Sabtu, 29 November 2014

Suara Hati untuk Sang Maha Guru


Suara Hati untuk Sang Maha Guru

Damang Averroes Al-Khawarizmi: Alumnus Fakultas Hukum Unhas
 Fajar,  22 November 2014





Baru kali ini saya benar-benar teramat sulit untuk turut ambil bagian dalam menyoroti petaka yang sedang menimpa Fakultas Hukum Unhas pada khususnya, dan citra Universitas Hasanuddin (Unhas) pada umumnya. Bagaimana tidak? Seorang dosen Unhas berinisial MS dan IS, berdasarkan rilis berbagai media, tertangkap tangan diduga sedang menggunakan sabu-sabu di sebuah hotel Malibu di Makassar. Dan sebuah keniscayaan, apapun yang terjadi dengan situasi dimana bumi dipijak, beliau tetap adalah maha guru yang pernah mengajari saya, sehingga bisa menjadi orang yang sesungguhnya pada hari ini.

Setelah kontemplasi berhari-hari, akhirnya keberanian itu datang, sekedar mengobati resah gelisah dan hati piluh yang terus membuncah. Pun kemudian saya memberanikan diri pula menuliskannya.

Ungkapan maaf kuhaturkan kepada beliau, para pembesar unhas, sang maha guru, jika tulisan ini kemudian terkesan lancang dalam menuturkan “suara hati” untuk beliau yang tetap akan kuanggap; sampai kapanpun adalah guru saya. Meskipun beliau kini sedang dirundung kasus dalam keterlibatannya sebagai penyalahguna narkotika, sekali lagi saya menyatakan dia adalah maha guru saya.

Suara Hati
Di kala rilis media online “membombardir” dunia jejaring sosial memberitakan; bahwa terdapat dua orang dosen Fakultas Hukum Unhas sedang tertangkap tangan di sebuah hotel, diduga sedang pesta sabu-sabu, lalu ditemukan sabu-sabu dan alat peghisap di Tempat Kejadian Perkara. Hati ini, sebagai seorang yang pernah diajar dan dibimbing oleh beliau, kemudian menjadi remuk, laksana hati yang terluka; lukanya teramat sembilu. Tak ada kata-kata yang bisa terungkapkan, selain perasaan gundah gulana. Harap-harap cemas, semoga berita itu tidak benar, ataukah minimal beliau hanya dijebak.

Namun hari-hari selanjutnya, tak ada cara lain untuk menafikan rilis berita di berbagai harian. Hasil tes urine dan sampel darahnya dinyatakan positif, itu artinya semakin kuat dugaan kalau beliau memang nyatanya adalah pemakai zat aditif terlarang .

Selanjutnya, dalam diri yang sedang dilanda kecemasan. Hati dan pikiran beradu argumen, kemudian memunculkan pertanyaan: apakah beliau yang selalu mengabdikan diri dan hidupnya sebagai pengajar, mendedikasikan amal baktinya untuk Fakultas Hukum Unhas, yang pernah mengajari kami ilmu dan pengetahuan bajik, lalu dengan serta-merta mengingkari jasa-jasanya sebagai seorang maha guru? Jawabannya: tidak sama sekali. Suara hati nan suci, tanpa intervensi segala kepentingan, akan tetap selalu mengatakan; beliau adalah guru dan pengajar yang memiliki banyak jejak jasa.

Ibarat seorang Ayah atau Ibu, sebagaimanapun jahat dan bejatnya mereka. Maka anaknya, sama sekali tidak ada jalan untuk mengingkari Ayah dan Ibunya. Inilah sebuah keniscayaan, bahkan sunnatulloh, mengingkari orang-orang yang pernah mengajari kita dari tidak tahu sama sekal kemudian menjadi tahu. Dari yang tahu; kemudian semakin tahu. Dalam hemat penulis adalah sebuah “kekufuran” jika mengingkari orang yang pernah mengajari kita. Toh sebagai seorang yang pernah diajar, Tuhan menjadikan manusia, paripurna dari segala ciptaannya, adalah kita dibekali tiga kekuatan dahsyat: akal. Hati dan jiwa. Dari tiga dimensi pembeda itulah; segala unsur kebenaran dan kebajikan harus terterima oleh diri yang mengaku sebagai insani. Kemudian di sanalah “cikal bakal” pelekatan nama guru terorbitkan. Pun kalau ada unsur keburukan, tata kelakuan, perilaku, bahkan penyampaian ajaran yang salah dari mereka karena telah berpredikat maha guru. Pada saat itu, janganlah dipandang sebagai seorang guru. Bukankah petuah bijak mengingatkan kita: jangan liat siapa yang menyampaikan kebenaran, tapi dengarlah kebenaran yang dia ungkapkan.

