Jumat, 17 Januari 2014

Jangan Ada Tuhan Baru di Tahun Baru

Jangan Ada Tuhan Baru di Tahun Baru
Damang Averroes Al-Khawarizmi;   




SUNGGUH keterbatasan manusia tiadalah kuasa ia membendung, membatasi jalan dan lajunya waktu itu. Tidak ada satupun manusia pula yang memiliki kemampuan kembali ke masa lalunya. Waktu akan terus bergerak cepat lalu hanya menyimpan catatan hidup untuk kita. 

Catatan atas kehidupan yang baik, kehidupan yang buruk. Segenap kehidupan itu tak lupa pula dicatat ganjarannya oleh para malaikat, yang membidangi masing-masing tugasnya untuk mengawal segala perilaku kita.

Ironisnya, yang dilupakan oleh manusia adalah lupa kalau dirinya telah menjadi aktor dan lakon atas sejarah dari arah jarum jam yang terus menciptakan hari dan pergantian tahun. Hadirnya tahun baru justru yang lebih banyak dimunculkan ke permukaan, apa program-program, agenda, mimpi dan rencana menyongsong tahun berikutnya. 

Apa karena “optimisme” yang berlebihan sehingga kita menjadi amnesia atas peristiwa yang kemarin telah terlewatkan? Lebih banyak waktu dihabiskan semalam suntuk dengan sebuah perayaan, pesta pora, makan di restoran mewah, menyalakan petasan hingga kembang api di jalan raya. Kita menjadi lupa untuk merenungi hari-hari yang telah terlewatkan, padahal dihari-hari sebelumnya banyak kesalahan yang bisa menjadi pelajaran untuk menata hidup pada lembaran baru tahun berikutnya. Pun dibalik hari-hari kemarin itu ada “kesalahan” yang pernah diperbuat, sengaja atau tidak, banyak meninggalkan dosa. Sedikitpun tidak pernah disisahkan waktu untuk merenungi setiap kesalahan demikian. Apa penyebabnya? Mungkin karena kita “gila pesta”. 

Hobi Pesta
Nyatanya memang kita pada dasarnya hobi pesta, hobi meriah dengan menciptakan keindahan artificial demi pada pemuasan hasrat banal saja. Merasa terasing dari kehidupan kalau tidak turut ambil bagian dalam setiap perayaan tahun baru. Pesta yang digelar serba meriah dipaksakan dengan dalih toh malam tahun baru hanya sekali saja dalam setahun, apa salahnya merayakannya walau itu akan merogok kocek tebal.

Bayangkan saja apa yang ada setelah seperdua malam, pergantian tahun baru kemarin. Di setiap area dimana dirayakan pesta tahun baru, hanyalah sampah berserakan tersisa dari orang-orang yang berkumpul ramai. 

Karena hobi pesta pulalah, di sana telah mencerabut esensi asali manusia dari jiwa eksistenasialnya untuk peduli sesama. Dikatakan ada sebuah kebersamaan yang ada dari pesta tersebut, kebersamaan untuk berkumpul, melakoni kegiatan yang sama, menyalakan petasan secara bersamaan, turut serta merasakan puncak malam akhir. Namun kesadaran sosial, kesalehan sosial dari umat manusia yang hobi pesta patut dipertanyakan. Apakah sudah mati?

Di lingkungan kita menghelat pesta itu, masih ada segelintir manusia yang berjuang diantara hidup mati mencari lembaran rupiah demi sesuap nasi. Tak sedikit anak yang putus sekolah, menjadi pengemis, pedagang asongan, loper koran demi membantu keuangan keluarganya. Baru diwaktu yang sama ada pula komunitas manusia yang “membakar” uang Rp. 20.000 hingga Rp. 100.000. atas harga “selangit” petasan dan kembang api.

Kenapa kita tidak pernah berpikir mengakhiri hobi pesta di malam tahun baru lalu menyisihkan uang tersebut demi saudara-saudara kita yang hidupnya serba dipertaruhkan setiap hari demi sesuap nasi? Kenapa pula lautan manusia yang tumpah ruah disemua jantung kota itu, tidak pernah sedikitpun hadir dibenak mereka, lembaran rupiah itu dikumpul bersama demi menyumbang anak yang kian hari di negeri ini putus sekolah? Jawabannya lagi-lagi karena hasrat yang memacu untuk gila pada sebuah perayaan.

