuan surat tanah seluas 2.954 m2 dengan nominal Rp 1 miliar dan merugikan ahli waris Nyoih Binti Entong. 

Vicky dinyatakan bersalah atas Pasal 362 Ayat 2 KUHP tentang pemalsuan surat tanah, Vikcy dikenakan hukuman 1,5 tahun penjara. Meski sudah tiga kali dipanggil Kejari Cikarang untuk menjalani hukuman, Vicky mangkir dan ditetapkan sebagai buronan sejak 11 Januari 2013. 

Uniknya kasus Vicky ini, dan menjadi tanda tanya besar, mengapa pihak kejaksaan baru sekarang menangkap Vicky? Apakah Vicky sulit dilacak keberadaannya? Saya kira tidak, logikanya bagaimana mungkin kejaksaan kehilangan jejak atas Vicky? Padahal tiap hari, berita editorial, hingga berita gosip memunculkan namanya sebagai calon tunangan Zaskia Gotik. Ataukah kejaksaan ingin cari nama, dengan terlebih dahulu mengabaikan kasus itu, sembari menunggu nama Vicky tersedot media, tinggal tunggu momentnya oknum kejaksaan turut kecimprat, numpang tenar namanya, gara-gara ketenaran Vicky, yang diperoleh begitu mendadak.

Tulisan ini tidak bermaksud menganalisis secara yuridis kasus Vicky, hanya akan dititikberatkan pada telaah filsufis, sehingga pola bahasa Vicky, mampu menerobos, melintasi zaman, segala lini, hingga menguasai seluruh aspek kehidupan.

Gejala Vickinisasi
Ketika Vicky masih memiliki ketenaran, apalagi dikabarkan akan menikahi pedangdut Zaskia Gotik, pelantun lagu “satu jam saja”itu. Media, panggung, dan jagat hiburan semua pada mengelu-elukannya. Vicky ibarat memiliki seribu ayah. Sebuah logika terbalik, ketika Vicky terungkap “selubung” kejahatannya, berada dalam Daftar Pencarian Orang (DPO), terlibat dalam pemalsuan surat tanah yang merugikan seorang ahli waris, ditambah sederet pelantun lagu dangdut “jalanan” yang tertipu dengan “rayuan maut”-nya. Vicky akhirnya dihujat, dicerca, dicaci maki oleh publik. Puncaknya Zaskiapun akirnya memutuskan pertunangannya dengan Vicky secara sepihak. Vicky kini telah menjadi “yatim piatu”. 

Beruntung saja Ibunda Vicky (Emma Fauziah) masih membela mati-matian, kalau anaknya, tidak bersalah, tidak bodoh. Namun lagi-lagi media telah memainkan “karakter ganda” buat sang ibu Vicky, semakin dia membela anaknya, semakin ia ditertawai oleh jutaan pemirsa di layar televisi. Kalau ibunda Vicky (maaf) hanya mempertegas dirinya, pun sama bodoh dengan anaknya.

Namun sebuah lompatan besar telah dilakukan oleh Vicky, kita semua tidak dapat menisbatkan, kalau bahasa yang digunakan oleh Vicky selama ini, melalui jejaring media, bahasa yang digunakannya telah mengubah ruang-ruang kecil keluarga, bahasa Vicky telah menusuk hingga ke ruang domestik rumah tangga. Dari kalangan ibu-ibu, anak-anak, tidak ada yang tidak tahu, meniru gaya bahasa Vicky yang sering dikacaubalaukan dengan bahasa asing, tidak jelas tata bahasanya.

Bahkan saat Vicky tertangkap oleh kejaksaan, bahasa Vicky yang dulunya hanya dikenal oleh segelinir orang, gara-gara kasus hukum yang menyeretnya, seorang yang jarang menonton gosip (berita artis), akhirnya mengenal sosok Vicky. Di jejaring situs facebook, twitter, hari tertangkapnya Vicky, semua orang tiba-tiba, berseloroh menulis status dengan menggunakan kata “konspirasi”. Semua orang pada demam Vicky, inilah Vickinisasi.

Sudah ditahu salah istilah “konspirasi kemakmuran”, salah tetapi tetap banyak orang yang mengulang-ulangnya. Padahal, bagaimana mungkin terwujud kemakmuran, sementara disisi lain malah terjadi konspirasi ? Apalagi menguaknya kritik para ahli bahasa. Toh, tidak jua dapat membendung bahasa Vickinisasi di semua kalangan, tidak pandang Profesor, tidak pandang sarjana, tidak pandang buruh, pedagang asongan, tua-muda, tidak peduli kalau bahasa yang digunakan oleh Vicky adalah bahasa yang kacau balau dan tidak jelas maknanya. 

Tak ayal bahasa Vicky seperti; konspirasi kemakmuran, kontroversi hati, kudeta cinta, labil ekonomi, harmonisasi, statusisasi, akhirnya mendapat porsi di kalangan anak muda sebagaimana ngetrend-nya bahasa alay: ciyus, miapa, dan lain-lain.

Bahasa Kebohongan
Bahasa, sejatinya menunjukan sebagai alat komunikasi (Habermas, 2001), untuk bertindak, untuk berperilaku, untuk mematuhi norma, maka apa gunanya menggunakan bahasa kalau lawan bicara saja tidak mengerti?

Dalam konteks ini, yang lebih diutamakan oleh Vicky bukan mengertinya lawan bicara, tetapi bahasa yang dia gunakan dengan sesekali menyelipkan bahasa asing, bukan pada makna substantif bahasanya, tetapi citra artificial yang ingin dibangun, bahwa dirinya orang intelek, namun faktanya hanya seolah-oleh (as if) intelek.

Tampilan perfeksionis yang seolah-oleh intelek itulah, menjadi komoditi, barang dagangan, agar Vicky mampu memampatkan waktu untuk mendulang popularitas, karena popularitas memang tidak perlu dibangun dalam kerangka dan konsep yang tunggal, tetapi bermain dalam relasi ”oposisi biner” (baik-buruk, salah-benar, jujur-munafik), dua sisi yang dapat menjadi alat mensimulasi kebohongan. Semakin hari dengan guncangan media, persepsi publik atas kuasa media menimbulkan bahasa vickinisasi seolah-oleh berada dipuncak kebenaran dan mendapat kepercayaan.

Bahasa tidak lagi melalui proses pendalaman, tidak lagi melalui konsensus, tidak lagi meluluh sebagai objek telaah antropologi budaya. Media menjadi “remote control” menyebarkan bahasa ke segala lintas zaman.

Kebohongan bahasa yang tidak jelas substansinya ini perlu diparodi, dibongkar, direvaluasi, kalau bahasa bukan hanya sekedar permainan ala wetgenstein (language game). Jangan sisakan ruang, batas waktu atas bahasa untuk berhenti menafsirkannnya, karena boleh jadi bahasa yang dianggap benar ternyata dilanggengkan oleh kekuasaan, oleh sebuah ideologi yang tidak pernah objektif. 

Saatnya mendengungkan kembali argumen (Derrida, 1997), untuk menolak anggapan kaum realis, yang menyatakan bahasa menunjukan realitas yang sebenarnya, sehingga bahasa dapat menyingkap kebenaran yang pasti. 

Gejala Vickynisasi yang telah menyebarkan “virusnya” kemana-mana mesti dibongkar, didekonstruksi melalui proses hermeneutic, untuk menyetop simpton vicikinisasi, agar tak lagi menyebarkan kebohongan publik yang berkepanjangan. (.*)



Konvensi Hambar

Konvensi Hambar
Margarito Kamis  ;   Doktor Hukum Tata Negara, Dosen Fakultas Hukum 
Universitas Khairun Ternate
KORAN SINDO, 26 September 2013





Langit tata negara dan politik Indonesia pada Minggu malam pukul 20.00 WIB disuguhi warna lain. Bertempat di Hotel Grand Sahid Jaya, Jalan Sudirman, Jakarta Pusat, Partai Demokrat—partai yang digambarkan oleh berbagai kalangan bernuansa partai keluarga Cikeas—ini mengenalkan 11 peserta konvensi calon presidennya. Mereka diberi kesempatan mendemonstrasikan mimpi-mimpi indahnya. Mengagumkah ? Mungkin iya. Mengapa? Harus diakui walau bukan yang pertama karena yang pertama itu telah menjadi milik Partai Golkar sejak 2004. 

Kreasi Konstitusional 
Untuk pertama kalinya konvensi sebagai sebuah cara partai politik menemukan kandidat presiden dan wakil presiden untuk dikontestasikan dalam pemilu presiden dipraktikkan di Amerika Serikat. Tetapi sesuai asal-usulnya, pranata ini tidak dimaksudkan atau dibayangkan oleh pembentuk konstitusi. 

