Senin, 26 Agustus 2013

PTS (Non) Harapan

PTS (Non) Harapan
& Co-Owner negarahukum.com
Gorontalo Post,  27 Agustus 2013 




Terkadang kita takut, banyak orang tidak bersekolah, namun yang lebih berbahaya dan perlu ditakuti adalah banyak orang salah bersekolah.

Mengawali tulisan ini, setelah penulis tidak hadir menulis dalam satu hingga dua pekan di kolom Persepsi Gorontalo Post. Tiba-tiba saya teringat dengan janji untuk menuliskan “keresahan” yang telah lama terpendam dari salah satu SMS yang dikirimkan oleh Basri Amin semenjak masih menggeluti profesi Dosen di Provinsi Gorontalo.

Alhamdulillah, dengan niat tulus tanpa ada tendensi, maksud apapun, apalagi motif dendam pada perguruan tinggi swasta (PTS). Dengan waktu yang sedikit luang, hingga sekarang terbawa dalam benak saya, kenapa Basri Amin mengirimkan SMS sebagaimana yang dikutip pada awal tulisan ini.

Orang Tua, anak didik kita yang akan menjadi penerus bangsa, tunas muda harapan bangsa. Tentunya memiliki harapan, kelak agar anak-anak penerus zaman di negeri ini, menjadi tumpuan harapan bangsa, harapan kita bersama. Agar dalam memegang “tongkat estafet” tidak sia-sia. Berlaku culas dan menghalalkan segala cara, demi menduduki jabatan ke negaraaan dalam suprastruktur pemerintahan nantinya.

Toh, harapan itu perlahan membuat kita pesemis. Di saat PTS tumbuh bak cendawan di musim hujan. Bukan lagi calon mahasiswa yang mencari kemana akan melabuhkan cita-citanya, dengan melanjutkan studi pada perguruan tinggi, di semua perguruan tinggi yang ada di negeri ini.

Para dosen bahkan ‘dipaksa” terjun lapangan, mengiklankan, beberapa keunggulan tiap fakultas, yang sudah hadir di PTS tersebut. Dengan sangat “pongahnya” ketika kita membuka iklan beberapa PTS di Koran. Tersentak kaget, bukan kepalang, alih-alih, hampir semua PTS menawarkan fasilitas yang mewah, serba lengkap di tiap-tiap fakultas yang mereka tawarkan. Ada disediakan fasilitas online tanpa batas, beroperasi hingga dua puluh empat jam, iming-iming ada beasiswa (walau di dalam nantinya untuk mengurusnya di buat menjadi rumit). Ada janji kuliah paling cepat, hingga hanya dapat menempuh batas studi 3 tahun dua bulan saja.

NONHARAPAN
Berbagai janji-janji yang dihadirkan beberapa PTS tersebut, juga tidak pernah dipermaslahkan, kalau realisasinya bertentangan dengan fakta di lapangan. Team akreditasi yang terjun untuk melakukan penilaian, lagi-lagi hanya melihat fasilitas gedung (mesjid/ mushallah, WC, poliklinik, ruangan dosen, apa sudah ada?), padahal semua fasilitas yang dilihat oleh team akreditasi pada saat turun lapangan. Ruangan itu hanya ada pada saat team turun. Semua bangunan, gedung, ruangan dipoles, dipercantik, disulap sehingga dengan sendirinya team akreditasi, sudah dapat mengakui, kalau fakultas tersebut misalnya sudah dapat diberi nilai A, B, atau C.

Pertanyaan sekarang, kenapa PTS terlalu “ngotot” mendapat akreditasi, seolah dipaksakan kalau tidak mampu ? Saya yang resah atas persoalan ini, bukan memandang PTS tidak layak, nonharapan untuk menjadi tempat bagi anak-anak yang baru lulus di SMA. Namun karena PTS “seolah” berburuh kekayaan dari jumlah pembayaran mahasiswa yang memilih PTS itu.