Pemimpin di negeri ini, para bupati, wali kota, gubernur hingga presiden semuanya bersikap abai membenahi penduduknya dari kebiasaan yang hobi pesta. Para pemimpin justru turut andil “mengorek” uang Negara demi sebuah pesta perayaan tahun baru. Satupun, tidak ada yang bisa kita saksikan dari layar kaca, pemimpin yang mengambil inisiatif, malam tahun baru sedianya dijadikan ajang mengumpul sumbangan agar kelak bisa dijadikan santunan hidup dan pendidikan untuk kaum fakir, anak terlantar, dan anak yang sudah putus sekolah.

Tuhan Baru
Tahun boleh berganti, tapi tanpa dipaksa kepada kita semua, saya yakin kita sepakat, sekalipun tahun berganti tidak mungkin Tuhan akan berubah “wajah” dan kemahakuasaan-Nya. 

Cuma kita terlalu angkuh mengambil alih jatah kemahakuasaan Tuhan, menciptakan segala keindahan baru, padahal alam beserta segala isinya sudah lebih dari cukup, kalau sedianya sudah berjuta-juta keindahan hadir di sana. Dari alam yang indah tersebut telah tercipta kemahakuasaan Tuhan. Cukup menatapnya, lalu merenuginya dengan jiwa dan akal budi, bumi yang berputar terus, tiada henti telah menjadi tanda kalau waktu dan tahun niscaya pasti berganti.

Inilah kecurigaan filsuf Jerman Nitzsche ketika mendaulat Tuhan sudah mati. Ketika era yang memaksa manusia untuk menciptakan Tuhan baru lalu menjungkirbalikan Tuhan yang sesungguhnya. Tidak ada yang peduli sesama, karena Tuhan barunya adalah harta, uang, hingga pesta, dan pesta. 

Maka diawal pergantian tahun ini, sejuta ummat manusia yang kemarin tenggelam dan menghamba pada “Tuhan-Tuhan barunya” mari kembali merenungi “hakikat diri” kita, kembali hidup membaur bersama dengan orang miskin, anak yang sudah putus sekolah, berbagi harta kepada mereka sehingga mereka merasakan ada hikmah dan faedahnya pergantian tahun. Ada Tuhan dan para malaikat yang hadir, turun ke bumi di malam tahun baru. Dan menyaksikan kalau sesungguhnya masih ada “lautan” manusia yang peduli atas sesamanya. Wallāhu a’lamu bi al-shawwāb. (*)



Ubah Pola Pikir Berantas Korupsi


Ubah Pola Pikir Berantas Korupsi
Damang Averroes Al-Khawarizmi;   Peneliti dan Analis Politik Republik Institute
& Co-Owner negarahukum.com




Sudah beratus-ratus hasil penelitian, dari skripsi, tesis, hingga disertasi bahkan buku boleh dikata sudah bertumpuk di perpustakaan menyoal pemberantasan korupsi. Tidak terkecuali artikel yang membahas polemik pemberantasan korupsi yang mengisi harian media massa, media elektronik, dan media cetak, kita disuguhi tiap hari. Namun alam realitas lebih benar bercerita, kalau sejatinya indeks perilaku korupsi hingga yang dicokok oleh komisi anti rasuah makin meningkat jumlahnya. Dalam bahasa sederhana, teori korupsi dapat dikatakan; semakin meningkat jalan terjal pencegahan korupsi semakin meningkat pula angka perilaku korupsi di tanah air.

Apa penyebabnya? Menurut hemat penulis, mencegah dan memberantas perilaku korupsi sebagai kejahatan angkara murka, cukup sederhana, yakni dengan mengubah pola pikir kita. Pola pikir adalah cara memandang, memberikan apresiasi terhadap apa yang hadir di hadapan kita. Misalnya, bagaimana cara kita memandang dan memberi penghargaan terhadap pemimpin, Kepala Daerah, Bupati, Wali Kota, Gubernur, dan Presiden. Tentu dengan melihat kinerja kepemimpinannya dan sejauhmana meningkatkan kesejahteraan rakyatnya.

Pola Pikir
Tapi berbeda dengan cara kita memandang korupsi. Saya kira, di sini ada hal yang timpang, janggal dari cara menerapkan pola pikir. Di satu sisi, kita sangat membenci korupsi, bahkan dikatakan sebagai musuh bersama, kejahatan luar biasa. Di sisi lain, justru kita sangat senang dengan kemewahan, kekayaan, dan segala hal yang dapat ditakar dengan materi. Di sanalah tempatnya kita rata-rata memuja dan membiarkan niatan korupsi tetap tumbuh subur bak cendawan di musim hujan. 