Dalam perdebatan mereka pada Constitutional Convention 1786 di Philadelphia, gagasan ini tidak muncul, apalagi dimaksudkan sebagai cara memperoleh kandidat presiden yang harus ditempuh oleh partai politik. James MacGregor Burns, penulis buku Government by the People, memperkirakan untuk pertama kalinya gagasan ini muncul dalam panggung tata negara dan politik Amerika pada 1808. 

Para pemimpin federalis, sebut saja “blok federalis”, tulis Burns, bertemu secara rahasia di New York membicarakan siapa yang mesti dinominasikan sebagai kandidat presiden dan wakil presiden. Kenyataannya, cara ini, konvensi, belum direalisasikan pada tahun itu. Dua puluh tiga tahun kemudian, tepatnya pada 1831 ketika “blok federalis” berada di bawah kepemimpinan Andrew Jackson, barulah cara ini, konvensi, benar-benar direalisasikan. 

Konvensi ini dengan sendirinya menjadi apa yang disebut Burns sebagai the first real national convention. Menarik walau berada pada garda terdepan usaha ini, Andrew Jackson, entahkarenaderajatetikanya atauhallainyangmerintanginya, tidak ikut konvensi nasional pertama ini. Jelas, konvensi lahir, tumbuh, dan mekar bukan karena diperintahkan oleh konstitusi, melainkan karena kebutuhan politik partai politik. 

Tak mungkin cara ini tak harus dilihat sepenuhnya sebagai sebuah kreasi blok federalis, yang dalam kenyataannya menemukan blok republicanism sebagai penantang terkuat dalam peta tata negara dan politik Amerika. Sebagai sebuah terobosan, jumlah delegasi dan syarat lainnya bisa berubah-ubah. Satu hal, dan ini sangat masuk akal, karena senafas dengan mimpi besar para pencetusnya, suara para delegasilah yang supreme, memutuskan, dalam arti suara delegasi adalah penentu tertinggi siapa yang menjadi kandidat presiden dan wakil presiden. 

Para delegasi, yang tidak lain adalah pemilih terbatas ini, yang per definisi adalah rakyat di negara-negara bagian, itulah yang menentukan siapa yang menjadi kandidat presiden dan wakil presiden. Keputusan konvensi, yang beresensi sebagai keputusan rakyat itu, untuk alasan apa pun, tidak akan dan tidak dapat diubah dan atau berubah. Rakyat menjadi tuan dalam konvensi ini. Bagaimana dengan konvensi Partai Demokrat saat ini? 

Hambar 
Akankah suara rakyat, atau pemilih terhadap para peserta konvensi, yang direkam melalui survei sungguh menjadi tuan, persis seperti yang berlaku dalam konvensi Partai Demokrat Amerika? Itulah soal terbesar dari konvensi Partai Demokrat Indonesia. Hukum tertinggi dalam Partai Demokrat adalah anggaran dasarnya. 

Menurut anggaran dasar partai ini, urusan pilih-memilih calon presiden pemilihan presiden dan wakil presiden diletakkan sepenuhnya pada ketua majelis tinggi. Sampai peluncuran konvensi Minggu malam pada 15 September 2013 anggaran dasar ini tidak berubah sama sekali. Andai tak diubah, dan kelak ketua majelis tinggi menggunakan wewenangnya, menyodorkan orang lain di luar mereka yang menang dalam konvensi sebagai capres partai ini, tentu sulit untuk tak mengatakan konvensi ini bernilai setara dengan pepesan kosong bagi peserta konvensi. 

Memang secara hukum boleh saja ketua majelis tinggi menerima apa adanya hasil konvensi. Siapa yang memperoleh suara terbanyak dalam survei nanti dialah yang dicalonkan oleh partai ini. Tetapi, itu tak menghalangi hak ketua majelis tinggi menggunakan wewenangnya. Andai ketua majelis tinggi hendak mengabaikan hasil survei, tindakan itu sah. 

Pada titik itu konvensi yang sesungguhnya merupakan medan kontestasi pendahuluan Partai Demokrat dalam menyongsong pemilu presiden dan wakil presiden, tak mungkin tak terasa hambar. Mengundang orang non-Partai Demokrat ikut dalam konvensi ini, namun andai akhirnya penentuan siapa yang akan dicalonkan menjadi presiden dan wakil presiden tetap berada di tangan ketua majelis tinggi, sungguh bukan saja mengakibatkan ajang ini hambar, melainkan lebih dari itu. 

Terlalu sulit untuk tak menyematkan kata “diperalat” oleh Partai Demokrat bagi mereka- mereka yang ikut konvensi ini. Memang tunggangmenunggang selalu dapat dijumpai dalam permainan politik. Tetapi, perkara tunggang-menunggang sejatinya merupakan perkara permainan politik kelas amatiran untuk tak mengatakan tak bermartabat alias tak bermarwah dalam berpolitik. 

Boleh jadi, soal-soal itulah yang menggoda insting intelektual dan politik Pak Jusuf Kalla, Pak Mahfud MD, dan Pak Yusril Ihza Mahendra, yang semuanya dikenal luas sebagai politisi berkelas di negeri tercinta ini, dan mencegah diri mereka terjatuh ke dalam pusaran politik konvensi ini. Ketidakjelasan hukum dalam urusan nasib hasil survei setelah kampanye sungguh, sekali lagi, merupakan masalah terbesar yang membelenggu konvensi ini. 

Tak mungkin soal ini tak masuk dalam kalkulasi mereka. Keindahan tata negara dan politik yang menyembur dari konvensi ini terlalu mahal untuk dibiarkan kusut hanya karena ketidakjelasan hukum atas hasil survei itu. Tetapi, andai segenap fungsionaris Partai Demokrat tak sanggup berkata lain, selain membungkuk pada anggaran dasar dan secara positif membenarkan ketua majelis tinggi menggunakan kewenangan yang bersumber dari anggaran dasar itu, konvensi ini tak lebih dari sekadar lucu-lucuan politik kelas tinggi yang tak mungkin tak hambar.(*)

Peluang Calon Presiden Partai Islam

Peluang Calon Presiden Partai Islam
Arfanda Siregar  ;   Dosen Politeknik Negeri Medan
TEMPO.CO, 26 September 2013




Tak satu pun tokoh partai Islam dapat menyaingi tokoh partai nasionalis seandainya pemilihan presiden Indonesia dilakukan sekarang. Demikian kesimpulan beberapa lembaga survei yang intens meneliti tentang elektabilitas bakal calon presiden. 

Sederet nama tokoh dari partai nasionalis, seperti Joko Widodo, Prabowo Subianto, dan Aburizal Bakrie, terus berkibar dan menenggelamkan elektabilitas tokoh Islam, seperti Hidayat Nur Wahid, Suryadharma Ali, dan Yusril Ihza Mahendra. 

Ibarat tamu, calon presiden dari partai Islam tak mendapat simpati dari penghuni rumah, terasing di tengah mayoritas umat Islam di negeri ini. Masih berpeluangkah capres partai Islam menyaingi capres partai nasionalis pada pemilihan presiden 2014?

Sejarah mengajarkan bahwa, selama partai Islam hanya membebek tokoh nasionalis, partai Islam terus menjadi pecundang di belantika perpolitikan nasional. Selama politikus Islam tak pernah berani tampil dan mengelola politik dengan kekuatan politik yang mandiri, konsisten, serta serius memperjuangkan cita-cita ideologi dan keyakinannya, lebih suka menjadikan kader partai nasionalis sebagai "patron" mereka, maka kontestasi perpolitikan nasional bakal terus dikuasai tokoh nasionalis. 

Kita masih ingat ketika pemilihan presiden 2009 lalu, tak satu pun tokoh partai Islam dilirik oleh Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Padahal, sedari awal, partai Islam mendukung pencalonan SBY sebagai presiden. PKS, PAN, PKB, dan PPP termasuk berkeringat jagung mendukung SBY meraih tiket pilpres, serta berkomitmen menjadi teman seiring sejalan di parlemen guna mem-backup kebijakannya jika kelak terpilih. Jelas, pada pilpres 2009, partai Islam all out mendukung putra Pacitan tersebut merebut tampuk pemimpin nasional.

Namun, ketika hari penetapan calon wakil presiden tiba, tak satu pun tokoh partai Islam dipinang SBY menjadi pendampingnya. SBY lebih percaya kepada Boediono, yang sama sekali tak berbasis partai politik (parpol). SBY memandang sebelah mata terhadap keberadaan kader partai Islam, dan memilih seorang akademisi yang sama sekali tak punya kekuatan di parlemen.