Boleh jadi, di sinilah mainstream yang dibangun selama ini. Sehingga tepatlah kalau anak-anak yang kemudian menjadi mahasiswa PTS adalah salah bersekolah. Tujuan pendidikan untuk mencerdaskan bangsa sebagai amanat konstitusi, hanya menjadi fasih terucap di bibir. Tapi upaya komersialisasi hingga kapitalisasi pendidikan ternyata lebih dominan dari pada melahirkan calon-calon sarjana yang berkualitas.

PENYAKIT BAWAAN
Mari kita tengok, sudah merupakan rahasia umum, ada PTS yang menggratiskan mahasiswanya membayar SPP, jika berhasil menggoda beberapa orang lulusan SMA akhirnya masuk di PTS itu. Bahkan tidak main-main, dengan standar yang ditetapkan oleh pimpinan PTS jika berhasil “merekrut” ratusan hingga ribuan orang agar masuk di PTS, digadang-gadang dengan hadiah mobil mewah.

Pada intinya kita selalu mengeluhkan birokrasi, para pegawai disemua kementerian yang tidak provisional dalam bekerja, hingga beberapa kantor, kita menyaksikan mereka yang telah lulus menjadi PNS, hanya bermain domino, main game di hadapan computer ketika sedang hari kerja.

Padahal persoalan demikian, sudah menjadi penyakit bawaan. Kita tidak pernah sadar untuk membenahi pada persoalan “hulunya” praktis untuk persoalan “hilirnya” juga tidak akan selesai.

Tetap akan lahir birokrasi yang bermalas-malas, nonprofessional, nonharapan karena memang dari awal tidak pernah ditanamkan kulitas pada calon-calon pegawai keluaran perguruan tinggi.

Lebih ironis lagi, kalau niali mahasiswa di PTS dengan jalan yang muda, selalu dikompromikan. Nilai eror dengan modal ratusan ribuan rupian dalam amlop. Mahasiswa yang tidak pernah ikut kuliah, hanya ikut midtes dan final tiba-tiba di rapornya langsung berubah menjadi “A”. Kasus tersebut sudah cukup, sedari awal kita menganggap biasa praktik gratifikasi. Hingga pada akhirnya setelah mahasiswa ini menjadi pegawai negeri, segala berkas yang diurus dalam member pelayanan, juga dikenakan biaya tambahan.

Tidak sampai di situ, karena PTS seringkali memaksakan mahasiswanya lulus “sekejap” 100 % dalam waktu tiga tahun dua bulan. Mahasiswa yang tidak pernah diajar melakukan penelitian ditambah dosen yang direkrut oleh PTS adalah dosen “abal-abal”. Cukup sudah penderitaan mahasiswanya. Hingga pusing “tujuh keliling” menyelesaikan tugas akhir. Agar dapat menyandang gelar sarjana.

DI BELAKANG LAYAR

Terus siapa yang beraksi “di belakang layar” sehingga mahasiswa itu tetap sarjana berdasarkan target? Jawabannya, siapa lagi kalau bukan dosennya, tepatnya dosen pembimbingnya.

Sebuah fakta yeng “miris”dosen yang menyelesaikan tugas akhir mahasiswa, kemudian dia sendiri yang menjadi pembimbing, atau penguji. Pembimbing yang membimbing dirinya sendiri, penguji yang menguji dirinya sendiri. Sementara mahasiswa yang sedang “dibantai” tutup mulut, dia seribu bahasa, tidak tahu-menahu apa substansi skripsinya.

Ironisnya, mustahil pembimbing dapat mengerjakan skripsi dalam jumlah yang banyak dengan karya yang berkualitas pula. Maka jalan satu-satunya, sang pembimbing mencontek skripsi yang sudah jadi di perguruan tinggi lain. Melalaui proses foto copy skripsi di perpustakaan kampus-kampus lain. Atukah cukup men (searching) di goegle kumpulan skripsi, kemudian semua isi skripsi yang di peroleh melalui “online” dicopas habis.

Terlepas dari semua sengkarut yang terjadi di PTS. Kiranya PTS saat ini, wajib adanya mulai sekarang berbenah diri, tidak semata-mata mengedepankan jumlah (kuantitas) berapa pendaftar. Melainkan juga mengedepankan standar kualitas tenaga pengajarnya yang tidak direkrut asal-asal, karena alasan kekerabatan saja, namun calon dosennya memang bermutu, terampil mengajar, berkarya, dan mengaktualisasikan ide-idenya bagi mahasiswa. Atau kalau PTS tetap menjadi ajang komersialisasi kampus, tempat menumpuk modal sebanyak-banyaknya. Ada baiknya buat para orang tua, calon mahasiswa hati-hati memilih untuk kuliah di PTS, mana PTS yang layak untuk meneruskan cita-cita mereka. Karena nasib bangsa ini sudah merupakan keniscayaan ditentukan oleh generiasi muda yang tidak salah bersekolah.***





Nasib Capres Demokrat

Nasib Capres Demokrat
Djoko Suud Sukahar  ;    Budayawan, menetap di Jakarta
DETIKNEWS, 26 Agustus 2013
 



Manuver Partai Demokrat (PD) memalukan. Konvensi capres yang digelar dianggap tidak etis dan terkesan akal-akalan. Mengakali agar partai yang terpuruk ini terdongkrak, dengan kemasan seperti mencari calon pemimpin masa depan. Tak salah kalau bisa pesertanya semakin banyak semakin baik, seperti kata Wakil Ketua Komite Konvensi Taufiqurrahman Ruki.

Konvensi capres PD memasuki tahapan semi final. Komite sudah melayangkan undangan pada calon peserta. Ada banyak yang diundang, ada pula yang sudah melakukan wawancara. Sekretaris Komite Konvensi Suadi Marasabessy, menyebut calon yang diundang maksimal 15 orang. Taufiqurrahman Ruki bilang makin banyak makin baik.

Konvensi sebenarnya bukan hal baru di jagat politik kita. Partai Golkar yang memulai itu di era Akbar Tandjung. Konvensi dilakukan di internal partai dan yang dilibatkan juga kader partai itu sendiri. Ini langkah untuk menyeleksi kader terbaik yang akan diorbitkan untuk menempati posisi strategis.

Namun konvensi PD ini agak beda dan aneh. Partai mengundang siapa saja dan dari partai mana saja untuk ikut konvensi. Malah Jokowi dari PDIP juga diusulkan diundang tetapi menolak, serta Endriartono Sutarto dari Nasdem yang terpikat dan keluar dari partainya. Maka Rachmawati yang menggantikan posisi Endriartono sengit menuding PD tidak punya etika. Etika politik.

Tudingan PD tidak beretika memang benar. Sebab syarat ikut konvensi ini salah satunya adalah harus keluar dari partai asal peserta. Kalau begini syaratnya, mengapa kader partai lain diundang? Ini sama dengan PD melakukan intervensi, mengiming-imingi secara terang-terangan kader partai lain agar loncat pagar. Untuk itu konvensi ini menyulut pro-kontra. Tidak saja dari luar, tetapi juga dari dalam PD sendiri.

Dari dalam, kader PD, seperti Marzuki Alie merasa teranak-tirikan karena ikut membesarkan partai tetapi harus beradu dengan peserta lain yang hanya penumpang gelap. Sedang partai politik yang kadernya diambil menganggap PD melakukan pembajakan secara kasar. Awal buruk ini nampaknya yang akan memperpuruk PD di tahun depan. Ribut sendiri yang mungkin bisa tak terkendali.