Bukan hal yang lumrah, di lingkungan manapun, di desa, di perkotaan, bahkan di kalangan dunia pendidikan (sekolah & kampus) siapa yang kaya raya, punya mobil mewah, maka semua orang berlomba-lomba memberi tanda hormat, bahwa inilah sebuah keberhasilan, puncak kesuksesan dalam menitih apa yang disebut karir.

Di area pedesaan, siapa yang kaya raya, pasti di daerah itu tidak satupun orang yang tidak mengenalnya, semua orang pada mengelu-elukan namanya. Dia memiliki rumah bertingkat, mobil banyak berbaris di ruang parkirnya, semua pedagang eceran dialah yang memberinya modal dalam berdagang.

Ironisnya, ruang akademik pun turut ambil bagian, sebagai ruang tempat menimbah ilmu, segala penelitian untuk kepentingan dan mengabdi pada masyarakat adalah muaranya dari tempat itu. Lalu di sana malah para “pejuang pendidikan” berlomba-lomba dalam kemewahan. Kalau dulunya di lingkungan sekolah dan kampus kita hanya bisa menyaksikan kendaraan motor yang terparkir, tidak sedikit bahkan para pendidik hanya menumpang di kendaraan umum (pete-pete) jika hendak ke sekolah/ kampus. Kini yang terjadi, lahan parkirnya sudah tidak bisa menampung jumlah mobil mewah para Guru dan Dosen yang sedang menjadi “abdi negara”. Tidak sampai di situ, siswa dan mahasiswa turut ambil bagian, berebut kemewahan, juga mengendarai mobil mewah milik orang tuanya, agar terpandang sebagai orang berada. Cerita lepas yang mengguyon antara pendidik dan yang dididik bukan lagi materi pelajaran, materi kuliah, apalagi isu nasional, tetapi berapa harga mobilnya, ke mana sebentar malam merayakan pesta: apakah di warkop? Apakah di tempat karoke?

Inilah pangkal segala penyebab dari cara kita semua, salah dalam memaknai kebiasaan hidup, salah dalam menerapkan pola pikir kita. Jika dipandang sepintas lalu, memang seolah-oleh tidak ada yang salah, apa salahnya dengan kekayaan, apa salahnya memiliki banyak jumlah mobil mewah? apa salahnya punya rumah bertingkat di mana-mana? apa salahnya punya simpanan yang banyak di Bank? Salahnya adalah karena dari situlah segala prestise bisa diukur. Bahwa seorang bisa punya nama, terpandang, dihargai kalau sudah memiliki segalanya. Bahkan tidak cukup, ada banyak orang yang akan mendekat kepada anda, menjadi “budak” yang gampang diperintah kalau sedianya anda sudah memiliki segalanya. Sedikit saja anda membantu mereka, jangan heran jika lembaran rupiah akan disodorkan kepada anda.

Karena dari prestise tersebutlah, mimpi untuk dihargai oleh siapapun. Mimpi, harapan, dan cita-cita untuk disebut namanya kapan saja. Hingga mimpi untuk menjadi anggota legislatif bukan perkara sulit. Namanya sudah dikenal sebagai orang kaya, plus segala harta kekayaannya yang dapat dibagi-bagi untuk pemilih, semua akan lebih dari cukup meningkatkan dan melanggengkan prestisenya. 

Jangan heran pula, kalau semua orang yang punya kesempatan dalam ranah kekuasaan, akan berlomba-lomba mengejar harta dan kekayaan. Banyak pejabat sudah lupa kalau apa yang diperbuatnya, dapat menyeretnya ke balik jeruji, karena yang tertanam di pola pikir mereka, tidak lain ingin menjadi kaya agar dihargai oleh orang kebanyakan, agar prestisenya tidak menurun di mata masyarakat. Tentu akan berbeda ceritanya, kalau ketimpa “sial”, tertangkap oleh KPK.