Mendahulukan Kebenaran
Lalu jika seorang guru diibaratkan bagai Ayah atau Ibu yang memiliki peran penting atas kelahiran kita. Apakah dengan faktor kedekatan, jasa, dan utang budinya, bahwa kebenaran dibiarkan tekunci dalam peti yang rapat? Jawabannya tidak sama sekali. Taruhlah misalnya seorang ayah, ketika anaknya mengetahui perbuatan korupsi ayahnya. Ia harus mengungkapkannya perihal perbuatan korupsi itu, tanpa menghiangkan adikodratinya, kalau dia tetap sebagai anak yang memiiki ayah.

Dalam perbandingan yang sama, “hukum” demikian juga beralaku untuk seorang yang pernah menjadi pendidik, pengajar, atau guru. Apabila memang sang guru tersebut salah dalam berbuat dan bertingkah, janganlah berusaha menyembunyikannya. Demikianlah pesan lebih lanjut yang pernah diutarakan oleh filsuf yunani. Ketika Plato berjar “Socrates adalah guru saya, tetapi guru yang melebihi Socrates adalah kebenaran.”

Oleh karena itu, dalam konteks sekarang dengan menyerahkan kasus MS dan IS kepada penegakan hukum dan due process of law, penting untuk dimaknai sebaga bagain dari mendahulukan kebenaran. Dan lagi-lagi kodrat an sich sebagai maha guru yang pernah mengajarkan kebenaran dan kebajikan, tidaklah sama sekali luntur.

Fakultas Hukum Unhas sebagai tempatnya pernah mengabdi, dan Universitas Hasanuddin yang pernah dipimpinnya (walau hanya seumur jagung), dengan mengambil posisi dan sikap; “katakan yang benar kalau benar, katakan yang salah kalau salah,” Sama sekali tidak akan menghilangkan lambang kejantanan dan keperkasaan Unhas sebagai lembaga Perguruan Tinggi, yang telah melahirkan banyak pembesar-pembesar di negeri ini.

Unhasku yang malang, Unhasku yang mulai luntur merahnya. Panji-panji kebenaran dan keadilan mari terus kita gelorakan. Yakin dan percaya saja, Unhas akan jaya selalu.

Reforma Agraria untuk Ketahanan Pangan

Reforma Agraria untuk Ketahanan Pangan

Bernhard Limbong  ;   Doktor Hukum Pertanahan, Unpad, Bandung
KOMPAS,  28 November 2014


                                                                                                                       
Pertanian menyediakan lapangan kerja bagi 40 persen warga dunia yang berjumlah 7 miliar saat ini. Namun, hampir 900 juta orang masih kelaparan setiap hari. Jumlah orang lapar akan bertambah menjadi 2 miliar orang pada tahun 2050.

Data dunia itu berbanding lurus dengan kondisi di Indonesia. Sektor pertanian menyediakan mata pencaharian bagi 120 juta orang dari total 253 juta penduduk Indonesia.

Memang tidak ada data resmi, berapa orang Indonesia yang kelaparan setiap hari, tetapi mayoritas petani, pekebun, peternak, petambak, dan nelayan hidup dalam kemiskinan dan menghuni sekitar 81.000 desa Indonesia saat ini.

Faktanya, kita kehilangan kedaulatan pangan. Sebanyak 65-70 persen kebutuhan pangan nasional bergantung pada impor, mulai dari beras, jagung, kedelai, singkong, kentang, bawang, wortel, cabe, jeruk, pir, anggur, apel, pir, daging sapi, ikan, hingga ikan asin dan garam.

Akibatnya, produk petani dan nelayan tersapu produk impor. Ini persoalan sangat serius karena menyangkut mati-hidup bagi 120 juta rakyat Indonesia yang hidup dari pertanian dan perikanan.
Luas lahan pertanian saat ini tinggal 13 juta hektar. Jika dibagi dengan jumlah 25 juta rumah tangga petani, rata-rata luas lahan per petani hanya 0,3-0,4 hektar. Dari sekitar 12,5 juta rumah tangga petani (50 juta jiwa) di Pulau Jawa, 40 persennya tidak memiliki lahan.

Di luar Jawa, ada 18 persen atau 8 juta jiwa petani tidak memiliki lahan. Sedangkan yang memiliki lahan pertanian rata-rata kepemilikan lahannya hanya 0,36 hektar.

