Selasa, 11 Februari 2014

Kampanye Pemilu di Televisi

Kampanye Pemilu di Televisi  

Sunaryoko Basuki Ks   ;   Sastrawan; Pensiunan Guru Besar
Pendidikan Bahasa dan Seni IKIP Negeri Singaraja
KOMPAS,  11 Februari 2014
                                                                                          
                              
                                                                                         
                                                      
PEMILU legislatif tinggal menunggu hitungan puluh hari, aroma kampanye sudah tercium di mana-mana. Padahal, resminya kampanye baru mulai Maret.
Mulai dari kampanye mengecapnomorsatukan dirinya pada layar TV yang dipunyainya sampai membagi-bagi daging hewan kurban atau sembako. Dalihnya, peduli pada penderitaan rakyat. Ada pula kuis berhadiah wah setiap hari dua kali, seperti jadwal minum obat saja. Dengan hadiah jutaan rupiah, saban hari ada 2 x 2 pemenang, sedangkan pajak undian ditanggung oleh pemberi hadiah.
Saya berharap, kalau mereka terpilih menjadi presiden dan wakil presiden, kegiatan bagi-bagi sembako kepada rakyat miskin itu dapat dilaksanakan seterusnya. Setiap hari semua rakyat  senang. Makin bagus bila hal itu diimbangi dengan pemerintahan yang bersih, peduli, dan tegas seperti yang dijanjikan. Setiap hari dibagikan hadiah kuis yang bisa berupa mesin cuci, dispenser seharga Rp 2.900.000.
Pemberian hadiah ini, kalau  terus-menerus selama lima tahun jabatan presiden, pasti disambut dengan antusiasme tinggi oleh penduduk Indonesia. Apalagi kalau dia dapat meningkatkan penghasilan buruh serta petani, nelayan, dan pegawai negeri sipil, TNI, dan Polri. Pasti ia terpilih sebab pasangan calon ini sudah menjanjikan pemerintahan yang bersih dan tegas berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Bencana banjir ”menguntungkan” mereka yang punya kesempatan mengadakan bakti sosial yang disiarkan di TV.
Disindir Megawati
Anehnya, hanya satu pasangan ini yang mantap berpasangan. Hal ini disindir oleh Megawati Soekarnoputri saat peluncuran buku tulisan Sabam Sirait yang berjudul Politik Itu Suci. Mereka  begitu yakin bahwa partai pendukungnya pasti mampu melampaui ambang batas dalam pemilihan caleg nanti. Mungkin sudah dihitung-hitung dengan partai apa mereka akan berkolaborasi.
Sosok yang lain masih mengajukan dirinya sendirian sebagai calon presiden. Belum didampingi oleh calon wapres. Namun, sepak terjangnya serupa, mengemukakan kelebihan diri (dan keluarganya) sehingga dianggap layak dicalonkan sebagai presiden. Apalagi ”iklan” dirinya dilakukan juga pada stasiun TV milik sendiri.
Di depan siswa SMK, ia menceritakan keberhasilan ayahnya yang hanya lulusan sekolah rakyat (SR, sekarang: SD), tetapi mampu punya 100.000 karyawan. Bahkan, nama ayahnya sekarang diabadikan dengan memberi hadiah tahunan kepada sejumlah orang yang dianggap berprestasi: ilmuwan dan budayawan/ sastrawan. 
Makin hari, kampanye makin marak dengan menggunakan lagu terkenal.
Lain halnya dengan capres yang satu ini. Setahu saya ia tak punya stasiun TV. Cukup mengucapkan selamat pada hari-hari besar tertentu melalui TV. Namun, melalui akun Facebook-nya , saya dapat membaca mengenai sepak terjangnya dengan menemui kader-kader partainya di berbagai daerah. Juga bertemu dengan sejumlah kelompok seniman. Berkunjung ke berbagai kantor redaksi surat kabar. Kunjungannya ini pasti jadi pemberitaan yang menguntungkan.