Hidup Sederhana
Berniat mencegah dan memberantas korupsi, maka mari kita semua memulai dari hal yang sederhana atau terkesan sepeleh, tidak terlalu rumit. Mulai dari kalangan keluarga, masyarakat, sekolah, sampai negara, mari mengubah pola pikir yang sangat menghargai kemewahan, yang sangat menghargai orang kaya. Kalau berani memutar haluan, tidak lagi memandang kekayaan sebagai sebuah prestise. Saya yakin para pejabat yang memangku kekuasaan dan amanat rakyat, akan mengakhiri perburuan harta dan kekayaan melalui cara yang korup.

Lalu, pola pikir yang perlu diterapkan, terlebih dahulu mulai dari lingkungan keluarga, jangan membiasakan anak-anak kita hidup menjadi mewah. Memaksakan diri kalau anak harus membawa kendaraan bermerk Avanza ke sekolah atau ke kampusnya. Mari hidup sederhana, mulai dari kita sendiri, kemudian berikanlah penghargaan terhadap orang yang hidupnya sederhana walau menjabat jabatan kenegaraan, karena dari situlah kita bisa memulai mencegah perbuatan korupsi. 

Mendiang Alm. Baharuddin Lopa terkenang dalam sejarah pemberantasan korupsi di Indonesia, sudah membuktikan pola hidup sederhana, memulai dari diri dan keluarganya, setelah itu baru ia berani berteriak lantang “perang terhadap koruptor”. Sekarang pertanyaannya, beranikah kita memulainya? Jawabannya, hanya waktu dan konsistensi berpikir juga berperilaku akan membuktikannya. (*)



KPK Berwenang Menuntut TPPU

KPK Berwenang Menuntut TPPU

Yunus Husein   Ketua Pusat Kajian Anti Pencucian Uang (PUKAU),
Mantan Kepala PPATK
KORAN SINDO,  16 Januari 2014

                                                                                                                       


Dalam pemeriksaan perkara tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang, dua hakim anggota menyampaikan dissenting opinion, bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi tidak berwenang melakukan penuntutan terhadap perkara tindak pidana pencucian uang (TPPU), tetapi berwenang melakukan penuntutan terhadap perkara tindak pidana korupsi. 

Menurut Undang-undang No. 20 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), lembaga ini berwenang menyidik dan menuntut perkara tindak pidana korupsi. Permasalahannya, apakah benar KPK tidak berwenang menuntut perkara tindak pidana pencucian uang? Pendekatan antipencucian uang dalam penegakan hukum mempunyai prioritas mengejar hasil tindak pidana, sering disebut dengan follow the money. Pendekatan follow the money diperkenalkan karena pendekatan konvensional yang memprioritaskan mengejar pelaku (follow the suspect) kurang optimal dalam mengurangi angka kriminalitas (predicate crime), seperti tindak pidana korupsi. 

Dengan gabungan pendekatan follow the money dan follow the suspect, pemberantasan tindak pidana asal menjadi lebih berhasil. Dengan demikian, sistem antipencucian uang mempunyai tujuan utama untuk mengurangi angka kriminalitas termasuk mengurangi korupsi di Indonesia. Tujuan lain dari sistem antipencucian uang adalah untuk membuat sistem keuangan dan perdagangan lebih stabil serta terpercaya karena tidak disalahgunakan oleh para pelaku kriminal termasuk oleh koruptor. 

Oponen 

Pihak yang berpendapat bahwa KPK tidak berwenang menuntut perkara TPPU berargumen, bahwa Undang-Undang No 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU (UU TPPU) hanya memberikan kewenangan kepada KPK untuk menyidik perkara TPPU sebagaimana diatur dalam pasal 74 dan penjelasannya. Tidak ada satu pasal pun dalam UU TPPU memberikan kewenangan kepada KPK untuk menuntut perkara TPPU. 

Bahkan dalam pasal 70 tentang kewenangan menunda transaksi, pasal 71 tentang pemblokiran rekening, dan pasal 72 tentang permintaan keterangan dari penyedia jasa keuangan, tidak dicantumkan kewenangan KPK sebagai penuntut umum dapat melakukan kewenangan tersebut. Ketiga pasal tersebut menyebutkan instansi Kejaksaan yang berwenang melakukan tindakan penghentian sementara transaksi, memblokir dan meminta keterangan tentang keadaan keuangan tersangka/terdakwa dari penyedia jasa keuangan. 

Para oponen berpendapat seharusnya kewenangan KPK diberikan secara eksplisit oleh Undang-undang, bukan berdasarkan penafsiran untuk menjamin kepastian hukum. Pendapat semacam ini dianut antara lain oleh Prof Dr Romli Atmasasmita dan dua orang hakim ad-hoc pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta. Pendapat ini cenderung berdasarkan pemikiran positivisme atau legisme, sehingga penerapan UU TPPU didasarkan pada teks Undang- undang yang memberikan kewenangan kepada KPK secara eksplisit. 

Proponen 

Sebaliknya, para proponen yang mendukung KPK memiliki kewenangan menuntut perkara TPPU menggunakan alasan yang lebih komprehensif dengan menggunakan berbagai ketentuan undangundang, baik pada UU TPPU maupun undang-undang lainnya dan yurisprudensi pengadilan, sebagai berikut:
Pertama, memang benar UU TPPU tidak menyebutkan kewenangan KPK untuk menuntut perkara TPPU, tetapi pasal 75 UU TPPU memerintahkan apabila dalam menyidik tindak pidana asal (korupsi) ditemukan adanya TPPU, maka penyidik (KPK) menggabungkan keduanya sebagai gabungan tindak pidana (concursus realis), yaitu tindak pidana asal (korupsi) dan TPPU. 

Dalam hal penyidikannya digabung, wajarlah KPK yang berwenang menuntut perkara korupsi juga menggabungkan penuntutan perkara korupsi dan TPPU. Bukankah perkara korupsi dan TPPU yang diperiksa sangat berhubungan erat?
Kedua, kalau penuntutan perkara TPPU saja atau penuntutan perkara tindak pidana korupsi dan TPPU diserahkan kepada kejaksaan sebagai penuntut umum adalah bertentangan dengan prinsip penyelenggaraan pengadilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan sebagaimana diatur dalam UU No 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. 

Penjelasan undang-undang menyebutkan yang dimaksud “sederhana” adalah pemeriksaan dan penyelesaian perkara dilakukan dengan cara efisien dan efektif. Yang dimaksud dengan “biaya ringan” adalah biaya perkara yang dapat dijangkau oleh masyarakat. Di samping itu, penyerahan penuntutan kepada kejaksaan membuat terdakwa harus diadili dua kali dengan dua berkas yang berbeda, tetapi sangat berhubungan yang sudah tentu memakan waktu dan biaya yang lama dan kurang memberikan kepastian hukum kepada terdakwa. 

Ketiga, menyerahkan penuntutan perkara TPPU kepada kejaksaan tidak memiliki dasar hukum yang kuat. Justru sebaliknya, KPK mempunyai kewenangan untuk mengambil alih perkara korupsi yang sedang ditangani kepolisian atau kejaksaan, sesuai dengan Pasal 8 ayat (2) UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ( UU KPK).
Keempat, menurut ahli hukum Jerman Gustav Radbruch (1878-1949), tujuan hukum adalah keadilan (justice), kemanfaatan (utility) dan kepastian hukum (certainty). Dari ketiga unsur tersebut, keadilanlah yang harus didahulukan. 
Menurut para ekonom hukum yang adil adalah hukum yang efisien dan efisiensilah yang merupakan tujuan hukum.
Kelima, dalamhalpenyidikan dan penuntutan perkara tindak pidana asal (korupsi) dengan perkara TPPU, maka baik hukum materiil dan hukum formal (hukum acara) digabungkan yang berasal dari berbagai UU. Pasal 68 UU TPPU menyebutkan hukum acara yang berlaku adalah hukum acara sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 

Dalam hal ini, berlaku Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan undangundang yang lain, seperti UU KPK, UU TPPU, UU tentang Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronis. UU KPK memberikan kewenangan KPK sebagai penyidik dan penuntut umum memblokir rekening dan meminta keterangan tentang keadaan keuangan tersangka dan terdakwa langsung tanpa izin dari gubernur Bank Indonesia, tanpa perlu menggunakan UU TPPU. 