Segunung harapan dari kader partai Islam agar dipilih menjadi calon wakil presiden hanya angan-angan, bagai pungguk merindukan bulan. Sederet kader partai Islam, seperti Hidayat Nur Wahid, Hatta Rajasa, Suryadharma Ali, dan Muhaimin Iskandar, gigit jari seiring penetapan Boediono menjadi calon wakil presiden (cawapres). Ini realitas yang sangat menyakitkan bagi partai Islam.

Padahal kekuatan partai Islam saat itu bukan remeh temeh. Bayangkan, gabungan dari keempat partai Islam tersebut, yaitu PAN 6,0 persen, PPP 5,3 persen, PKB 4,9 persen, dan PKS 7,9 persen, telah melampaui perolehan suara Partai Demokrat yang hanya 20,4 persen. Seharusnya, dengan kekuatan konstituen basis Islam yang lebih besar dari dukungan Demokrat, tokoh yang berasal dari partai Islam-lah yang berhak mendampingi SBY, bukan seorang akademisi yang sama sekali tak punya basis suara konstituen.

Pemilu 1999 bisa menjadi pelajaran bahwa kekuatan partai Islam bisa sukses menyaingi partai nasionalis jika seluruh elemen partai Islam rela bersatu memajukan tokoh internal mereka. Meskipun saat itu PDI Perjuangan menjadi pemenang Pemilu 1999, dalam pemilihan presiden partai ini gagal total menaikkan Megawati ke kursi presiden. Pembentukan Koalisi Partai Islam yang bernama Poros Tengah yang digagas Amien Rais mampu menaikkan Abdurrahman Wahid sebagai Presiden Indonesia. 

Rekonsolidasi kekuatan Islam dengan memunculkan satu capres sejak sekarang tak salah dilakukan lagi, jika partai Islam berkeinginan menyaingi kader partai nasionalis pada pilpres 2014. Mulai sekarang, partai-partai Islam berkoalisi mencari capres dan cawapres alternatif yang dapat mengangkat harkat dan martabat politik Islam. 

Lembaga Survei Indonesia (LSI) beberapa bulan yang lalu pernah memberikan kontribusi positif diskursus kandidasi presiden 2014 mendatang. LSI melakukan survei tentang elektabilitas kandidat presiden menggunakan kualitas calon sebagai indikator, yaitu bisa dipercaya, tidak pernah melakukan KKN, tidak pernah melakukan tindak kriminal, mampu memerintah dan mampu berdiri di atas semua kelompok, dan hasilnya menempatkan Mahfud Md. di tempat pertama (79). Sedangkan di tempat kedua adalah Jusuf Kalla (77), kemudian Dahlan Iskan (76), Sri Mulyani (72), Hidayat Nur Wahid (71), Agus Martowardojo (68), Megawati Soekarnoputri (68), Djoko Suyanto (67), Gita Wiryawan (66), Chairul Tanjung (66), dan lainnya.

Ternyata dua nama hasil penelitian tersebut, yaitu Mahfud Md. dan Hidayat Nur Wahid, berasal dari partai Islam. Yang menjadi persoalan besar yang harus dibereskan partai Islam untuk menaikkan elektabilitas kadernya justru berasal dari kalangan internal partai itu sendiri. Sering kali ketokohan partai Islam justru dihancurkan oleh pandangan sempit partai dalam menginternalisasi ideologi yang dianut. 

Pertama, rehabilitasi wawasan keislaman partai. Kegagalan tokoh partai Islam mendapatkan simpatisan adalah eksklusivitas isu yang dibawa, seperti penegakan syariah Islam, kewajiban berjilbab, dan lain sebagainya. Di tengah pluralitas bangsa Indonesia, tokoh partai Islam harus mampu membahasakan Islam yang lebih manusiawi, berkeadilan, dan membumi. 

Partai Islam bisa melihat pengalaman Partai AKP di Turki, yang sekarang sudah mengalami proses transisi menjadi partai yang post-Islamist. Partai AKP di Turki itu tetap mendukung prinsip agama Islam, tapi tidak lagi berusaha menerapkan yang disebut sebagai aspek syariah dengan paksaan. Mereka mengakui bahwa itu bukan merupakan pendekatan yang paling baik. 

Kedua, rekonstruksi gaya kepemimpinan elite partai Islam. Ada kecenderungan gaya pemimpin di partai Islam hanya dikuasai segelintir elite partai. Keputusan strategis, seperti penentuan capres dan pimpinan partai, mutlak ditentukan oleh dewan syuro atau pimpinan partai. 

Sebagai negara yang mayoritas penduduknya muslim, keberadaan capres dari partai Islam dalam kontestasi politik nasional tidak bisa dipandang sebelah mata. Justru yang membuat peluang capres Islam tersuruk ke bawah adalah ketidaksiapan dari masing-masing partai merelakan kader dari partai Islam lain didukung dengan maksimal. Bukankah kitab suci umat Islam mengatakan bahwa di atas persatuan umat Islam, rahmat Allah SWT akan lahir? (*)

Cabut Wewenang DPR

Cabut Wewenang DPR
Achmad Fauzi  ;   Hakim Pratama Muda Pengadilan Agama Kotabaru, Kalsel
KORAN JAKARTA, 26 September 2013




Proses uji kepatutan dan kelayakan calon hakim agung (CHA) di Komisi III DPR, baru-baru ini (18-9/9), menuai kritik terutama terkait aroma tak sedap politik suap. Selain isu pertemuan empat mata salah seorang anggota Dewan dengan CHA di ruang toilet, juga tersiar kabar Komisi III pernah menawarkan uang sogok kepada Komisioner Komisi Yudisial (KY) agar meloloskan calon tertentu. Tiap komisioner telah disiapkan 200 juta rupiah. 

Komisioner KY, Imam Anshori Saleh, menjelaskan pertemuan "tak sengaja" CHA Sudrajad Dimyati dengan anggota Komisi III asal Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, Bahruddin Nashori, di sela-sela proses seleksi. 

Mantan Ketua KY, Busyro Muqoddas, yang kini menjabat Wakil Ketua KPK mengaku tak heran akan praktik cela seleksi pejabat publik di DPR yang masih menggurita. Kendatipun ada CHA yang memiliki integritas dan kapasitas tinggi, jangan berharap bisa lolos sebagai hakim agung bila tak mampu membayar uang pelicin dengan tarif 2 miliar rupiah. Sungguh kotor praktik yang diterapkan DPR. Proses rekrutmen pejabat publik yang strategis sarat percaloan. 

Publik mendesak KY segera mengungkap nama-nama anggota DPR yang terlibat praktik percobaan suap pemilihan hakim agung sebab menggulirkan isu tanpa pertanggungjawaban dan tindak lanjut pelaporan melaui mekanisme yang benar akan menjadi bumerang. Lembaga pengawas keluhuran hakim ini akan dianggap lempar batu sembunyi tangan bila hanya omong kosong. Maka, KY harus segera melaporkan nama-nama tersebut ke Badan Kehormatan DPR untuk ditindak tegas. 

Publik sungguh sangat terkejut. Mekanisme pemilihan "wakil" Tuhan yang seharusnya bersih, justru sarat kerja politik uang. Praktik kotor ini harus digugat dengan mewacanakan mencabut kewenangan DPR memilih hakim agung.

Isu tentang percaloan pejabat publik di DPR memunculkan desakan agar uji kelayakan dan kepatutan yang dilakukan Komisi III DPR ditinjau ulang. Hakim agung harus bekerja independen dalam sebuah lembaga yudikatif. Namun, kenyataannya, meski pasal 24B Ayat (1) UUD 1945 mengamanatkan Komisi Yudisial (KY) sebagai lembaga yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung, mandat konstitusional yang dimiliki tidak penuh. 

KY sebatas mendaftar, menyeleksi, menetapkan, dan mengajukan CHA ke DPR. Padahal, posisi KY untuk memperkuat kekuasaan kehakiman. Namun, dalam praktik politik ketatanegaraan, lembaga legislatif memiliki otoritas penuh menentukan kelulusan para penyangga benteng terakhir keadilan itu. 

Dasar kewenangan DPR untuk memilih CHA berpijak pada ketentuan Pasal 8 Ayat (2),(3), dan (4) UU No 3 Tahun 2009 tentang MA dan Pasal 18 Ayat (4) UU No 18 Tahun 2011 tentang KY. Namun secara hierarki perundang-undangan, dasar kewenangan memilih tersebut bertentangan dengan konstitusi sebab konstitusi memosisikan DPR sebagai pemberi "persetujuan", bukan dalam frasa "memilih". Pasal 24A Ayat (3) UUD 1945 menyebutkan CHA diusulkan KY kepada DPR untuk disetujui dan selanjutnya ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden. 

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata "memilih" berarti mencari, menentukan, dan menunjuk sesuatu yang dianggap baik. Maknanya, ada serangkaian etape yang harus dilalui hingga pada akhirnya mencapai derajat persetujuan. Sedangkan kata "setuju" artinya sepakat, semufakat, sependapat. Frasa ini biasa digunakan pada tahap final setelah melewati proses memilih. 

Dalam bahasa hukum, frasa memilih lebih tepat dimaknai sebagai wewenang KY untuk memilih calon hakim agung sebab yang diatur secara rigid oleh UU untuk melakukan tahapan proses pendaftaran, seleksi menyeluruh, menetapkan, dan mengajukan calon adalah KY. 

Karena itu, ketika DPR menguji "kesetiaan politik" berkedok fit and proper test terhadap CHA, sesungguhnya telah menegasikan kerja keras KY yang diberi mandat menjaring dan menguji para calon potensial. Lembaga legislatif tak perlu menyelenggarakan etape ujian sebagaimana dilakukan KY. 

Jika dalih wewenang uji kelayakan di DPR semata-mata untuk menghasilkan hakim yang benar-benar agung, seharusnya bisa disederhanakan dengan diskresi pengurangan syarat kuota 3:1 (Pasal 18 Ayat (4) UU KY). Pertimbangannya, lebih baik KY memperketat seleksi dan mempertahankan sedikit calon berkualitas untuk setiap kamar ketimbang memaksakan mengajukan tiga CHA untuk setiap satu lowongan hakim agung yang diminta MA. 

Masalahnya, selama ini, ketentuan syarat kuota kerap diterapkan secara kaku oleh DPR sehingga sering menolak menyeleksi CHA karena kuota yang diajukan KY tidak memenuhi. Pada tahun 2012, misalnya, DPR sempat menolak melanjutkan proses seleksi CHA karena kuota belum terpenuhi. Saat itu, KY yang seharusnya mengirimkan 18 calon hanya mengajukan 12. Semestinya DPR lebih mengutamakan kualitas daripada memaksakan pemenuhan kuantitas. Kredibilitas tak bisa dikompromikan.

Rintangan terbesar terciptanya kekuasaan kehakiman yang merdeka dalam menegakkan hukum dan keadilan sejatinya berkisar pada persoalan pengaruh kekuasaan politik terhadap otoritas yudisial. Proses pemilihan hakim agung di DPR menjadi contoh nyata, jabatan dalam sebuah kekuasaan negara yang independen dipersepsi sebagai jabatan politis. Akibatnya, impian memperoleh hakim agung yang tangguh dan berpengalaman di bidang hukum terbuyarkan oleh skema permainan politik kepentingan parpol.

Jamak terjadi, meski dalam proses seleksi di KY seorang CHA telah teruji dari sisi integritas, menguasai keilmuan serta kemampuan teknis peradilan, apabila tidak memiliki kedekatan politik, dipastikan impiannya kandas. Ekstremnya, digugurkannya calon semata-mata karena tidak dapat memperjuangkan kepentingan-kepentingan politiknya. 

Mekanisme rekrutmen demikian pada akhirnya melahirkan hakim-hakim penyangga kepentingan parpol ketimbang sebagai pilar keadilan. Hakim bekerja bukan lagi untuk menegakkan hukum karena tersandera politik balas budi yang ditanamkan sejak perekrutan. Kondisi demikian menyebabkan darurat hukum dan menyulitkan proses penegakan hukum yang imparsial. Kekuasaan lembaga peradilan akan ditelikung oleh kekuatan lain untuk menyukseskan kepentingan pragmatis. 

Jika di kemudian hari proses rekrutmen CHA tidak melalui mekanisme politik di DPR, bisa dengan tim independen bentukan KY dan MA. Selain menjaga independensi peradilan dari intervensi politik, juga demi menyelamatkan ketersediaan hakim agung berintegritas dan berkualitas di masa datang. 

Hakim agung adalah sosok sentral lembaga peradilan yang menjadi panutan hakim-hakim Indonesia, baik dari segi keilmuan maupun teladan akhlaknya. Kebutuhan dua unsur tersebut sangat penting karena beberapa media massa akhir-akhir ini melukiskan cermin retak profesi hakim. Integritasnya dianggap berada pada taraf mengkhawatirkan. Susul-menyusul ditangkapnya hakim oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah musababnya. Entah tersandung kasus suap, narkoba, asusila, atau pelanggaran etik dan pidana lainnya.

Hukum di masa mendatang tidak boleh kehilangan tiang penyangga. Posisi hakim (agung) harus memiliki legitimasi yang kuat di tengah masyarakat dengan membersihkan sistem dari bercokolnya sumber daya bermental sampah. Semua tiang penyangga peradilan sepantasnya direbut dan diisi oleh para pendekar hukum yang berani menyatakan kebenaran sebagai benar dan kebatilan sebagai mungkar, sebelum jatuh ke tangan hakim hitam. 

Caranya, rekrut sumber daya berintegritas tinggi dengan mengutamakan rekam jejak, berwawasan luas di bidangnya, dan berkomitmen terhadap keilmuan. Mekanismenya juga terbuka, fair, dan netral dari unsur nepotisme. Ketika proses meraih jabatan hakim agung dilakukan dengan cara yang kotor, jangan terkejut bila lembaga peradilan menjelma menjadi sarang para penjahat berjubah dan menjadi parasit penegakan hukum.(*)

Hukum Berat Koruptor

Hukum Berat Koruptor
Aristo MA Pangaribuan  ;   Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia
KOMPAS, 26 September 2013





Semangat bangsa melawan koruptor tidak boleh surut meski hukuman terhadap pelakunya sering mencederai rasa keadilan publik. Kerja Komisi Pemberantasan Korupsi harus selalu didukung demi satu tujuan: ”Pokoknya koruptor harus dihukum berat!”

Korupsi adalah kejahatan luar biasa dan berdampak signifikan negatif terhadap pembangunan bangsa. Itu adalah Notoire feiten,sesuatu yang tidak perlu lagi diperdebatkan faktanya. Namun, cara menyikapi fakta tersebut dalam bentuk aturan membuka ruang diskursus yang luas.

Saya melihat ada dua hal krusial yang dapat diperdebatkan: pertama, penambahan persyaratan khusus dalam PP 99, utamanya mengenai kesediaan untuk bekerja sama dengan penegak hukum (cooperation with law enforcerment authorities). Kedua, mengenai baju tahanan KPK yang diperkenalkan kembali dengan berbagai model yang harus dipakai oleh tersangka ataupun narapidana kasus korupsi.

Kerja sama
Polemik pertama, ada hal yang menarik dari penambahan persyaratan khusus bagi narapidana kasus-kasus kejahatan luar biasa, salah satunya korupsi, untuk memperoleh remisi. Hal tersebut adalah mengenai terminologi ”bersedia bekerja sama dengan penegak hukum” atau yang marak disebut dengan istilah justice collaborator. Terminologi ini dikenal melalui United Nations Convention against Transnational Organized Crime yang kemudian diratifikasi Indonesia tahun 2009 melalui UU Nomor 5 Tahun 2009. Di sana dikatakan bahwa kerja sama antara penegak hukum dan tersangka (substantial cooperation) dapat menjadi dasar meringankan hukuman bagi tersangka tersebut (mitigating punishment).

Dengan penjelasan ini, dapat diambil pengertian bahwa status justice collaborator tersebut berada dalam ranah ajudikasi(persidangan).

Misalnya, hakim Mahkamah Agung Amerika Serikat pernah meringankan hukuman bagi para terdakwa yang bekerja sama dengan penegak hukum dalam kasus AS melawan Kimbrough (06-6330) dan AS melawan Gall (06-7949) tahun 2007 mengenai jaringan peredaran narkoba. Proses kerja sama ini dituangkan dalam bentuk Plea and Cooperation Agreement dengan kejaksaan. Penegak hukum tidak dapat menentukan sendiri apakah seseorang dapat mendapatkan predikat Justice Collaborator karena hakim yang akan menentukan pantas atau tidaknya seorang tersangka/terdakwa menyandang status tersebut pada saat persidangan.

Di dalam PP 99 yang menjadi polemik, ranah justice collaborator untuk kejahatan-kejahatan luar biasa termasuk korupsi menjadi berbeda pengertiannya. Ranah justice collaborator berdasarkan PP tersebut berada di dalam proses pasca-ajudikasi. Hal ini ditegaskan dengan fakta bahwa status justice collaborator adalah salah satu syarat mutlak bagi para narapidana untuk mendapatkan remisi. Padahal, apabila seseorang sudah menyandang status terpidana, tidak boleh lagi ada diskriminasi berdasarkan hal apa pun sesuai dengan prinsip dasar Kongres PBB mengenai Standard Minimum Rules for the Treatment of Prisoners. Rasionya, begitu sudah menjadi narapidana, tidak dapat lagi diperhitungkan hal-hal lain yang memberatkan pada khususnya karena pertimbangan-pertimbangan tersebut sudah selesai pada proses pengadilan (ajudikasi).