Akhir-akhir ini dia tidak tinggal diam dengan mengungkap ketidakbenaran berita di sekitar dirinya pada 1998. Dia mengaku takut pada Pancasila dan UUD 1945. Tidak mengatakan takut kepada Tuhan sebab mungkin dengan mengatakan takut pada Pancasila sudah termasuk takut kepada Tuhan YME yang sudah tercantum sebagai sila pertama.
Terakhir dia disebut sebagai Macan Asia. Dari akun Facebook-nya kita juga dapat membaca bahwa bilamana kelak dipercaya memimpin negeri ini, ia akan memberikan bantuan Rp 1 miliar bagi setiap desa untuk digunakan membangun desa. 
Yang menarik, justru munculnya caleg-caleg miskin untuk anggota DPRD tingkat II. Ada sinden, ada pula tukang ojek yang benar-benar miskin, tetapi dapat dipastikan punya tujuan mulia, bukan untuk korupsi.
Di bawah 55 tahun
Berbagai survei menunjukkan bahwa calon pemilih menghendaki capres yang berusia muda, di bawah 55 tahun. Ini tentu sejalan dengan tugas presiden yang secara fisik sangat berat sehingga memerlukan stamina prima.
Tiap hari kita dapat menyaksikan kiprah capres dalam mencalonkan dirinya dengan berbagai cara, bahkan ada capres yang terang-terangan menolak dipasangkan dengan Jokowi. Padahal, Jokowi sendiri belum mencalonkan dirinya. Capres yang saya sebut terakhir ini entah karena apa malah menyalahkan Jokowi yang sibuk membangun waduk. Beliau menonjolkan konsep megapolitan yang pernah diajukan, tetapi belum pernah diwujudkan.
Tiba-tiba muncul sosok yang mundur dari jabatannya sebagai menteri. Tampaknya juga ia menyasar posisi calon RI-1 dengan  berbagai cara. Kementerian yang ditinggalkannya sedang dilanda kemelut beras impor yang membanjiri pasar beras di Jakarta. Menilik namanya dan juga posturnya yang tinggi besar, lelaki ini bisa dianggap sebagai lelaki yang melantunkan nada-nada keperwiraan. Ingat karya sastra klasik terkemuka Bhagawad Gita atau  Gitanyali. Apakah dia sang ”satria piningit” yang selalu ditunggu kemunculannya sebagai dulu SBY diuraikan sebagai lelaki (Bambang) yang susila serta perwira?
Rasa bosan 
Pernah memperhatikan iklan  produk yang diulang-ulang penayangannya? Timbul rasa bosan dan muak menyaksikan tayangan iklan yang diulang-ulang: berkali- kali. Memang, dengan pengulangan, kita menjadi lebih akrab  dengan gagasan yang ingin dikemukakan.
Tak kenal, maka tak sayang; maka kenalkanlah supaya disayang. Namun, pengulangan yang berlebihan dapat menimbulkan kebosanan, dan kebosanan melahirkan apatisme.
Hal ini perlu diingat oleh mereka yang melakukan kampanye yang berlebih-lebihan. Hati-hati, jangan sampai timbul rasa bosan di dalam diri calon pemilih. Bolehlah berkampanye gencar pada masa kampanye nanti. Sekarang, kan, belum saatnya? Jangan sampai dituduh mencuri awal kampanye.
Siapa yang akan terpilih menjadi presiden dan wakil presiden belum dapat diprediksi sekarang. Jangan-jangan akan muncul calon yang tak terduga dari sebuah partai.
Hanya Tuhan yang tahu. Saya bukan tim peramal, tim sukses, tim survei, atau tim apa pun. Bagi  saya, presiden harus sehat jasmani dan rohani, sehat pula secara emosional. Menjadi presiden sungguh berat, maka sebaiknya yang mencapreskan diri masih berusia muda, yang sepuh minggir saja

Visi Indonesia Raya II

Visi Indonesia Raya II

 Yudi Latif   ;   Pemikir Kebangsaan dan Kenegaraan
KOMPAS,  11 Februari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                      
DITANYA ihwal impian mata hatinya tentang bangsa ini, Megawati Soekarnoputri dengan berlinang air mata berujar lirih, ”Indonesia Raya.” Apakah ungkapan itu terlontar secara kebetulan atau terpancar dari kedalaman penghayatan, kandungan maknanya amat dalam.
Indonesia Raya adalah suatu visi pembebasan bangsa dengan akar kesejarahan panjang. Mulanya adalah pembentukan Komite Perayaan Seratus Tahun Kemerdekaan Bangsa Belanda yang disponsori pemerintah kolonial. Sebagai tandingan, salah seorang pemimpin Indische Partij (IP), Soewardi Soerjaningrat (Ki Hadjar Dewantara), membentuk Komite Bumiputera pada November 1913.
Komite Bumiputera melancarkan kritik terhadap rencana perayaan kemerdekaan Belanda dari penjajahan Perancis yang secara ironis hendak menarik uang dari rakyat jajahan (bangsa Indonesia) untuk membiayai pesta perayaan tersebut. Kritik Soewardi dikemukakan melalui tulisannya yang terkenal berjudul Als Ik Eens Nederlander Was (”Seandainya Aku Seorang Belanda”) dan Een voor Allen maar Ook Allen voor Een (”Satu untuk Semua, tetapi Semua untuk Satu Juga”).
Dalam tulisan ”Seandainya Aku Seorang Belanda”, yang dimuat dalam surat kabar de Express milik Douwes Dekker, Soewardi mengemukakan satirnya: ”Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang kita sendiri telah merampas kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil, melainkan juga tidak pantas menyuruh si inlander memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu. Pikiran untuk menyelenggarakan perayaan itu saja sudah menghina mereka dan sekarang kita garuk pula kantongnya.
Ayo teruskan penghinaan lahir dan batin itu! Kalau aku seorang Belanda. Apa yang menyinggung perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku terutama ialah kenyataan bahwa bangsa inlander diharuskan ikut mengongkosi suatu pekerjaan yang ia sendiri tidak ada kepentingannya sedikit pun.”
Kritik tajam Soewardi ini membuatnya bersama dua pemimpin IP lainnya, Douwes Dekker dan Tjipto Mangoenkoesoemo, harus menerima hukuman pembuangan ke Belanda. Dalam perjalanan menuju negara itu, Soewardi singgah di India pada 14 September 1913. Dari sana, ia sempat mengirimkan kado ulang tahun kepada istrinya berupa surat yang juga ditujukan kepada teman-teman seperjuangan di Tanah Air. Bunyi surat itu, antara lain, ”Apabila pemerintah kolonial memperingati kemerdekaannya, kita akan sadar bahwa kita belum mempunyai identitas sebagai bangsa, kita belum mempunyai lagu kebangsaan dan bersiaplah karena waktu perayaan kemerdekaan kita akan datang juga”.
Pesan Soewardi dalam surat itulah yang konon mengilhami Wage Rudolf Soepratman untuk menciptakan lagu ”Indonesia Raya”. Di kemudian hari, Ki Hadjar ditunjuk Presiden Soekarno sebagai Ketua Tim Penyempurnaan Lagu Indonesia Raya. Untuk pertama kalinya, lagu kebangsaan itu diperdengarkan di depan khalayak pada peristiwa Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928. Impian Indonesia Raya yang berdegup dalam jantung lagu ini menjadi mahkota dari pengikatan bersama komitmen kebangsaan dari berbagai identitas kolektif (etnis, agama, kelas, dan jender) yang pada akhirnya berhasil mengantarkan bangsa Indonesia ke pintu gerbang kemerdekaannya.
Sejarah membuktikan suatu visi perjuangan yang keluar dari mata hati yang jujur memiliki kakinya tersendiri untuk bergerak memenuhi impian. Visi Indonesia Raya I, yang diimpikan sejak generasi Soewardi, telah berhasil mengobarkan ”nasionalisme defensif” dalam rangka ”revolusi politik” (nasional) untuk mengenyahkan kolonialisme dan melahirkan satu Negara Republik Indonesia.
Kendati demikian, impian Indonesia Raya masih jauh dari tuntas. Seperti kata Isiah Berlin, ”Manusia tidaklah hidup sekadar untuk memerangi keburukan. Mereka hidup dengan tujuan yang positif, untuk menghadirkan kebaikan.” Setelah revolusi politik mengusir penjajahan, tugas selanjutnya mengobarkan revolusi sosial untuk meraih cita-cita keadilan dan kemakmuran sebagai tujuan akhir revolusi Indonesia.

Untuk itu, perlu diluncurkan visi Indonesia Raya II yang semangatnya tidak sekadar bersandar pada apa yang bisa dilawan, tetapi juga pada apa yang bisa dibangun. Kita perlu mengobarkan nasionalisme yang lebih ”positif-progresif” untuk mengolah potensi besar yang kita miliki, seperti pesan lagu ”Indonesia Raya”: ”bangunlah jiwanya, bangunlah badannya!” Proyek historisnya tidak hanya mempertahankan, tetapi juga memperbaiki keadaan negeri.
Visi Indonesia Raya II ini mendesak dikobarkan menjelang 100 tahun Indonesia merdeka. Apa yang telah kita capai sejauh ini masih jauh dari harapan kemerdekaan, tetapi telah dibayar mahal dengan kehilangan dan kerusakan yang begitu banyak. Kita berkejaran dengan waktu untuk mendekati impian Indonesia Raya sebelum bangsa ini terancam karam. Tetes tangis Megawati mewakili perasaan ratusan juta rakyat jelata, sebagaimana terlukis dalam lagu ”Ibu Pertiwi”, yang diciptakan seorang tak terkenal, Kamsidi Samduddin, sekitar dekade 1950-an/1960-an: ”Kulihat ibu pertiwi/Sedang bersusah hati/Air matamu berlinang/Mas intanmu terkenang/Hutan gunung sawah lautan/Simpanan kekayaan/Kini ibu sedang susah/Merintih dan berdoa”.
Semoga, tetes tangis dari anak ”Putra Sang Fajar” dapat mengobarkan semangat patriotisme progresif kaum muda, dengan kesiapan meneruskan perjuangan, seperti diungkapkan pada bait kedua lagu tersebut: ”Kulihat ibu pertiwi/Kami datang berbakti/Lihatlah putra-putrimu/Menggembirakan ibu/Ibu kami tetap cinta/Putramu yang setia/Menjaga harta pusaka/Untuk nusa dan bangsa”.