Di sisi lain, setiap tahun konversi lahan pertanian untuk pertambangan, kawasan pabrik, industri jasa, dan kawasan permukiman mencapai 106.000 hektar.

Data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menyebutkan 64,2 juta hektar tanah (33,7 persen) daratan Indonesia sudah dikuasai oleh perusahaan pertambangan gas, batubara, dan mineral berupa izin konsesi.

Imperialisasi Pangan
Tak mengherankan jika produksi komoditas pertanian terus merosot. Akibatnya, total impor pangan tahun 2013 mencapai 70 persen dengan nilai Rp 125 triliun. Kedelai 70 persen impor dari AS, Brasil, bahkan dari Thailand dan Malaysia.

Terigu 100 persen diimpor dari Australia. Gula juga diimpor hingga 30 persen, susu 90 persen dari Selandia Baru, garam 50 persen, daging sapi 30 persen. Beras diimpor dari Vietnam, India, Tiongkok, dan Thailand sampai 2 juta ton. Impor kopi 27.000 ton. Pasar-pasar kita diserbu sayur dan buah-buahan dari Tiongkok.

Imperialisme pangan ini membuat petani menjual lahan produktif mereka karena hasil pertanian sudah tidak mencukupi kebutuhan keluarga mereka hari ini yang terus bertambah. Tenaga kerja produktif di pedesaan juga menurun tajam. Hasil Sensus Pertanian 2013 menunjukkan terjadi pengurangan hingga 5 juta keluarga petani dalam periode 10 tahun terakhir.

Padahal, UUD 1945 dan UUPA Tahun 1960 mengamanatkan, negara menjamin penyediaan lahan pertanian pangan secara berkelanjutan.

Kita juga sudah memiliki payung hukum berupa Undang-Undang No 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, diikuti PP No 1 Tahun 2011 tentang Penetapan dan Alih Fungsi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, dan PP No 12 Tahun 2012 tentang Insentif Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.

Reforma Agraria
Tuntutan reforma agraria sejak awal era Reformasi merupakan sebuah keniscayaan. Maka yang mendesak dilakukan pemerintahan JKW-JK adalah melaksanakan reforma agraria.

Selain amanat Pasal 33 UUD 1945 dan UU Pokok Agraria 1960, pemerintahan baru memiliki payung hukum kuat, yaitu Tap MPR No IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Kisah sukses reforma agraria terjadi di Jepang, Tiongkok, Korea Selatan, dan negara Amerika Latin seperti Venezuela dan Brasil.

Reforma Agraria meliputi aspek legal reform dan access reform. Dalam tataran implementasi, ada sejumlah kebijakan pokok yang bisa dilakukan. Pertama, seperti di banyak negara, lahan subur diperuntukkan bagi pembangunan sektor pangan. Kebijakan ini harus diawasi secara ketat agar lahan subur untuk pertanian pangan tidak beralih fungsi.

Kedua, meredistribusi tanah untuk petani, terutama dengan memanfaatkan tanah telantar yang mencapai 8 juta hektar lebih, dengan koordinasi antara Kementerian Agraria/BPN dengan Kementerian Transmigrasi dan Kementerian Pemberdayaan Desa.

Ketiga, mewujudkan industrialisasi pertanian, peternakan, dan perikanan, mulai dari hulu hingga hilir sehingga memberi nilai tambah, terutama bagi kesejahteraan petani dan nelayan. Dengan demikian, produk pangan kita bisa bersaing di pasar global sekaligus menekan banjir pangan impor.

Keempat, mengusahakan secara sistematis dan integratif akses permodalan, pelatihan, pendampingan, dan penerapan teknologi tepat guna, terutama teknologi pengelolaan varietas baru dan pasca panen, serta akses pasar.

Kelima, penyediaan infrastruktur distribusi dan pembenahan manajemen logistik secara sungguh-sungguh. politik anggaran (APBN dan APBD) harus berpihak pada masalah sentral-substansial ini.
Keenam, kebijakan proteksi yang ketat terhadap produk impor pangan seperti bea masuk tinggi, hambatan nontarif, antisubsidi, dan antidumping.

Sudah banyak negara maju, bahkan negara-negara ASEAN, menerapkan kebijakan melindungi produk dalam negeri yang berarti melindungi petani, peternak, dan nelayan.

Ketujuh, politik hukum terutama penegakan hukum sebagai pilar berbagai kebijakan ketahanan pangan berkelanjutan. Pembuatan hukum (UU) harus yang menjabarkan nilai-nilai fundamental Pancasila dan prinsip-prinsip rule of law dalam Konstitusi UUD 1945