Melihat gelagatnya, saya kok berkeyakinan nama capres PD yang akan dimunculkan 15 September nanti tidak tunggal. Itu agar banyak tokoh yang berkampanye untuk PD. Ujaran Mahfud MD tidak salah. Dia mensinyalir konvensi ini hanya sebagai strategi PD mencari juru kampanye sebanyak-banyaknya. Terus siapa dan bagaimana nasib capres hasil konvensi PD ini kelak? Pertanyaan itu seperti teka-teki silang yang salah pertanyaannya. Artinya tak akan bisa dijawab dan tidak akan benar jawabnya. Sebab rumor yang berkembang telah menyediakan nama Pramono Edhi Wibowo sebagai pemenang, didampingi cawapres Dahlan Iskan, Djoko Santoso, Dino Patti Djalal, atau Gita Wirjawan. Untuk itu tidak perlu peras otak untuk menebaknya, apalagi adu strategi agar memenangi konvensi ini. Jika begitu, apakah benar jabatan SBY kelak akan mulus digantikan kader hasil konvensi ini?

Rasanya jangan terlalu jauh bermimpi. Mimpi memang indah, tetapi yang harus diingat, realitas yang busuk pun ternyata jauh lebih indah karena membumi. Begitu juga dengan suara perolehan PD serta produk konvensinya. Suara PD diprediksi akan tergerus di Pemilu tahun depan. Badai korupsi, bedol desa sebagian anggotanya, serta kinerja SBY di akhir jabatannya merupakan pangkal itu.

Dengan begitu, kalau ini mengemuka, maka suara PD akan mengalami penurunan yang signifikan. Itu artinya partai ini tidak punya kapasitas untuk mengusung jago. Kalaulah bisa, maka harus melakukan koalisi. Yang menjadi pertanyaan, adakah partai lain tertarik menerima ajakan PD, termasuk tawaran untuk menerima jago hasil konvensinya? Ini semua masih tanda tanya besar.

Untuk itu, jika prediksi ini mendekati kenyataan, maka riuh konvensi hari-hari ini sejatinya adalah muspro (mubazir). Itu bak pepatah rame ing pamrih sepi ing gawe. Ramai dengan kepentingan PD yang sedang berusaha membangun kembali citra, dan ramai oleh para tokoh yang sedang mencari panggung saja.

Konvensi capres PD ini memang masih sepi dengan kerja yang sebenar-benar kerja. Kerja untuk mencari pemimpin yang dibutuhkan rakyat, dan pemimpin yang diperlukan untuk membangun negeri tercinta.

Kutub Politik

Kutub Politik
Sukardi Rinakit  ;    Peneliti Senior Soegeng Sarjadi Syndicate
KOMPAS, 27 Agustus 2013
 

Hormat saya kepada Megawati Soekarnoputri. Dari tangan dinginnya, saat ini tumbuh dan berkembang tokoh-tokoh politisi muda yang mumpuni.

Untuk menyebut beberapa nama, mereka antara lain Joko Widodo (Jokowi), Ganjar Pranowo, Rieke Diah Pitaloka, Maruarar Sirait, Hasto Kristiono, Puan Maharani, Puti Guntur Soekarno, Rustriningsih, Eva Kusuma Sundari, Pramono Anung Wibowo, Effendi MS Simbolon, Arif Budimanta, Arif Wibowo, Budiman Sudjatmiko, dan Ahmad Basarah.

Melihat berkibarnya para politisi muda itu, seorang karib dari Universitas Gadjah Mada, Cornelis Lay (Conny), mengatakan kepada penulis bahwa menurut bacaan dia, pengaderan di tubuh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan sejatinya berjalan dalam irama relatif cepat dan konstan. Namun, banyak orang tidak menyadarinya. Sebagai politisi yang mempunyai pengalaman panjang, Megawati Soekarnoputri mempersiapkan itu semua. Saya menyetujui amatan Conny.

Dua kutub
Menurut spekulasi penulis, sebagai politisi paling matang saat ini, Megawati tak dibebani politik dinasti. Dalam arti, siapa pun kader yang baik, yang memanggul prinsip bahwa berpolitik adalah dalam rangka bernegara, dan bernegara adalah berkonstitusi berhak mendapatkan tempat dan dukungan penuh dari partai. Indikasinya, Megawati tidak pernah mau terlibat perdebatan dangkal, apalagi sekadar menyangkut figur calon presiden 2014.

Dengan atmosfer seperti itu, PDI-P hampir dipastikan menjadi salah satu kutub politik paling kuat dalam kontestasi politik 2014. Indikator awalnya bisa diidentifikasi dua bulan terakhir. Hampir semua hasil survei yang dilakukan lembaga independen menunjukkan, PDI-P diprediksi menjadi pemenang Pemilu 2014 mengungguli Partai Golkar.

Fenomena tersebut, selain membenarkan argumen bahwa sejarah politik kita adalah sejarah tokoh, juga membenarkan pandangan bahwa konsolidasi dan pengaderan partai merupakan faktor penting dalam kerja politik. Benar bahwa popularitas dan kredibilitas Jokowi ikut mendongkrak preferensi politik masyarakat terhadap PDI-P. Namun, tanpa konsistensi Megawati dalam melakukan pengaderan dan konsolidasi selama ini, tanah politik tidak akan gembur. Pendeknya, seperti kata Emak, roda satu tidak bisa bergerak (rodho siji ora mlaku).

Mencermati gerak politik, platform, karakter, dan figur-figur utama partai politik peserta pemilu, secara hipotesis bisa dikatakan bahwa Partai Nasional Demokrat (Nasdem) dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) kemungkinan besar akan merapat ke PDI-P setelah pemilu legislatif nanti. Mereka membangun koalisi dan menjadi salah satu kutub terkuat, sebut saja kutub PDI-P, siapa pun yang diajukan sebagai pasangan calon presiden dan wakil presiden.

Kutub PDI-P tersebut akan berhadapan dengan kutub terkuat lainnya, yaitu Partai Demokrat (PD) dan mitra koalisinya. Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) diduga akan bergabung dengan PD karena karena setiap partai mustahil mengalami lompatan perolehan suara dalam pemilu legislatif.

Meskipun PAN dan PKB sementara ini mempunyai orientasi sendiri menyangkut calon presiden, tetapi selama ini mereka terlihat nyaman menjadi mitra koalisi PD. Kecenderungan tersebut bisa jadi berlanjut pada 2014. Bahkan Partai Keadilan Sejahtera (PKS), yang sering berbeda sikap politik dengan PD, diduga juga tak akan beranjak dari format koalisi yang sekarang berlaku.

Sehubungan dengan hal tersebut, dengan melempar konvensi sebagai strategi untuk menjaring calon presiden, PD akan memperoleh figur yang ketokohannya mencukupi karena dalam batas-batas tertentu, ia juga dipilih oleh publik. Dengan bahasa lain, karena gerak politik acap kali tidak linier, PD sedang mencari tokoh yang mempunyai ”aura untuk menang”.

Oleh karena itu, menurut saya, PD tidak akan berani main-main dengan konvensinya, apalagi memanipulasi hasil konvensi. Sekali itu dilakukan, kehancuran yang dramatis akan menimpa partai tersebut. Terlebih PD miskin kader muda yang moncer karena beberapa di antara mereka terbelit kasus korupsi. Dengan demikian, siapa pun yang memenangi konvensi, pada skala terbatas boleh disebut sebagai pilihan ”masyarakat”. Ia akan berhadapan dengan calon presiden dari kutub PDI-P, entah Megawati atau Jokowi, dengan seluruh keotentikan yang dimiliki.

Kutub alternatif

Pemberitaan mengenai dua kutub politik itu (kutub PDI-P dan PD) kini mendominasi ranah publik. Partai-partai lain, termasuk Golkar dan Gerindra, untuk sementara ini terkesan menghilang dari tangkapan radar media. Gerak Golkar sejauh ini belum menarik antusiasme media. Adapun Prabowo Subianto, yang mempunyai elektabilitas tinggi, manuvernya juga belum menjadi magnet pemberitaan sehingga belum mendongkrak preferensi publik kepada Gerindra.