Keenam, menurut Pasal 6 UU No 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana korupsi, tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya adalah tindak pidana korupsi dan tindak pidana lain yang ditentukan sebagai tindak pidana korupsi.
Ketujuh, teori Hukum Progresif diperkenalkan oleh Prof Dr Satjipto Rahardjo (1930–2010) yang mengedepankan hati nurani, keadilan, dan konsep “hukum untuk manusia”. Pemikiran hukum progresif ini sering “beyond in the text” lebih jauh dari teks hukum yang ada dalam peraturan. Memang kalau dikaji secara mendalam peraturan perundang-undangan yang ada sebagai ciptaan manusia pasti ada kekurangan. Oleh karena itu, haruslah dilihat yurisprudensi yang ada dan ditafsirkan sesuai dengan hati nurani untuk memperoleh keadilan.
Kedelapan, dalam kasusTPPU sudah ada dua kasus sebelumnya yang penuntut umumnya adalah KPK, yaitu kasus Wa Ode Nurhayati yang sudah berkekuatan tetap sampai Mahkamah Agung. Kasus lain adalah kasus Djoko Susilo yang dipidana 18 tahun oleh Pengadilan Tinggi Jakarta. Dalam keadaan seperti ini, kewenangan penafsiran oleh hakim sangat menentukan.
Kesembilan, menurut Pasal 2 ayat (3) UU No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan, kejaksaan adalah satu dan tidak dapat dipisahkan dalam melaksanakan tugas penuntutan tindak pidana dan kewenangan lain. 
Penjelasan Pasal 2 ayat (3) menjelaskan, “Kejaksaan adalah satu dan tidak dapat dipisahkan” adalah satu landasan dalam pelaksanaan tugas dan wewenangnya di bidang penuntutan yang bertujuan memelihara kesatuan kebijakan di bidang penuntutan, sehingga dapat menampilkan ciri khas yang menyatu dalam tata pikir, tata laku dan tata kerja kejaksaan. Dengan demikian, penuntut umum di kejaksaan dan di KPK adalah satu kesatuan. KPK memang tidak pernah merekrut penuntut umum sendiri di luar yang berasal dari kejaksaan. 

Kesepuluh, mengingat sistem antipencucian uang bertujuan utama untuk mencegah dan memberantas tindak pidana pada umumnya, termasuk tindak pidana korupsi, maka sebaiknya penuntutan perkara TPPU yang disidik oleh KPK, dilakukan oleh KPK yang menyidik dan menuntut perkara korupsi yang melahirkan perkara TPPU tersebut. Hal ini sejalan dengan tugas KPK yang bertugas dan berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi. 

Penuntutan oleh KPK ini akan lebih meningkatkan pemulihan aset hasil korupsi, karena kalau hanya UU Tindak Pidana Korupsi dipakai, hanya uang yang dinikmati koruptor atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi saja yang dapat dirampas untuk negara sebagai uang pengganti (Pasal 18 UU Tindak Pidana Korupsi). 

Dalam hal ini, memang kepastian hukum sementara dikorbankan untuk keadilan dan kemanfaatan. Idealnya, wewenang KPK menuntut perkara TPPU diatur secara eksplisit dalam UU seperti UU KPK atau UU TPPU. (*)

KPK Tidak Berwenang Menuntut TPPU

KPK Tidak Berwenang Menuntut TPPU

Romli Atmasasmita   Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran (Unpad)
KORAN SINDO,  17 Januari 2014






Artikel sdr Dr Yunus Husein, mantan ketua Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), di harian ini pada 16 Januari 2014 dengan judul berbeda dari penulis merupakan tulisan kedua setelah Ketua PPATK Muh Yusuf di harian Kompas beberapa bulan yang lalu. 

Tanggapan tertulis saya tidak dimuat di harian Kompas dengan alasan tempat terbatas dan akan ditempatkan pada kompas digital, saya menolak dan memuatnya di KORAN SINDO. Sangat wajar jika kedua penulis yang pejabat struktural tersebut menyampaikan argumentasinya; keduanya tidak ada perbedaan signifikan tentang kewenangan penuntutan pada KPK dalam kasus pencucian uang hasil korupsi. 

Saya kutip pendapat Dr Yunus Husein pada bagian akhir tulisannya, ”Idealnya, wewenang KPK menuntut perkara TPPU diatur secara eksplisit dalam UU seperti UU KPK atau UU TPPU”. Pernyataan ini membuktikan pengakuannya bahwa KPK tidak memiliki wewenang menuntut TPPU per-UU KPK atau UU TPPU. Kalimat, “idealnya” di muka kalimat berikutnya mencerminkan bahwa dalam penyusunan UU RI Nomor 8 Tahun 2010 terselip kelalaian tim penyusun dan dalam pembahasan RUU-nya dengan Komisi III DPR RI. 

Kelalaian ini tentu berdampak sebagaimana saya telah ungkapkan kepada publik bahwa KPK tidak memiliki wewenang menuntut TPPU atau tidak alas hukum yang kuat KPK untuk menuntut terdakwa korupsi dengan UU TPPU. Solusi termudah dan tidak bermasalah serta tidak rentan perdebatan dan memenuhi asas kepastian hukum adalah PPATK melalui pemerintah mengajukan inisiatif perubahan UU TPPU Tahun 2010 dengan menambah ketentuan tentang wewenang KPK menuntut TPPU selain wewenang penyidikan. 

Ini pernah saya sampaikan pada Muh Yusuf, ketua PPATK atau UU KPK direvisi dan dimasukkan wewenang KPK menuntut TPPU pada Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6 UU KPK Tahun 2002. Tampaknya pimpinan kedua lembaga independen tersebut keberatan dengan alasan kekhawatiran terjadi ihwal di luar yang diharapkan berasal dari anggota DPR RI. 

Jika merunut sejarah UU TPPU, tidak dapat dinafikan upaya penulis memulainya, selaku ketua Delegasi RI (Delri) telah mendeklarasikan keikutsertaan Indonesia sebagai anggota APG on Money Laundering (APG-ML) sekitar 1999 di Manila, dilanjutkan upaya menyusun draf RUU TPPU yang berhasil diundangkan dengan UU RI Nomor 15 Tahun 2002. Saya ingat di antara anggota Delri, sdr Yunus Husein, wakil dari Bank Indonesia (BI). 

Dalam draf pertama UU TPPU penulis memasukkan ketentuan pembentukan Komisi Pemberantasan TPPU dengan tujuan melengkapi bersinergi dengan KPK sepanjang terkait penelusuran hasil tindak pidana korupsi dan perampasannya.Rumusan ketentuan tersebut berhasil digagalkan DPR RI dengan alasan Polri dan Kejaksaan Agung masih dapat dipercaya melakukan tugas penyidikan dan penuntutan TPPU. 

Fakta yang terjadi sebaliknya, sejak 2002 hingga 2007/2008 perkara TPPU hanya mencapai tidak lebih dari 30-an perkara sehingga sdr Yunus Husein ketika itu sebagai kepala PPATK merasa sangat kecewa dengan kinerja kepolisian dan kejaksaan dalam menindaklanjuti hasil analisis PPATK. Tentu dalam keadaan yang memprihatinkan penanganan TPPU, satu-satunya lembaga independen yang diharapkan dapat menuntaskan TPPU adalah KPK. 

Upaya ini terbentur dengan masalah yang menjadi pro dan kontra tentang wewenang KPK dalam TPPU sehingga perkara TPPU merujuk pada UU TPPU Tahun 2010 yang diundangkan sejak Oktober 2010, baru dapat efektif dipaksakan berlaku (penerapannya) oleh KPK pada 2012 sampai saat ini. Ada jeda waktu dua tahun diskusi hangat di internal KPK untuk mulai mendakwa TPPU hasil korupsi karena masih ada pro dan kontra di dalam KPK. 

Tampaknya KPK harus mengalah dan mulai menerapkan UU TPPU atas aset-aset tipikor, yang menurut sdr Bambang Wijayanto atas pertanyaan penulis, masalah kewenangan KPK telah dibahas mendalam dengan pandangan para ahli hukum pidana. Saya telusuri tidak ada ahli hukum pidana yang memberikan dukungan atas kewenangan KPK tersebut kecuali hanya Dr Yenti Garnasih, juga sdr Dr Yunus Husein, yang bukan ahli hukum pidana. 

Saya bahkan bertanya dan diskusi dengan Prof Andi Hamzah, beliau semulameyakini kewenangan KPK dalam TPPU, dengan alasan dalam UU Kejaksaan, jaksa adalah satu dan tidak terpisahkan. Namun, akhirnya beliau mengakui KPK tidak berwenang menuntut TPPU karena penuntut KPK tidak berkoordinasi dan berkonsultasi kepada Jaksa Agung kecuali kepada kelima pimpinan KPK dan kop surat dakwaan atau penuntutan penuntut KPK adalah tercantum “Komisi Pemberantasan Korupsi”, bukan kejaksaan. 