Ketika Filsuf (Tak Perlu) Berhukum


Ketika Filsuf (Tak Perlu) Berhukum
Damang Averroes Al-Khawarizmi;   




Berkali-kali saya mengurungkan niat, agar tidak menuliskan keresahan ini, tetapi semakin menahan sembari membiarkannya, derita personal penulis seolah-olah semakin hari, kian tambah runyam. Pada akhirnya, saya “terpaksa” memberanikan diri untuk menuangkannya dalam sebuah tulisan.

Awalnya, ketidakberanian itu tidak muncul, karena saya hanya “anak bawang” yang baru lahir kemarin sore, dibandingkan permasalahan yang akan disororti dalam tulisan ini, para pelakunya sangat jauh di atas kapasitas saya. Mereka sudah banyak “makan garam” sepanjang karirnya. Adalah orang yang berpredikat, berpangkat Maha Guru, dan pantas menjadi teladan kita bersama.

Oleh sebab itu, izinkan saya bersimpuh dan memohon maaf kepada mereka semuanya. Para Guru Besar kita semua yang telah menjadi pelaku sejarah atas nama demokrasi, dalam pemilihan Rektor, kursi nomor satu di Unhas kemarin.

Hari ini, saya tidak mungkin dapat menjadi apa-apa, sebagaimana yang disebut oleh para tetua, menjadi “Tau/ orang” yang sesungguhnya, kalau bukan pula berkat mereka. Namun apa salahnya, kita saling mengingatkan kalau toh itu adalah jalan kebaikan, yang selalu kita impikan dan hendak dirajut bersama. Bahkan Baginda Nabiullah Muhammad SAW- pun pernah memesankan dalam sebuah Hadits: “sampaikanlah dari ku walaupun hanya satu ayat (Riwayat Ahmad Bukhari & Tarmidzi)”

Filsuf
Perhelatan akbar kemarin yang bernama pemilihan Rektor Unhas untuk periode 2014-2018, setelah melalui dua putaran. Tidak dapat dipungkiri, merupakan peran besar para senator Unhas, yang telah dipilih dari tiap fakultas. Hingga akhirnya menasbihkan siapa sesungguhnya pemenang suara terbanyak.

Di tengah jalan, sebelum sang pemenang suara terbanyak diorbitkan sebagai Rektor terpilih oleh kementerian pendidikan. Ada sejumlah Senator yang tidak menerima hasil akhir pemilihan. Sekitar 128 anggota senat yang mengaku pendukung Dr. dr Wardihan Sinrang MS (salah satu kandidat Rektor Unhas 2014-2018) hendak menggugat hasil pemilihan itu.

Dengan dalih, pemilihan Rektor tidak “demokratis” sebab suara menteri sebanyak 35 % dicurigai, suaranya tidak menyebar terhadap tiga kandidat Rektor yang maju pada putaran kedua. Jubir Dr. dr. Wardihan Sinrang MS, yaitu Prof Dr. Aswanto, S.H, M.H. cs, akhirnya siap memperadilankan hasil keputusan senat yang memenangkan Prof Dr. Dwia Aries Tina Pulubuhu, M.A.

Dari berbagai rilis media cetak maupun online telah tersiar kabar Permen Diknas No. 33/ 2012 hendak diuji kesahihannya. Tidak hanya itu, SK hasil pemilihan juga hendak digugat di Pengadilan Tata Usaha Negara.

