Efek Pospornografi Lady Gaga(L) Konser
Damang Averroes Al-Khawarizmi; Peneliti Republik Institute
dan Co-Owner negarahukum.com
Fajar, 30 Mei 2012
Minggu pagi, 27 Mei benar-benar menyudahi
pro dan kontra konser Lady Gaga. Diva asal Amerika itu akhirnya gagal
manggung di Indonesia karena alasan keamanan. Kepolisian pun menjadi
sarang “caci maki” karena dianggap tidak mampu menjalankan tugasnya
sebagai penjaga keamanan dan ketertiban masyarakat sehingga konser yang
sedianya dihelat 3 Juni, gagal terlaksana.
Di balik
pembatalan konser Lady Gaga, ada pemutarbalikan, pembauran, tarik-
menarik kepentingan antara nilai etik, moral dengan estetika, dan seni
terhadap aksi kebiasaan manggung sang idola. Lady Gaga memang kerap
tampil sensual, dan erotis, mengindikasikan bahwa tubuh bagi artis
pendukung dan pejuang gay itu adalah sebuah nilai komoditas.
Penonton
konser Lady Gaga, baik melalui televisi maupun konser, dapat
menyaksikan secara langsung liukan tubuhnya. Para fans (baca: pemuja)
secara tidak sadar telah terperosok dalam pemujaan hasrat sensual,
menuhankan tubuh, menuhankan sensual dari tubuh moles, sintal, dan
langsing milik diva asal Amerika itu.
Nilai jual tubuh
Lady Gaga sangat mahal. Setiap dia manggung tidak terlepas dari pro
kontra. Berawal dari Lady Gaga yang pernah membangun musik berkarakter
elektro pop. Kemudian dikeluarkan setelah bergabung tiga bulan, sebelum
selesai proyek album yang ditawarkan padanya. Pemecatan ini membuatnya
kecewa berat, dan membuatnya mengenal kehidupan malam di Lower East
Side.
Dipicu kekecewaannya dalam proyek album tersebut
membuat Lady Gaga merevolusi seni, revolusi hasrat termasuk revolusi
tubuh, hingga membawa namanya tercatat dalam 100 orang paling
berpengaruh di dunia versi majalah Time, artis terbaik 2010 versi
Billboard, dan peringkat satu dari 100 selebriti paling berkuasa dan
berpengaruh di dunia versi majalah Forbes. Selain itu, dia sudah
memperoleh 5 Grammy Awards di bidang musik, dan penjualan album yang
fantastis di seluruh dunia.
Kemenangan Lady Gaga hingga
dikenal jutaan penduduk dunia, tidak luput dari deteritorialisasi
media, kecepatan waktu, dan cybermedia yang memainkan popularitasnya.
Tubuh seksi dan wajah eksotiknya menghipnotis para penggemarnya. Tubuh,
media, ekonomi, dan hasrat telah bersimbiosis dalam bentuknya yang
artificial. Sebuh konsep libidonomi ketika sistem ekonomi, yang di
dalamnya terjadi eksplorasi secara ekstrem.
Lady Gaga
telah menjadi alat ideologi libidonomi kapitalis yang menjadikan
tubuhnya sebagai “titik sentral” dalam produksi dan reproduksi ekonomi
serta pembiakan kapital. Jean Baudlirrad mengemukakan di dalam
Seduction, gejala demikian menunjukan bahwa kekuatan tubuh khususnya
tubuh perempuan di dalam masyarakat capital, terletak pada kekuatan
rayuan yang dimilikinya. Yaitu kemampuan mengeksplorasi secara bebas
tanda-tanda dirinya untuk menghasilkan daya pikat dan pesona.
Pospornografi
Tubuh
perempuan seperti Lady Gaga adalah bagian dari produk kapital yang
laris terjual dalam masyarakat postmodern. Apalagi dengan pembiasan
nilai etik dan moral terhadap estetik pornografi. Persepsi negatif
terhadap pornografi dipakem dalam tata aturan seni. Seni yang maih
wajar, sehingga pertunjukan manggung dengan tubuh terbuka masih dalam
batas wajar. Pornografi telah mengalami reduksi dalam dirinya hingga
mengalami apa yang disebut pospornografi.
Komodifikasi
tubuh melalui media, modal sebagai sarana pelepasan hasrat kapital pada
akhrinya telah mereduksi peniadaan batas-batas etika, agama, budaya,
moral dengan estetika/seni. Pornografi telah mengikut serta dalam budaya
hyper, postrealty, multiplicity sehingga terjadi penihilan kekuatan
agama, moral dan etik untuk membatasi seni yang “porno”. Inilah sutu
keadaan ketika pornografi telah berada di puncak karier “kejayaan” dan
kesuksesanya melakukan hybridisasi dengan kapitalisme. Sebuah situasi
yang disebut pospornografi.
Penciptaan tanda dan
pemujaan tubuh melaui bagian tubuh-tubuh tertentu seperti rambut, wajah,
hidung, bibir, lipstik, payudara, kulit mulus, juga tidak terlepas dari
sumbangsi pospornografi dalam “semotisasi tubuh”. Dengan pospornografi,
bagian komunitas sosial tertentu telah melupakan identitas lokalnya
sebagai sebuah bangsa yang beradab, religius, dan penuh tata krama,
serta sopan santun.
Penolakan Lady Gaga dianggap
sebagai sikap tidak toleran, tidak mengakui keanekaragaman
(multiplicity). Banyak pengamat, terutama penggemar Lady Gaga mengaku,
bahwa ini awal dari bangsa ini tidak akan dilirik lagi sebagai negara
teritori investor. Etika dan moral pelak, tak signifikan lagi, ketika
kebesaran negara terlalu dipentingkan dari pada identitas negara yang
mempunyai peradaban tersendiri.
Hilangnya batas-batas
dan opini tentang tidak pentingnya lagi filterisasi budaya barat,
merupakan penciptaan keadaan yang bias pada wilayah teks agama, teologik
dan budaya bangsa. Pospornografi telah menjadi senjata “pemusnah
massal”, bahwa etika, moral, dan penghargaan terhadap identitas tubuh
bukan domain yang perlu diulas. Jauh lebih penting adalah menjadi bangsa
yang memiliki industri besar. Karena negara yang diperhitungkan, hanya
negara maju, negara industri.
Pospornografi nyatanya
menciptakan kesia-siaan, kondisi banal, pemuasan hasrat tanpa makna. Apa
artinya menghadiri konser Lady Gaga di Singapura, kemudian ratusan
hingga jutaan rupiah uang ludes, hanya untuk melihat wajah eksotik nan
erotis Lady Gaga sedang manggung.
Lalu mengapa pula
banyak sekali fans Lady Gaga meneteskan air mata karena tidak bisa
melihat wajah idolanya? Bagaimana pula penggemar yang rela melakukan
pekerjaan serabutan, membuka celengan (baca: tabungan) untuk mendapatkan
tiket harga konser itu? Apa yang didapatkan dari semua kegelisahan
hasrat demikian? Jawabanya adalah sebuah kondisi pemuasan hasrat banal.
Pemuasan hasrat yang sia-sia saja. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar