Minggu, 24 November 2013

Mesin Pembunuh Parpol Bernama Korupsi

 Mesin Pembunuh Parpol Bernama Korupsi
Damang Averroes Al-Khawarizmi;   Peneliti dan Analis Politik Republik Institute
& Co-Owner negarahukum.com
 


Jamak diketahui tanpa ditanyapun para elit partai saat ini, mereka semua pasti akan sepakat menjawab, sejatinya korupsi dapat menjadi “mesin pembunuh” secara perlahan terhadap partai politiknya. Analogi ini kemudian tersimpul, berpangkal, dan bermuara dalam beberapa rilis survey, menunjukan partai politik yang terseret dalam pusaran korupsi, akan merangsek hingga terjun bebas elektabilitasnya di mata publik.

Pertanyaan kemudian yang mengemuka adalah kalau seperti itu fakta yang terkuak, mengapa partai politik tetap “enjoy-enjoy” saja mengubur diri dalam kubangan korupsi? Tidak sadarkah mereka kalau korupsi berkelanjutan terus-menerus yang dilakukan itu, merupakan “bunuh diri” politik, sehingga tinggal menunggu waktu saja partai itu hilang dari memori kolektif publik. Yang pasti, tidak satupun partai politik menginginkan yang demikian terjadi, sebagai bentuk “penghukuman” persepsi publik. Oleh karena itu patut menjadi catatan, kenapa partai politik sampai terjerat dalam mesin pembunuh yang bernama korupsi?

Mesin Pembunuh

Sengaja saya menggunakan terminologi mesin pembunuh dalam tulisan ini, berangkat dari argumen, bahwa korupsi politik yang menimpa beberapa elit partai (seperti: Nazaruddin, Angelina Sondakh, Wa ode Nurhayati, Zulkarnain Djabar, Luthfi Hasan Ishaq dan masih banyak lagi sederet fungsionaris partai lainnya) tidak bisa “penghakiman” itu tertuju pada “aktornya” saja. Logikanya, kalau ada akibat juga pasti ada penyebab, tidak mungkin ada asap kalau tidak ada api. 

Sebabnya, sudah pasti ditimbulkan oleh partai politik yang membutuhkan anggaran partai untuk dua dimensi anggaran yaitu campaign finance dan party finance (Muhtadi, 2013). Campaign finance adalah keuangan parpol yang diperoleh dan digunakan selama masa kampanye. Sedangkan party finance merupakan keuangan parpol yang diperoleh dan digunakan untuk kegiatan partai di luar masa kampanye dalam rangka menggerakan infrastruktur dan jaringan partai. Saat ini, anggaran yang dibutuhkan partai tidak sebanding dengan yang dibolehkan menurut Undang-Undang Partai Politik yang terdiri atas iuaran anggota, sumbangan yang sah menurut hukum dan bantuan Negara yang bersumber dari APBN.

Mengacu pada studi Mietzner, ada suatu situasi ketika partai hanya berharap dari bantuan Negara tidak cukup menutup biaya kampanye partai. Hasil pemilu 1999 misalnya berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 51/ 2001 setiap tahun peserta pemilu mendapat Rp. 1000 persuara hasil pemilu, oleh Mietzner melalui risetnya (2011) setidaknya subsidi itu dapat menutupi 50 % untuk pembiayan kampanye. 

Tetapi peraturan itu tidak bertahan lama pasca keluarnya PP No. 5/2009, ketika partai politik hanya dapat bantuan dari Negara Rp. 108 per suara dengan mengacu pada pemilu 2009. Praktis partai politik mau tidak mau akan “dipaksa” untuk mencari anggaran di luar bantuan Negara, dengan cara “ngobyek” kemana-mana, melalui kekuasaan dan pengaruh yang mereka miliki. Proyek-proyek melalui pos kementerian menjadi ajang “perburuan rente” sekaligus “lahan basa” hingga “ATM Parpol” oleh pejabat teras yang sementara menjabat di pos kementerian itu, untuk mencukupi anggaran yang dibutuhkan dalam pembiayan partainya.

Dititik itu, tidak berlebihan untuk mengatakan, kalau korupsi yang menyeret sejumlah partai gara-gara pejabat terasnya ibarat “roda mesin” yang berjalan dalam satu sistem. Antara partai politiknya sendiri dengan fungsionarisnya yang dituntut mencari “sumbangan” terhadap partai politik dimana dia berasal.

Oleh karena itu, diperlukan formula yang tepat untuk “mengamputasi”, memutus, atau menghentikan “mesin Pembunuh” itu. Tidak boleh dengan serta-merta kita membiarkan partai politik, satu persatu jatuh dan mati secara perlahan. 

Disamping partai politik merupakan keniscayaan dalam Negara demokrasi fungsi partai politik saat ini juga memiliki peranan penting dalam perekrutan pejabat publik. Mulai dari tingkat Presiden, hingga Kepala Daerah peran perekrutan partai politik sulit dilepaskan. Pemilihan Kapolri, Hakim Agung, KPK, duta besar dan lain-lain mesti melalui fit and proper test di DPR yang merupakan representasi partai politik.

Reformasi Parpol 
Sebuah alegori politik menyatakan “tidak ada reformasi partai politik tanpa reformasi sistem keuangan partai politik.” Untuk itu, perlu beberapa langkah strategis yang mesti ditempuh melalui beberapa pembenahan terhadap sistem keuangan tersebut sebagai bentuk reformasi pendanaan partai politik.

Pertama, tranparansi keuangan partai politik---berharap kepada Undang-Undang Partai Politik dan Undang-Undang Pemilu untuk saat ini mustahil, karena UU tersebut sudah diketok palunya, dimungkinkan hanya bisa diatur melalui UU sendiri, melalui UU khusus yang mengatur sistem pendanaan Parpol yang transparan dan akuntabel disertai dengan sanksi yang tegas terhadap siapapun yang melanggarnya. Melalui UU ini, diatur transparansi pengelolaan keuangan partai secara detail baik terhadap standar laporan keuangan partai, pemisahan aset partai dengan para fungsionarisnya, audit keuangan partai politik juga caleg yang diusungnya, hingga pada akses yang muda dan terbuka bagi publik untuk membaca laporan keuangan partai.

Kedua, limitasi “spending” kampanye---selama ini melalui UU Partai Politik sudah ada pembatasan terhadap sumbangan terhadap partai. Namun pengaturan tersebut menjadi “pincang” karena bagaimana mungkin pada sektor hulunya dibatasi, sementara pada sektor hilirnya (pembiayaan kampanye) dibiarkan jor-joran. Melalui pembatasan spending disertai pula sanksi yang tegas jika ada yang melanggarnya, bagi caleg dan kampaye partai jelas akan “memaksa” partai ”memutar haluan” agar berkompetisi pada gagasan, tidak lagi berdasarkan finansial semata.

Regulasi spending kampanye untuk saat ini memang sudah mulai diterapkan oleh KPU sebagai badan penyelenggara pemilu, setiap calon legislatif dianjurkan melaporkan harta kekayaannya termasuk dana pembiayaan kampanye, tetapi ke depan sebaiknya diformulasikan dalam bentuk UU tersendiri, karena ini menyangkut hajat hidup partai politik, juga kita menginginkan demokrasi yang berlandaskan pada sistem meritokrasi. (*)









Jumat, 08 November 2013

Surat dari Timur Untuk Hamdan Zoelva

Surat dari Timur untuk Hamdan Zoelva
Damang Averroes Al-Khawarizmi;   Alumni Fakultas Hukum UNHAS (2004) 
& Co-Owner negarahukum.com
Tribun Timur Makassar, 8 November 2013
 
 


SUNGGUH menyayat hati, ada yang menerima, ada yang tidak percaya, ada pula yang hakul yakin, kalau peristiwa naas yang menimpa seraya merobohkan benteng konstitusi kita adalah pucuk pimpinannya sendiri. Masih lekas, belum berlalu dingatan kita semua, Akil Mochtar dijemput “paksa” oleh KPK selang waktu menuju sepertiga malam, bak halilintar di siang bolong yang menghunjam, pun kejadian itu menimbulkan kepanikan massal. Bagai disatroni listrik, negeri ini dihadang kiamat, hingga fungsi-fungsi Negara ditakutkan pula akan berhenti bekerja, roda konstitusi pada waktunya, dinyatakan “tiba saatnya berhenti bekerja.”

Tapi tidak, jangan berlarut duka dalam isak tangis berkepanjangan, lalu kita hanya mau meratapi, topan korupsi yang melanda pemegang “wakil tuhan” tertinggi itu. Tak patah arang, mati satu tumbuh seribu, patah tumbuh hilang berganti, badai dahsyat yang menerpa, MK harus terus menabuh genderang keadilan, menunjukan kalau mereka masih ada.

Nila setitik merusak susu sebelanga, panas setahun dihapuskan oleh hujan sehari, meski esok langit akan runtuh, konstitusionalisme terus didendangkan, semangat terus….semangat terus…!!! Yakin dan percaya mereka yang terpilih adalah negarawan yang tidak mungkin membiarkan repubik ini merana, apalagi mendayungnya dalam jurang nista apalagi kematian. Selangkah lebih maju, tanpa menunggu people power, mereka telah mencari “nahkoda” baru. Hamdan Zoelva, bergelar Doktor ilmu hukum bidang tata Negara, alumni FH Unhas, kini menjadi Ketua Mahkamah Konstitusi, menggantikan Akil Mochtar.

Saban waktu bersamaan dengan putusan akhir majelis kehormatan Hakim Mahkamah Konstitusi (MKHK) menjatuhkan pelanggaran etika atas AM. Di awal bulan November ini tercatatlah nama dari timur: Hamdan Zoelva, terpilih sebagai nahkoda keempat yang akan mendayung “perahu keadilan” di negeri ini beberapa tahun ke depan. Oleh karena itu, dari timur mewakili harapan teman-teman agar dapat mengetuk hati, kutulis surat rindu untuk Hamdan Zoelva, surat ini adalah surat untuk keadilan, surat untuk bangkit dari keterpurukan, bangkit dari pembaringan tipu daya, berdoa sambil bekerja, semoga benih-benih keadilan terus menebar di bumi pertiwi.

Inilah isi surat itu; Hamdan Zoelva! engkau tidak banyak muluk-muluk, tidak banyak janji, namun harapan rakyat dipundakmu, pulihkan citra MK. Toh engkau menjawab harapan itu, seraya berharap asa, doa dari ratusan juta rakyat Indonesia, agar engkau dapat mengemban amanat konstitusi kita semua.

Marwah MK yang kini telah ditelan badai dan gelombang korupsi, dari Sabang sampai Merauke rakyat berharap gelombang rindu untukmu, engkau berbicara, bernalar, menorehkan tinta keadilan di lembaran putusan-putusanmu. Mereka pada berteriak, jangan ada dusta diantara kita, kami percaya, engkau juga percaya pada kami. Maka diamlah jika itu baik bagimu suatu waktu, atas putusan yang telah engkau telorkan, kalau memang itu lahir dari hati nurani, karena sudah pasti itulah harapan rakyat menanti keadilan bukan hanya untuk segelintir orang, tapi semua orang, tidak ada yang diabaikan hak-hak konstitusionalitasnya,

Sungguh pula ada perbedaan denganmu, Akil Mochtar, ataukah Mahfud MD. Ketika semua orang berseloroh, jangan ada hakim konstitusi dari anggota partai politik, peringatan itu lebih keras lagi datang dari sang kepala Negara. Semua rakyat Indonesia tahu pasti kalau dirimu adalah eks. Partai Bulan Bintang. Pernah lama “makan garam” di parlemen, tetapi engkau telah lama meninggalkan lama gelanggang DPR itu. Akil adalah perwakilan DPR, sementara dirimu adalah perwakilan Presiden.

Semua perbandingan itu tidak penting, kalau engkau dapat menunjukan kerja dan kinerjamu. Engkau tahu mana yang layak menjadi teladan, tidak mungkin engkau akan menjebak diri, jatuh di jurang yang sama sebagaimana rekan sekolegamu dulu, bahkan dia adalah pucuk pimpinanmu. Pemimpin tak selamanya diikuti, karena sesungguhnya pemimpin yang kuasa adalah hati nuranimu sendiri. Dengarkan mereka kalau benar, jika salah, tanyalah hati nuranimu, sungguh itu lebih benar dari apapun yang menggodamu di luar sana.

Nun jauh, kampus fakultas Hukum Unhas di sini, pada bangga menyebut dirimu. Konon semakin banyak alumni FH Unhas menduduki jabatan kenegaraan di ibu kota kenegaraan itu. Guru dan pembesarmu Prof Laica Marzuki hanya mampu menjabat wakil ketua Mahkamah Konstitusi, tetapi engkau lebih dari itu, engkau menjadi Ketua, bukan wakil yang bisa didelegasikan jabatan oleh atasan. Engkaulah penentu kebijakan atas maju mundurnya “rumah keadilan” konstitusi itu.

Ayam jantan dari timur, paentengi sirimu (dahulukan malumu), itulah slogan yang tak pernah lekang oleh waktu, menjadi pengobar semangat kampus merah, kampus pertama yang pernah mendidik dan membesarkanmu, hingga kini duduk “dikursi” konstitusi. Demi Tuhan, demi rakyat, demi hukum, demi UUD, norma tertinggi, sumber dari segala sumber hukum bekerjalah karena rindu dan gamangnya rakyat pada keadilan. Jadikan rindu untuk keadilan itu, ibarat Tuhan para musafir, para suhuf, para sufi, para alim yang tidak pernah puas akan rindu spiritual yang dijajaki setiap menit, detik, jam, hari, bulan, tahun dan seterusnya.

Putusan yang menikam “rasa keadilan”, karena godaan harta dan wanita tolong diabaikan. Jangan ada konspirasi dibalik rumah keadilanmu, rumah untuk rakyat pula. Peristiwa kemarin: sengketa Pilkada Lebak Banten, sengketa Gunung Mas (Kalimantan selatan), sengketa Pilkada Bali, cukup sudah jual beli keadilan itu, berakhir tahun ini, jangan terulang lagi. Hamdan Zoelva! kuburkan gejala itu, tidak ada konstitusionalisme yang macam itu, bukan lagi lucu, tapi itu sudah konyol.

Jangan lupa! Konstitusi adalah perjuangan harkat dan martabat setiap warga Negara. Mayoritas maupun minoritas tidak boleh ada yang terluka karena putusan-putusanmu. Oleh karena itu bukan berlebihan jika banyak orang bersenandung di negeri ini. Untuk jabatan MK, “wakil Tuhan” yang agung itu, dibutuhkan manusia-manusia malaikat yang berani menanggalkan “baju” kemewahannya, tanpa lagi memikirkan untuk menumpuk harta selagi melanggengkan kuasa.

Adakah dikau yang tersebut itu, wahai Hamdan Zoelva, sang ketua MK yang kemarin ditasbihkan sebagai pemimpin tertinggi konstitusi. Betulkah engkau manusia-manusia malaikat? Oleh konstitusi bernada dan bertutur lain, betulkah engkau negarawan “dialtar” konstitusi itu yang bisa menuangkan “cawan” keadilannya, satu untuk semua, hingga keadilan membumi di hati sanubari rakyat Indonesia. Hanyalah waktu dan sejarah yang akan mengujimu. (*)






Haji, Korupsi dan Partai Politik

Haji, Korupsi, dan Partai Politik
Damang Averroes Al-Khawarizmi;   Analis Politik Republik Institute
Fajar, 8 November  2013




Akhir-akhir ini, beberapa tahun berjalan, indeks masyarakat Indonesia yang melaksanakan rukun islam kelima, yaitu menunaikan ibadah haji, terus mengalami peningkatan signifikan, dari tahun ke tahun. Itu artinya, kalau mau dibandingkan dengan perilaku sebagian kecil warga Negara Indonesia boleh dikata berseberangan dengan perilaku dan tindak tanduk mereka terhadap dua fakta yang terkuak, yang melanda kita selama ini.

Pertama, meski ada indikator yang menunjukan masyarakat ini, kian hari makin religius tetapi kenapa berbanding lurus dengan meningkatnya pula perilaku korupsi. Kedua, kalau masyarakat itu sudah religius, dengan serta merta sebagai ceruk pasar pemilih, maka seyogiayanya pasti memilih partai-partai yang religius pula, yaitu partai yang berideologi Islam.

Justru sebaliknya yang terjadi beberapa pemilu tahun silam, setali tiga uang, partai-partai Islam seperti PKS, PAN, PPP, PKB, hanya berada dalam partai menengah, tidak pernah menjadi partai yang dominan di parlemen. Siapakah sebenarnya yang “gagal” dibalik itu semua, tentunya kita tidak bisa menyalahkan “agama”, karena agama merupakan hal mutlak, yang tidak bisa ditawar-tawar lagi, agama pasti memiliki predikat yang baik dan berlaku secara universal.

Haji Vs Korupsi
Mari kita perhatikan rilis data dari Kementerian Agama (Kemenag) tahun ini, kuota jamaah haji mencapai 168.800. Jumlah itu terdiri atas haji regular 155,200 dan haji khusus 13. 600 orang. Bahkan angka tersebut berkurang, karena adanya kebijakan pemotongan 20 persen oleh pemerintah Arab Saudi untuk seluruh Negara.

Dari tahun ketahun juga nampak kalau animo masyarakat Indonesia untuk menunaikan ibadah haji terus melonjak. Tahun 2012 saja ditaksir mencapai 2,2 juta jiwa (1,1%) dari 199,96 juta penduduk muslim (Kemenag, 2013). Angka ini diperkirakan, lebih dari 2% dari keseluruhan jumlah penduduk muslim pada tahun 2020. Bahkan kalau mau ditelaah lebih jauh, banyak pula umat Muslim Indonesia melakukan haji lebih dari sekali. Angka fenomenal ditunjukan pula melalui daftar tunggu haji. Daftar tunggu haji plus telah mencapai 76 ribu orang dengan masa tunggu 6-7 tahun. Daftar tunggu haji reguler diatasnya lagi yaitu 1,7 juta orang dengan masa tunggu 13 tahun.

Gara-gara jumlah masyarakat Indonesia yang menunaikan ibadah haji itulah, sehingga Indonesia didaulat sebagai Penyelenggara Ibadah Haji Terbaik Dunia 2013, yang diberikan oleh World Hajj Convention (Kemenag, 2013).

Fakta tersebut, jelas bertolak belakang dengan kondisi moral bangsa ini. Ibadah haji rupanya gagal dimaknai sebagai kehidupan holistik menuju kesempurnaan. Mereka pejabat dalam struktur ketatanegaraan yang sudah menyandang predikat haji itu, tetap berlaku culas, mengambil apa yang bukan menjadi haknya.

Bukan hal yang mengagetkan jika banyak diantara pelaku korupsi, baik yang yang sudah berstatus tersangka, terdakwa, bahkan yang sudah masuk buih mereka banyak yang menyandang gelar haji, tetapi selalu terendus korupsi.

Maka pertanyaan yang patut diangkat, jika persentase masyarakat Indonesia, tidak ketinggalan pejabat Negara turut ambil bagian dalam proses ibadah haji membaur bersama dengan masyarakat dari pelosok desa-desa kecil itu juga melimpah. Lalu mengapa mereka itu tetap juga melakukan korupsi, padahal “rukun islam” meraka, telah sempurna secara formal?