Selain itu, penuntut dan penyidik KPK juga diberhentikan sementara dari institusi asalnya selama menjadi penyidik dan penuntut KPK (Pasal 39 ayat (3) UU KPK) sehingga tidak ada hubungan struktural dan hierarkis antara jaksa KPK dan Jaksa Agung. Alasan lainnya sebagaimana diakui Dr Yunus Husein adalah tidak terdapat ketentuan eksplisit yang menyatakan KPK berwenang menuntut TPPU seperti ketentuan Pasal 71 ayat (2) b, Pasal 72 ayat (5) c UU TPPU 2010 yang hanya memberi mandat pada kejaksaan. 

Jika kewenangan KPK menuntut TPPU masih juga dilaksanakan, tentu kita harus mengingatkan pimpinan KPK atas lafal sumpah dalam Pasal 35 ayat (2) UU KPKantara lain bersumpah, “mengamalkan Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi Negara Republik Indonesia”, dan bersumpah, “…akan tetap teguh melaksanakan tugas dan wewenang saya yang diamanatkan undang-undang kepada saya”. 

Lafal sumpah tersebut ditempatkan pada UU KPK dan hanya berlaku untuk pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (bukan pencucian uang)! Lafal sumpah ini juga berlaku untuk hakim pada umumnya khusus hakim majelis pengadilan tipikor. 

Merujuk pada lafal sumpah tersebut jelas bahwa UUD dan UU memberikan mandat kepada KPK untuk memegang teguh dan melaksanakan UU KPK dan UU lain yang terkait yaitu UU RI Nomor 3 Tahun 1971; UU RI Nomor 31 Tahun 1999 diubah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001 dan UU TPPU 2010 sepanjang penyidikan. Apakah lafal sumpah yang selalu dibacakan di bawah bimbingan payung Alqurannulkarim itu menganut paham progresif atau positivisme?

Penulis 1000% setuju dengan keberadaan UU TPPU karena dapat melengkapi UU Tipikor. Sepuluh argumen sdr Dr Yunus Husein untuk meyakinkan pembaca perihal wewenang KPK dalam perkara TPPU mutatis mutandis terpatahkan dengan pernyataan yang bersangkutan sendiri pada bagian akhir tulisannya yang telah saya kutip pada awal tulisan saya, apalagi jika dihubungkan dengan lafal sumpah kelima pimpinan KPK sebagaimana saya sampaikan di atas. 

KPK bukan Pengadilan Tipikor dan Pengadilan Tipikor bukan KPK dalam arti KPK adalah lembaga penyidikan dan penuntutan berdasarkan UU KPK sehingga tidak memiliki kewenangan menafsirkan ketentuan UU secara khusus dan apalagi terkait kewenangan karena tafsir hukum atas kewenangan itu hanya ada pada hakim majelis Pengadilan TUN, bukan Pengadilan Tipikor. 

Pengadilan Tipikor bukan KPK karena pengadilan tidak memiliki wewenang menyidik apalagi menuntut sehingga hakim majelis Pengadilan Tipikor bukan jaksa penuntut umum karena hakim Pengadilan Tipikor wajib menjalankan perintah UU dan penerapan atas suatu peristiwa pidana berdasarkan fakta persidangan dan bukti-bukti yang diajukan pihak penuntut dan terdakwa/ penasihat hukumnya dan keyakinannya. 

Merujuk UU RI Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, sangat jelas menegaskan bahwa kalimat ”peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan” (Pasal 2 ayat(4) jo Pasal 4ayat (2)) hanya ditujukan untuk membantu pencari keadilan, bukan ditujukan terhadap lembaga penyidikan dan penuntutan. 

Aliran hukum progresif justru untuk memperoleh keadilan bagi pencari keadilan, bukan tujuan untuk melindungi institusi negara dalam mendakwa dan menuntut setiap warga negara, tercermin dari kata-kata Almarhum, “hukum untuk manusia, bukan sebaliknya”. 

Putusan atas perkara TPPU yang dituntut KPK telah menjadi yurisprudensi tidak bisa lagi dipersoalkan dapat dikatakan “nasi telah menjadi bubur”, namun tetap menyisakan masalah hukum mendasar, apakah negara boleh menuntut warga negaranya tanpa alas hukum yang sah sehingga putusan MA RI dalam perkara aquo akan menjadi preseden buruk bagi masa depan penegakan hukum di Indonesia bahwa seseorang di dalam wilayah hukum Indonesia dapat dituntut dan dihukum berdasarkan penafsiran dan dugaan tanpa dasar ketentuan UU. Tetapi, hanya atas dasar rasa keadilan masyarakat? Quo vadis Pengadilan Tipikor