Perbuatan vs pelaku
Polemik kedua mengenai baju tahanan KPK. Pimpinan KPK memperkenalkan empat model baju tahanan: pertama, baju tahanan untuk sidang, baju tahanan untuk harian, baju tangkapan, dan baju olahraga untuk tahanan. Semuanya merupakan baju, baik untuk para tersangka yang akan dan sedang menjalani sidang pengadilan (untried prisoner) dan tidak dibedakan dengan para narapidana.

Sayangnya, hal itu tidak sesuai dengan Standard Minimum Rules for the Treatment of Prisoners. Disebutkan dalam Pasal 88 Standard PBB tersebut bahwa para untried prisoners dapat memakai pakaiannya sendiri karena mereka harus dianggap tidak bersalah karena belum adanya putusan pengadilan. Dan, soal pakaian, harus dibedakan antara untried prisoners dan convicted prisoners (terpidana yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap).

Penulis setuju bahwa tindak pidana korupsi harus diberantas. Namun, semangat ”yang penting koruptor harus dihukum berat” haruslah memperhatikan rasio hukum yang ada. Dua permasalahan itu menunjukkan bahwa sistem hukum acara pidana yang hendak dibangun menekankan pada prinsip pemidanaan retribusi (retributive justice) yang masih tradisional dengan menaruh sang pelaku tindak pidana (the offender) sebagai fokus sentralnya dan bukan perbuatannya (the offence) sebagai konsentrasi utama.

Dalam perkembangannya, prinsip ini sudah kuno karena dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan hukum acara pidana yang modern dan lebih menekankan keadilan yang restoratif (restorative justice) sebagai alternatif pemidanaan yang menekankan kepada perbuatannya dan bukan pelakunya.

Terlepas dari itu, penulis mengapresiasi syarat dari remisi PP tersebut yang membayarkan uang pengganti korupsi sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan remisi. Hal-hal seperti ini yang perlu dikedepankan karena menaruh fokus kepada perbuatannya dan bukan sang pelaku tindak pidananya. Karena esensi dari uang pengganti itu tentunya adalah mengembalikan kekayaan negara yang telah dicuri oleh sang koruptor.

Semangat ”pokoknya koruptor harus dihukum berat” haruslah diimbangi dengan rasio dan dasar hukum yang kuat sehingga nantinya kebijakan yang lahir bukanlah kebijakan balas dendam terhadap pelakunya, seperti yang pernah diutarakan Francis Bacon, filsuf sekaligus mantan Jaksa Agung dan Lord Chancellor Inggris dalam esainya yang berjudul Of Revenge.(*)

Abnormalitas Pengaturan Pilkada

Abnormalitas Pengaturan Pilkada
Bahrul Ilmi Yakup  ;   Ketua Asosiasi Advokat Konstitusi (AAK);
Ketua Pusat Kajian BUMN
KOMPAS, 27 September 2013




Pemilihan kepala daerah dapat disebut buah pahit produk era Reformasi. Konsekuensinya menelurkan pengalaman pahit bagi perjalanan pemerintahan negara, dan masyarakat.

Salah satu penyebabnya, pilkada langsung dipilih secara tergesa-gesa dalam euforia kebebasan pasca-keterkungkungan pada era Orde Baru tanpa pemahaman dan pengaturan yang memadai.

Pilkada langsung dipilih tanpa kajian akademik dan empiris yang determinatif. Hal itu kian diperparah dengan pengaturan secara sumir serta tidak jitu dalam UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagai pengganti UU No 22/1999. Oleh karena itu, logis jika dalam implementasi dan praksisnya saat ini pilkada langsung menimbulkan sejumlah permasalahan.

Dari sekian banyak noktah hitam pilkada, Pilkada Gubernur Provinsi Lampung yang saat ini berada dalam tahapan penyelenggaraan layak dirujuk sebagai contoh guna memberi masukan perbaikan untuk pengaturan dan praktik pilkada mendatang. Pilkada Gubernur Lampung saat ini terhenti tahapan penyelenggaraannya karena tidak ada anggaran yang dialokasikan dalam APBD. Kenapa pengalaman pahit demikian sampai terjadi dan tidak mampu diatasi?

Kejadian pahit Pilkada Gubernur Lampung dilatarbelakangi sejumlah faktor, antara lain, politik dan hukum. Dari aspek politik tentu bagian dari pertarungan merebut dan mempertahankan kekuasaan. Sementara dari aspek hukum, kejadian tersebut merefleksikan pengaturan yang buruk terhadap urusan pilkada.

Buruknya kualitas pengaturan merupakan salah satu karakter perundang-undangan Indonesia, terutama era Reformasi. Pada era Reformasi, muncul tren produk perundang-undangan asal jadi, asal menampung ide dan kepentingan sesaat secara instan. Akibatnya, produk perundang-undangan lebih banyak menimbulkan permasalahan pada tahap implementasi dan praksis.

Perbaikan pengaturan
Sejumlah masalah implementasi dan praksis yang muncul pada pilkada selama rezim UU No 32/2004, berikut perubahannya, seyogianya jadi masukan konstruktif guna memperbaiki pengaturan pilkada mendatang. Apalagi saat ini Rancangan UU Pilkada sedang dibahas di DPR.

Namun, patut disayangkan, sepertinya RUU Pilkada mendatang belum (tidak) akan memproduk pengaturan pilkada yang baik, berkualitas, apalagi komprehensif. Sebab banyak permasalahan pilkada yang tidak (belum) diatur secara baik, menyeluruh, dan sistemik.

Konstruksi RUU Pilkada yang sekarang dibahas Komisi II DPR hanya merujuk persoalan inti secara terbatas. Padahal, masih banyak persoalan krusial yang harus mendapat porsi pengaturan secara runtut, lengkap, dan sistem yang sesuai asas pengaturan dan penormaan yang baik.

Isu krusial yang belum mendapat pengaturan antara lain soal anggaran pilkada. Anggaran pilkada dalam RUU Pilkada hanya diatur dalam satu pasal, yaitu Pasal 163, sebagai metamorfosis Pasal 112 UU No 32/2004, yang nyatanya menimbulkan masalah praksis seperti dalam Pilkada Gubernur Lampung saat ini. Juga masalah pencalonan wakil kepala daerah oleh kepala daerah, dan RUU belum pula mengatur prosedur, mekanisme, dan solusi jika muncul sengketa dalam pencalonan wakil kepala daerah.

Selain itu, masalah harmonisasi dengan norma UU terkait lainnya. RUU Pilkada tidak menyinggung harmonisasi norma dengan UU Pemerintahan Daerah Khusus DKI, Aceh, dan Yogyakarta. Tidak pula menjelaskan ratio legis pengembalian wewenang mengadili sengketa pilkada dari Mahkamah Konstitusi kepada Mahkamah Agung. Mengapa wewenang mengadili sengketa pilkada harus dikembalikan kepada Mahkamah Agung?

Pengaturan pilkada mendatang seyogianya lebih baik daripada yang sekarang. Karena itu, diharapkan pengaturan mendatang sesuai dengan ilmu legal drafting dan asas pengaturan yang baik dan konstruktif. Hal ini agar kualitas pengaturan memiliki kapasitas mengatur semua permasalahan dan kompeten untuk menjawab sejumlah permasalahan yang akan timbul. (*)

Cermin Kehendak Rakyat

Cermin Kehendak Rakyat
Toeti Prahas Adhitama     Anggota Dewan Redaksi Media Group
MEDIA INDONESIA, 27 September 2013






SEKALIPUN ada ungkapan banyak yang ditawarkan, pilih sesuai keinginan, bagi kalangan konstituen deret an panjang calon presiden (capres) atau calon legislatif (caleg) tidak memudahkan pilihan. Memilih di antara sekian banyak orang hebat memang tidak gampang. Apalagi setiap calon pemimpin menampilkan diri atau ditampilkan sebagai yang paling tepat. Seandainya konstituen homogen, barangkali persoalannya lebih mudah karena, paling tidak, para konstituen diasumsikan memiliki tolok ukur serupa, walaupun tak sama; tergantung sisi mana fokusnya. Ada yang fokusnya sisi spiritual, sisi nasionalisme, sisi kepandaian dan kecerdasan, atau integritas maupun kejujuran.