Memang benar adanya, wajar-wajar saja bagi pihak yang merasa haknya tidak dipenuhi, amat pantas menuntut haknya pada lembaga yang telah disediakan yang bernama pengadilan. Apalagi jika Permen Diknas tersebut, sebagai legalitas menteri ikut menentukan kandidat terpilih, nyatanya “mengokupasi” independensi kampus. Pertanyaan singkatnya, tersimpul dalam dua entri poin; Kenapa perwakilan menteri itu tidak memperhatikan “suara terbanyak’ para senator? Dan kemana pula katanya otonomi kampus, jika suara menteri yang “dominan” menentukan?

Lagi-lagi saya memohon maaf, jika harus mengajak, mari sejenak kita semua merenung dalam keheningan, sebagaimana pekerjaan “gila” para Filsuf, untuk berkontemplasi, untuk menggunakan nalar dan logika sehat kita. Sesungguhnya mana yang lebih penting, apakah menghabiskan energi dalam perdebatan yang tak berkesudahan demi kepentingan “ego” kekuasaan semata ? Ataukah duduk bersama, tulus menerima prosedur pemilihan yang telah disepakati sebelumnya, demi nasib dan masa depan Unhas? karena di saat yang sama ada banyak hak Civitas akademika juga harus diperjuangkan. Saya tidak perlu menjawabnya, karena saya tidak punya kapasitas untuk memberinya jawaban. Saya bukan Filsuf yang patut disejajarkan seperti Socrates, Plato, dan Aristoteles.

Justru gelar Filsuf itu an sich dengan jabatan Doktor, Guru besar (Profesor) yang sudah melalui strata Tiga Universitas. Sementara saya, jangankan jenjang Strata tiga, Strata Dua-pun bukan. Saya hanya lulusan terbawah yang bergelar sarjana, bisa ditemui komunitasnya, bergelimpangan telah menjadi pengangguran.

Namun dari hasil didikan para Maha Guru. Tempat dimana pernah “bersenggama” dengan keilmuwan. Spesifik fakultas hukum, seorang yang telah melewati jenjang Strata Tiga. Kami telah diajarkan, bahwa sesungguhnya hasil penelitian untuk menyandang gelar Doktor Hukum, konten penelitian mereka sudah berada pada tataran Filsafat. Keadilanlah (yang abstrak pendefenisiannya) berada pada tingkatan tertinggi, harus ditempatkan di atas segalanya.

Konklusinya, ketika Doktor telah disandang dari nama para maha guru kita, mereka otomatis menjadi “Filsuf”. Kalau sudah menjadi Filsuf, artinya sudah bijak berpikir, bertutur, dan bertindak. Maka sungguh ironis, ketika seorang yang telah menyandang Doktor (apalagi maha guru) jebolan Fakultas Hukum, justru menjadi “pelopor” yang menciptakan kegaduhan dalam sebuah institusi terhormat itu.

Tak Berhukum
Memang “hukum” harus menjadi panglima, namun postulat demikian hanya berlaku untuk kalangan yang tidak mau menggunakan akal dan kekuatan jiwanya (moral). Sementara Filsuf, sudah sepantasnya, tidak menjadikan “hukum/ aturan” sebagai satu-satunya senjata pamungkas.

Tak urung, Filsuf kenamaan Plato dalam maha karyanya “The Republic” kalau Filsuf-lah pantas dinobatkan sebagai pemimpin, dan tidak perlu terikat pada hukum positif.

Pertanyaannya, kenapa harus Filsuf? Jawabannya sederhana; karena mereka dapat berpikir bijak dan berperilaku bajik tanpa mengejar lagi kekuasaan dan prestise. Pada intinya, mereka lebih memikirkan kepentingan orang banyak dari pada kepentingan pribadi dan komunitasnya.

Sekumpulan aturan perundang-undangan yang telah diketahui, dan dipahami terkristalisasi dalam akal dan kekuatannya jiwanya. Filsuf bukan lagi bermain dalam arena, serba mengacau- balukan, konkretnya “aturan”. Sebab aturan, dapat saja “direkayasa” seolah-olah adil, namun sarat akan kepentingan tertentu.

Di atas segalnya, izinkan saya, dengan hati yang sangat berat, susah untuk mengatakan apalagi menganjurkan; berhentilah, menjadikan “hukum” sebagai panggung perdebatan kalau hanya untuk mencari justifikasi, guna melanggengkan kuasa. Mari berpikir jernih, mengedepankan kekuatan jiwa dan moral kita. Bekerja, bahu membahu demi kemaslahatan bersama. Unhas yang kita cintai bersama adalah kumpulan para Filsuf sedang memanggul cita-cita, dan impian untuk tunas muda harapan bangsa, sepanjang masa. Viva Unhas, hidup perdamaian. Dari timur, kokok ayam jantan kini telah bangkit menunaikan cita-cita. (*)