Idealnya adalah, kalau mereka telah menyandang gelar haji, mestinya berbanding terbalik dengan indeks laku korupsi. Malah yang terjadi adalah, hukumnya yakni berbanding lurus. Persentase kenaikan jumlah jamaah haji tiap tahun searah dengan naiknya pula indeks korupsi di Indonesia. Berdasarkan rilis Transparency Internasional tahun 2012, Indonesia berada diperingkat ke-58 dari 176 negara.

Mungkin, kita tidak perlu terlalu heran, atas penyakit konis yang menimpa bangsa ini, jika dua varibel (baca: haji dan korupsi) di atas, dimainkan sebagai ukuran untuk mencegah perbuatan korupsi. Sedangkan pengadaan Al-qur’an saja, yang nyata-nyata untuk kemaslahatan Ummat juga telah menyeret beberapa politisi, mereka ikut menggelembungkan dana untuk pengadaan al-qur’an itu.

Termasuk jauh ke bawah, jika ditelisik lebih dalam, Kantor Urusan Agama (KUA) saja sebagai lembaga pengesahan akta nikah, telah menjadi rahasia umum kalau di sana banyak pula terjadi praktik suap menyuap.

Hingga pada titik akhirnya, korupsi juga menyerempet partai politik yang di dalamnya banyak berjuang atas nama agama. Pun kader-kadernya telah menyandang predikat gelar haji. Konsekuensinya, partai yang berbasiskan pada ‘agama” juga menasbihkan dirinya sebagai partai korupsi. Inilah yang menimbulkan “defesit” kepercayaan bagi pemilih religius, pemilih yang menyandang gelar haji, untuk tidak berafeksi dengan partai-partai Islam itu.

Partai Islam Vs Haji
Dua kesalahan terbesar yang diperbuat oleh kader-kader partai islam saat ini, diantaranya; menyandang gelar Haji sebagain kadernya, kemudian korupsi, semakin mengokohkan kalau partai politik yang diperjuangkan atas nama Islam, hanya menempel pada labelnya saja sebagai partai Islam. Tetapi secara nyata-nyata perbuatannya tidak ada yang menunjukan, kalau mereka konsisten berjuang di jalan Islam yang disyariatkan.

Justru, karena partai Islam yang digaungkan terus menerus itulah, menjadi titik kelemahan bagi partai islam. Untuk berbenah diri mengembalikan harapan publik yang religius agar jatuh hati kepadanya, rasanya semakin sulit. Rilis beberapa lembaga survei menunjukan kalau popularitas dan elektabilitas semua partai Islam hanya berada dalam angka 1 digit (3 s/d 5 persen saja), pun kalau ada pemenang dari partai-partai Islam tidak pernah menjadi “juara” yang bisa menjadi penguasa parlemen. berkali-kali pasca reformasi, senayan selalu didominasi oleh Partai sekuler, sementara partai Islam bertekuk lutut dihadapan partai sekuler, sehingga terpaksa harus memilih koalisi dengan partai sekuler itu. Pemilu tahun 1999 (pemenangnya adalah PDIP), pemilu tahun 2004 (pemenangnya adalah Golkar), pemilu tahun 2009 (pemenangnya adalah Partai Demokrat). Fakta ini harus menjadi perhatian bagi partai Islam untuk merebut kembali ceruk pemilih, sebagai kelompok massa religious selayaknya “menjatuhkan hati” terhadap partai Islam pula.

Kini partai-partai Islam harus membuka kembali “khittah” perjuangan partai, juga kader-kader mereka yang religius, harus sejalan dengan “kondisi religius” yang diharapkan oleh komunitas masyarakat yang religius itu pula. Saya kira kita patut mengacungi jempol kepada Amin Rais, tokoh reformator yang pernah memimpin Partai Amanat Nasional itu, kembali menghidupkan isu partai poros tengah, di tengah merosotnya kepercayaan publik atas partai-partai Islam. Memang bukan jalan muda untuk kembali mengulang kejayaan partai Islam, dizaman partai Masyumi (1955), namun kalau semua kelompok Islam berhimpun, peluang itu untuk 2014 menguasai parlemen, dipastikan masih terbuka lebar. Semoga! (*)