Bahkan ada yang mengandalkan penampilan. Unsur-unsur seperti itu yang menyebabkan banyak perusahaan public relations (PR) di negara-negara maju menjadi laku menjelang pemilu. Dengan mencermati bagaimana pasar konstituen, mereka akan merumuskan konsep kampanye yang tepat agar partainya laku. Di masyarakat yang berpolitik maju, pendidikan politik para konstituen dianggap memadai hingga mereka mampu membuat pilihan sendiri.


Kita sekarang sudah mulai ramai berbicara tentang jajaran pimpinan yang dibutuhkan masa depan. Bedanya dengan di negara maju, latar belakang pendidikan/pengetahuan politik kostituen kita belum merata, bahkan heterogen, hingga sulit mencapai hasil yang diharapkan menggambarkan kesatuan persepsi. Di samping itu, budaya baca belum juga tumbuh di negara yang sudah hampir tujuh dasawarsa merdeka ini. Lantas, dari mana sumber informasi dan inspirasi mereka, kalau bukan dari tayangan televisi? Itu pun mayoritas penonton akan memilih tayangan yang mudah dicerna dan menghibur. Bukan yang rumit dan berbelit-belit, yang dianggap mengganggu ketenangan pikiran.


Toh ada yang tidak terima ketika dikatakan, banyak di antara kita masih naif soal politik; yang menyebabkan capres dan caleg yang populer dan dermawan mungkin akan lebih mudah mendapat suara. Ini antara lain menjelaskan mengapa money politics masih marak. Elektabilitas tokohtokoh populer yang dermawan tentu lebih besar daripada yang pandai dan mengandalkan kejujuran semata, ataupun yang berintegritas, tetapi bersikap tegas kalau bukan keras.


Dalam suatu obrolan santai pernah ada komentar cerdas, “Untuk pemimpin masa depan, berhati baik saja tidak cukup. Perlu sikap tegas.“ Namun berapa banyak di antara kita menyadarinya? Partai-partai politik pun tidak merasa wajib mengurangi kalau bukan menghapuskan kenaifan itu, misalnya lewat pendidikan politik. Malahan mungkin akan banyak yang memanfaatkan kenaifan itu untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya.


Tuntutan perbaikan situasi


Tegas tidak selalu berarti keras. Seninya terletak pada bagaimana menerjemahkan konsep tegas. Misalnya, perilaku disiplin dan teratur menuntut sikap tegas pimpinan. Pembiaran akan memperkeruh keadaan. Bila kita baca situasi masyarakat akhir-akhir ini, secara realistis dan pragmatis kita tahu bahwa kerusuhan, kekerasan, dan keresahan sosial yang ada tidak bisa dibiarkan berlarut-larut. Itu bila kita mengangankan terwujudnya Indonesia yang kita cita-citakan. Pemilu 2014 memberi kesempatan untuk memperbaiki situasi dengan memilih jajaran pemimpin baru yang mumpuni. Yang menyedihkan, benih-benih kekacauan sosial ini justru sering dibangkitkan orang-orang yang diharapkan memimpin dan memberi teladan.


Banyak sinyalemen bahwa kita belum siap berdemokrasi. Apakah partai-partai politik sebagai pilar-pilar demokrasi merasa perlu memberikan pendidikan integritas kepada kader-kadernya, mengingat bahwa salah memilih pemimpin dilakukan di manamana? Materialisme dan pragmatisme telah menggerogoti. Wajar timbul kecurigaan terhadap partai-partai politik yang, notabene, melahirkan pemimpin-pemimpin politik. Maka ketika terjadi demo atau tawuran dalam berbagai bentuk, kita cepat curiga; apakah pesertanya murni atau sudah bermental bayaran?


Situasi ideal


Idealnya, sebelum Pemilu 2014, kekisruhan sosial-politik ini sudah bisa diatasi, walaupun belum sesempurna yang kita kehendaki. Mungkin itu pula yang digagas Abraham Samad ketika mengatakan kasus korupsi Bank Century akan selesai sebelum akhir 2012. Dia mengatakannya ketika baru diangkat menjadi ketua KPK, Desember 2011. Bahwa lebih dari satu tahun kemudian kasus itu belum juga tuntas membuktikan, bila kasusnya ada kaitannya dengan pusat-pusat kekuasaan ternyata penyelesaiannya memakan waktu sangat lama. Diperlukan beberapa hari untuk memvonis pencuri ayam. Kasus pencurian uang rakyat triliunan rupiah memerlukan bertahun-tahun, malahan mungkin prosesnya akan membeku sebelum mencapai titik akhir. DPR yang dinyatakan mewakili rakyat pun tampak tidak berdaya. Di DPR kedaulatan rakyat telah terbelenggu.


Kelirukah kalau dalam pemilu nanti ada kelompok-kelompok yang memutuskan menjadi golongan putih (golput)? Yang memiliki potensi menjadi golput tentunya yang mengerti situasi dan memegang prinsip tidak mau membohongi diri; selain mereka yang mulai kehilangan rasa percaya pada sistem politik yang ada. Kalangan intelektual muda cenderung bersikap demikian.


Jumlahnya memang kalah dibandingkan dengan kalangan politisi yang meyakini bahwa pemilu menjadi tuntutan demokrasi yang harus dibela dan dipertahankan. Selain itu, ada orang-orang yang tidak berkecimpung dalam pergaulan politik tetapi masih bersedia mengikuti arus karena tidak terlalu peduli siapa yang akan menang; asalkan kepentingan mereka terlindungi.





Kesimpulannya, kalau dalam Pemilu 2014 jumlah golput meningkat pesat, atau kita salah memilih pemimpin, tentu bukan semata-mata para calon pemimpin yang salah. Sebagian besar kesalahan terletak pada para pemilih sendiri. Para pemimpin hanya menjawab kehendak masyarakatnya. Bagaimana masyarakat, begitulah para pemimpinnya. (*)

Menggagas Poros Tengah II

Menggagas Poros Tengah II
Ardi Winangun     Penggiat Komunitas Penulis Lapak Isu (Koplaks)
OKEZONENEWS, 27 September 2013





Setelah lama tenggelam dalam hiruk pikuk dunia politik, Ketua Majelis Pertimbangan Partai Amanat Nasional, Amien Rais, kembali melakukan kejutan. Kejutan yang dimunculkan berupa keinginan membentuk kembali Poros Tengah Jilid II. Poros Tengah Jilid I adalah kekuatan politik partai-partai Islam yang eksis pada tahun 1999. Himpunan partai politik Islam yang terdiri dari PPP, PAN, PKB, PK(S), dan PBB, itu mengusung Abdurrahman Wahid dalam pemilihan presiden yang dipilih oleh MPR dalam Sidang Umum MPR tahun 1999 dan sukses dalam pemilihan presiden saat itu.

Keinginan Amien Rais membentuk kembali Poros Tengah II bisa jadi dilandasi pikiran di mana kondisi menjelang Pemilihan Presiden tahun 2014 sama seperti suasana Pemilihan Presiden pada tahun 1999. Di mana masyarakat dihadapkan pada dua calon presiden yang mempunyai kekuatan seimbang. Siapa calon presiden itu? Tidak perlu disebutkan di sini, nanti calon presiden itu merasa gede rasa alias ge er. Menurut Amien Rais hal demikian bisa jadi membahayakan kondisi bangsa sehingga perlu disodorkan calon presiden (alternatif) yang dirasa mampu berdiri di tengah.

Namun Amien Rais sepertinya tidak membayangkan bahwa situasi politik saat ini jauh berbeda dengan situasi politik pada masa awal-awal reformasi. Pada awal reformasi suasana masih terbawa suasana politik aliran sehingga dikotomi kelompok Islam dan nasionalis masih mengental kuat sehingga hal ini mendukung berhimpunnya kelompok Islam dan nasionalis pada kubu masing-masing.

Seiring semakin cerdasnya masyarakat dan mencairnya politik aliran, maka dikotomi Islam dan nasionalis meski masih ada namun hal demikian menjadi tidak penting. Mencairnya dikotomi Islam dan nasionalis indikasinya banyak politisi yang berlatar belakang organisasi Islam masuk ke dalam partai-partai yang tidak mengusung ideologi Islam. Partai-partai politik seperti Golkar dan Demokrat dibanjiri oleh aktivis-aktivis yang berasal dari organisasi massa Islam.

Masuknya aktivis-aktivis berlatar belakang organisasi Islam ke dalam partai politik berhaluan nasionalis rupanya sangat berpengaruh besar terhadap sikap dan kebijakan partai politik itu. Buktinya partai politik berhaluan nasional memperjuangkan aspirasi ummat Islam. Misalnya seperti dalam dukungan terhadap UU tentang Pendidikan Nasional dan UU Tentang Pornografi dan Pornoaksi. Sikap partai politik berhaluan nasionalis yang demikian membuat ummat Islam tak ragu ketika memilih partai politik berhaluan nasionalis. 

Membentuk Poros Tengah I, saat itu, dilandasi pikirian bahwa dengan poros ini diharapkan aspirasi ummat Islam bisa diperjuangkan. Selama masa Orde Baru, aspirasi ummat Islam sering mampet sehingga ummat Islam merasa terpinggirkan. Ketika masa reformasi maka keinginan untuk memperjuangkan aspirasi ummat sangat terbuka sehingga ummat Islam yang pada masa Orde Baru terhimpun dalam PPP berganti ke dalam Poros Tengah. 

Sebenarnya peluang untuk memperjuangkan aspirasi ummat Islam sangat terbuka lebar ketika Poros Tengah I berhasil mendudukkan Abdurrahman Wahid menjadi presiden namun harapan itu sepertinya tinggal harapan sebab Abdurrahman Wahid dalam tindak tanduknya ternyata terkesan jalan sendiri dan bahkan memancing amarah ummat Islam, seperti adanya keinginan untuk membuka hubungan dengan Israel. 

Semakin tidak terkendalinya sikap Abdurrahman Wahid dalam mengambil kebijakan akhirnya membuat Poros Tengah menjadi retak. Kecuali PKB, Poros Tengah merasa kecewa dengan Abdurrahman Wahid. Hingga akhirnya, Poros Tengah minus PKB ditambah kekuatan lain, seperti Partai Golkar, PDIP, dan militer, menggulingkan Abdurrahman Wahid. 

Belajar dari pengalaman Poros Tengah I, sepertinya keinginan untuk membangun kembali Poros Tengah II tak akan terjadi. Faktornya, pertama, Poros Tengah mengalami kegagalan dalam ‘berkoaliasi abadi’. Ada dusta di antara anggota Poros Tengah I membuat partai-partai politik berhaluan Islam saat ini, seperti PKB, PAN, PKS, dan PPP, merasa trauma dengan pengalaman Poros Tengah I. Ada dusta di antara mereka sebab diantara mereka saling tuding, PKB merasa dikhianati sebab rekan partai politik Islam lainnya menggulingkan Abdurrahman Wahid. Sedang partai politik Islam lainnya merasa Abdurrahman Wahid tak bisa memperjuangkan aspirasi ummat.

Kedua, tak hanya trauma yang sulit untuk membangkitkan kembali Poros Tengah II. Sistem pemilihan presiden yang tak lagi di MPR. Dulu Poros Tengah I berhasil memenangakan Abdurrahman Wahid sebagai presiden sebab sistem pemilihannya berada di MPR. Ketika masih berada di MPR tentu suara dari Poros Tengah bisa dijaga dan dikendalikan untuk setia mendukung calon presiden pilihan namun ketika UUD NRI Tahun 1945 mengamanatkan presiden dipilih langsung oleh rakyat tentu sangat susah untuk mengendalikan suara yang jumlahnya puluhan juta ini. Sehingga keinginan Poros Tengah II seperti Poros Tengah I di mana mereka bisa memenangkan pemilihan presiden susah terulang. Sekarang rakyat yang memilih bukan elit politik di parlemen dan keinginan antara elit politik di parlemen dengan rakyat sering tak sejalan. Pilihan elit politik belum tentu pilihan rakyat, begitu sebaliknya.

Toh kalau sekarang Poros Tengah II berhasil dibentuk dan mereka mengusulkan calon presiden dan wakil presiden, posisi Poros Tengah II hanya sebagai instrumen untuk mengusung calonnya. Kalau sebatas instrumen apa bedanya dengan PDIP, Partai Golkar, dan Partai Demokrat yang juga mengusung calonnya. Jadi Poros Tengah II bukan lagi sebuah kekuatan politik yang dahsyat seperti di tahun 1999 yang bisa menjadi kekuatan alternatif atau penengah.

Ketiga, saat ini, berpolitik bukan lagi dilandasi ideologi dan idealisme namun kepentingan pragmatis. Partai-partai politik sekarang mendukung salah satu calon, baik calon presiden atau kepala daerah, bukan dilandasi oleh kesamaan haluan, Islam atau nasionalis, namun seberapa besar calon itu akan menang dalam pemilihan presiden atau pilkada. Jadi partai-partai politik yang ada memantau siapa-siapa saja calon itu yang memiliki peluang menang tanpa melihat latar belakangnya. Kalau kita lihat, dalam pilkada, sering kita temukan partai politik Islam bergabung dengan partai politik berhaluan nasionalis. Contohnya Pilkada Kota Bandung, koalisi antara PKS dan Partai Gerindra. 

Ketika pragmatisme menjadi dasar berkoalisi maka sampai nangis-nangis darah pun Poros Tengah II tak akan terbentuk. Para elit partai-partai politik Islam sekarang berpikiran ngapain repot-repot membentuk Poros Tengah II kalau kalah dan tidak dapat apa-apa dalam pemilihan presiden. ●

Mengembalikan Peran Negara

Mengembalikan Peran Negara
Herie Purwanto  Dosen Fakultas Hukum Universitas Pekalongan (Unikal)
SUARA MERDEKA, 26 September 2013





TANTANGAN Kepolisian Negara RI makin bertambah berat. Saat ini, rakyat kian tidak puas dengan kinerja pemerintah dalam memberikan rasa aman. Di sisi lain, polisi yang seharusnya jadi pengayom warga, belakangan ini diliputi suasana teror. Sementara suhu politik menjelang Pemilu 2014 makin meningkat.


Kian tingginya ketidakpuasan rakyat atas kinerja pemerintah dalam memberi rasa aman terlihat dari hasil jajak pendapat Kompas yang dilakukan secara periodik (Kompas, 22/9/13).
Dalam bernegara, pembahasan rasa aman di tengah masyarakat tak akan bisa lepas dari peran Polri. Hal itu mengingat secara yuridis, peran memelihara keamanan dalam negeri jadi domain Polri. Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri secara jelas menyebutkan hal itu.


Karena itu, ketika hasil survei beberapa media, termasuk Kompas, kembali menggugat rasa aman akhirakhir ini, Polri menjadi garda terdepan untuk menjawabnya. Bagaimana strategi Polri mengembalikan peran negara dalam memberikan rasa aman kepada rakyat? Salah satunya secara internal, dengan mengubah konsep untuk menguatkan fungsi preventif yang selama ini terabaikan.


Tiga Fungsi


Konstruksi dari organisasi Polri yang kini didukung sekitar 400 ribu personel, menempatkan bidang-bidang tugas operasional untuk mendukung pelaksanaan tugas tadi. Bidang fungsi operasional itu dikelompokkan dalam tiga pilar, yaitu bidang preemtif, preventif ,dan represif. Bidang preemtif dijalankan oleh fungsi intelijen kepolisian, yang memberikan peringatan/deteksi dini dan kontribusi kerangka bertindak fungsi operasional lain.


Sebagaimana fungsi intelijen pada umumnya, intelijen Polri harus bisa mendeteksi dan memprediksi gejala yang timbul dari tiap kejadian. Sekecil apa pun kejadian itu, harus bisa diproyeksikan dampaknya bagi rasa aman masyarakat. Sebelum jadi benih-benih permasalahan, intelijen sudah harus bisa masuk ke dalamnya, melakukan penggalangan dan menjadikannya sebagai kekuatan positif yang bisa dikelola demi keterwujudan rasa aman.


Ketika peran ini kurang maksimal maka peran tugas preventif (pencegahan) akan tampil. Dilakukan komunikasi, dialog, menampung aspirasi kemudian dikelola untuk bersama-sama Polri mencegah, menguatkan diri (imun) terhadap gelagat terjadinya kejahatan, dalam wujud pengamanan swakarsa. Bila potensi itu sudah amelembaga dalam masyarakat maka ia bisa berperan aktif, bersama-sama Polri, mewujudkan rasa aman.


Ciri-ciri sudah terlembaganya kekuatan tersebut adalah adanya kesadaran masyarakat untuk melapor bila jadi korban kejahatan, bersedia menjadi saksi, melaporkan atau mau peduli tiap ada gelagat yang mencurigakan di sekitar tempat tinggalnya. Adapun konstruksi represif akan bergerak ketika risiko gangguan terhadap rasa aman itu sudah tak bisa dikendalikan melalui upaya preemtif dan preventif atau penegakan hukum.


Penegakan hukum itu mencakup ketentuan undang-undang yang bersifat umum sebagaimana dalam KUHP dan yang bersifat khusus, di antaranya terorisme, korupsi, dan narkotika. Tiga jenis kejahatan tersebut, sejatinya bisa menjadi barometer penegakan hukum oleh Polri, mengingat ketiganya adalah kejahatan luar biasa yang sangat meresahkan masyarakat.


Tempat Favorit


Sebagaimana teori dalam organisasi, tiga fungsi operasional yang menjadi subsistem, harus bisa bersinergi satu dengan lainnya. Tidak boleh ada yang merasa dirinya subsistem utama. Bisa dianalogikan, apalah arti mesin canggih bagi sebuah mobil dengan kapasitas silinder besar namun tidak didukung komponen, seperti selang bensin atau ban, yang berfungsi baik? Inilah yang terjadi pada diri organisasi Polri saat ini.


Kita masih melihat penempatan personel-personel yang îutamaî pada salah satu fungsi, tanpa memberikan keseimbangan pada fungsi lainnya. Masih ada pengotak-ngotakan dan persepsi bahwa fungsi represif adalah tempat favorit, ”pos basah” dan sebagainya. Akibatnya, lulusan terbaik sekolah pembentukan atau pengembangan Polri berebut masuk ke sana. Hal ini sangat disadari oleh pimpinan Polri, salah satunya Kapolda Metro Jaya Irjen Putut Eko Bayu Seno.


Ia membuat terobosan dengan menempatkan lulusan Akpol, PTIK, ataupun Sekolah Pimpinan Polri pada fungsi preventif. Harapannya, tercetus banyak gagasan baru yang bisa menebalkan daya tangkal, daya cegah masyarakat terhadap kejahatan, sekaligus menguatkan partisipasi mereka terhadap tugas Polri. Harus ada perubahan konsep bahwa fungsi pencegahan yang diemban fungsi Bimbingan Masyarakat (Binmas) Polri, bukan pelengkap dari fungsi-fungsi yang ada. Lebih baik mencegah ketimbang membiarkan menjadi penyakit, yang sulit untuk menyembuhkannya.


Fungsi preventif kuat, masyarakat imun, dan berpartisipasi pada tugas Polri, akan menjadi kekuatan besar dalam mengatasi gangguan kamtibmas. Realitas itu secara otomatis bisa mengembalikan peran negara dalam menjamin rasa aman rakyat. ●


Reaksi: 







Memelihara Hak Hidup
Anang Sulistyono ; Peserta Program Doktor
Universitas Tujuhbelas Agustus Surabaya

SUARA KARYA, 27 September 2013






Salah satu peran negara yang digariskan konstitusi adalah menjaga, melindungi, atau menyelamatkan hak hidup warga. Kalau hak hidup warga sering sering terancam dan dijadikan obyek permainan, ini mengindikasikan kegagalan negara dalam memerankan peran humanitas strukturalnya.


Firman Allah SWT menyebutkan, "Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah ia memelihara kehidupan manusia semuanya" (QS, Al-Maidah: 32). Ayat ini ditafsirkan oleh Nurcholis Madjid, "siapa yang menghidupi satu orang, identik dengan menghidupi manusia sejagad, dan siapa yang membunuh satu orang, identik dengan membunuh manusia sejagad".
Interpretasi Cak Nur tersebut dapat dipahami, bahwa hidup seseorang di muka bumi ini wajib dilindungi. 


Perlundungan kepadanya, sama dengan melindungi puluhan dan jutaan manusia lainnya. Yang tergantung pada nyawa satu orang bukan hanya anak, isteri, atau anggota keluarga dekatnya, tetapi juga elemen masyarakat lainnya. Ketika nyawa seorang anak manusia tercabut, bisa terjadi, kepentingan banyak orang akan tereksaminasi.


Dalam Pasal 9 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia ayat (1) dipertegas, bahwa setiap orang berhak untuk hidup, dan mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya. Ketentuan yuridis itu menunjukkan bahwa hak untuk hidup merupakan hak mendasar yang melekat atau dimiliki seseorang sebagai karunia Tuhan. Tuhan telah mempercayakan kepada manusia untuk menjalani atau membangun kehidupannya dengan baik, benar, dan bertanggungjawab, terutama saat manusia ini mendapatkan amanat publik.


Salah satu model menjalani kehidupan dengan baik adalah dengan cara berusaha melindungi dan menjaga diri dari berbagai bentuk ancaman atau penyakit sosial yang membahayakan diri dan keselamatannya. Salah satu jenis penyakit sosial yang membahayakan ini adalah kemiskinan. Kemiskinan merupakan jenis penyakit yang bisa mengakibatkan terjadinya disharmonisasi internal keluarga maupun disharmonisasi punlik.


Kemiskinan, sebagaimana laporan Bank Dunia terbaru menunjukkan, sebagian besar penduduk miskin di Asia Tenggara tinggal di Indonesia. Lebih dari 110 juta orang Indonesia hidup dengan penghasilan kurang dari 2 dolar AS atau kurang dari Rp 19 ribu per hari. Jumlah orang sebanyak itu sama dengan total penduduk Malaysia ditambah seluruh penduduk Vietnam dan Kamboja (Ilham Gunawan, 2011).


Meski kemiskinan termasuk penyakit sosial, namun seseorang miskin tetap tidak boleh dibiarkan hidup hingga meninggal dunia akibat kemelaratannya itu. Mereka yang hidup miskin ini tetaplah pelaku sejarah yang menentukan kualitas keberlanjutan hidup diri dan elemen keluarganya. Mereka itu, mempunyai hak hidup yang mendapatkan privilitas untuk melakukan pembebasan dan pembaruan bagi keluarganya, seperti kewajiban mengingatkan negara saat elemennya "membisukan" nurapninya atau merebut haknya saat didengar ada pemimpin negara atau elit kekuasaan bermaksud membagi-bagikan dana publik seperti bantuan langsung sementara masyarakat (BLSM).


Terbukti, begitu mereka mendengar adanya BLSM maka terjadi booming orang miskin dan mereka berbondong-bondong mendatangi tempat penyaluran. Sikap seperti ini menandakan, bahwa mereka merindukan kesejahteraan.


Sahabat Ali RA, sosok cendekiawan dan pejuang muda di zaman Nabi Muhammad SAW pernah berkomentar, "andaikan aku bertemu kemiskinan, tentu aku akan membunuhnya". Komentar ini dapat ditafsirkan, bahwa dalam diri pejuang atau pemegang kekuasaan, orang-orang miskin merupakan "proyek fundamentalnya", yang wajib diprioritaskan untuk digarap.


Orang miskin bukan hanya menjadi "proyek" kesalehan invidual, tetapi seharusnya juga kesalehan kekuasaan. Siapa saja yang sedang menyandang prediket aparat negara, punya kewajiban untuk membuat peran dan kewenangannya mampu memberikan dampak perubahan di lini perbaikan ekonomi atau kesejahteraan hidupnya.


"Orang-orang miskin, orang-orang di jalanan, yang tinggal dalam selokan, yang kalah di dalam pergulatan, yang diledek oleh impian, janganlah mereka ditinggalkan", demikian sajak WS Rendra, yang sebenarnya sebagai bentuk kritik terhadap praktik pelecehan, pendiskriminasian, penindasan atau ketidakadilan terhadap orang-orang miskin, orang-orang yang tertindas, atau kumpulan manusia yang sedang dikalahkan oleh seseorang atau sekelompok orang yang membangun kekuatan yang memproduk kezaliman kekuasaan berlapis-lapisnya.


Dalam kesalehan kekuasaan, setiap pejabat atau pengelola dananya orang miskin dituntut "sahih" dalam ucapana mupun tindakan. Antara kata dengan realitas harus menyatu menjadi bahasa yang berpihak pada rakyat. Kesahihan kekuasaan merupakan investasi terbesar bagi kemaslahatan publik. Rakyat miskin tidak akan pernah bisa keluar dari ketertindasannya, selama pelaku kekuasaannya masih lebih senang dan bangga memelihara dan membenarkan pola penindasan dan pendiskriminasian.


Apa yang sudah menjadi hak orang miskin tidak boleh ditunda-tunda, diabaikan, ditelantarkan, dan apalagi sengaja dipermainkan, karena sejatinya, orang miskin ini sudah tidak sabar menunggu haknya berpihak kepadanya. Selama ini, orang miskin lebih sering dieliminasi dan alinasikan dari bingkai amanat struktural kerakyatan.


Ketika suatu saat muncul kemarahan atau sikap radikalis dari orang miskin, mereka cepat-cepat distigma sebagai rakyat yang tidak penyabar, tidak membudayakan antri, atau tidak pekerja keras. Padahal mereka ini sejatinya sudah banyak berusaha membebaskan diri dari kemiskinannya, namun tetap kesulitan atau terkadang dibuat sulit oleh negara.(*)