Kalau politik diartikan sempit sebatas merebut kekuasaan dan memenangi kontestasi politik, hanya dengan membangun koalisi bersama, Golkar dan Gerindra akan mampu menjadi kutub alternatif. Apalagi jika mereka diperkuat kehadiran Hanura dan Partai Bulan Bintang (PBB). Tidak tertutup kemungkinan, kutub ini akan mampu menggeser posisi Kubu PD dan berhadapan dengan Kutub PDI-P. ”Rodho siji ora mlaku,” kata Emak.

Rabu, 07 Agustus 2013

Renovasi Iman Melalui Mudik Lebaran

Renovasi Iman Melalui Mudik Lebaran
 Komisariat Hukum Unhas
Fajar Makassae, 6 Agustus 2013 


Tekhnologi boleh sedemikan canggihnya, para anak muda kita sudah menggunakan gadget, handphone, hingga blackberry keluaran terbaru. Namun esensi tekhnologi itu tidaklah mampu menghapuskan tradisi mudik di masyarakat nusantara ini. Diseluruh pelosok tanah air menjadi anak tangga, ummat muslim kembali, berduyun-duyun, bersimpuh dan berkumpul dengan sanak keluarga mereka.

Di tengah himpitan ekonomi yang melanda bangsa ini, karena beberapa pekan sebelum kita memasuki bulan ramadhan. Dengan “tegahnya” pemerintah menaikkan BBM, praktis semua kebutuhan pokok hingga biaya transportasipun akan berlipat dua kali pula untuk melakoni tradisi mudik ini. Dibandingkan misalnya dengan biaya untuk mudik pada tahun sebelumnya.

Sebuah tradisi “pulang udik”, dalam terminologi mudik yang dari kata udik adalah desa. Naiknya biaya transportasi bagi yang benar-benar hendak mudik. Itu tidak jadi masalah, merogok kocek rupiah demi berkumpul sanak keluaraga dan handai taulan, itulah intinya.

Tafsir
Ibarat debu beterbangan di musim kemarau, dengan lakon yang sama berulang-ulang, kemudian debu beterbangan itu akan kembali menyatu dengan sumber asalinya di bumi. Lalu datang hujan menyapu rata debu yang masih melekat di setiap benda hidup dan mati di bumi ini. Sebuah ritual silih berganti, hukum alam yang bekerja pada ruang dan waktu.

Jangan sampai mudik lebaran yang dengan gampangnya kita biarkan berlalu. Tanpa lagi perlu ada tafsir otentik ketuhanan. Ketika lidah dengan fasihnya menghafal rukun Islam, serta rukun iman dianggap tidak perlu lagi melakukan penjajakan terhadap tradisi yang berulang kali, dilakukan setiap tahun.

Bisa dibayangkan sekejap, ruang tekhnologi dengan perangkat canggih, seorang sudah dapat saling menyapa, meski tidak dalam ruang yang sesungguhnya, tetapi boleh jadi kepuasan psikologis, setelah mendengar suara sanak keluarga, sudah cukup. Lalu mengapa dengan grand final puasa, semua orang yang sedang merantau merasa wajib, mudik dan bertemu dengan keluarga yang dicintainya.

Tidak cukupkah mereka pada masing-masing merayakan lebaran secara terpisah. Bukankah merayakan idul fitri, adalah merayakan sebuah kemenangan setelah sebulan penuh, berada dalam medan juang, melatih diri tidak makan, tidak minum, tidak berhubungan sex, menahan nafsu amarah. Semata-mata ritual personal hamba kepada Tuhannya ? Mestikah terasa syahdu dan berlipat ganda pahala yang kita dapatkan. Kalau idul fitri dilaksanakan secara berjamah dengan sanak keluarga di kampung. Jawabannya tidak juga. ?

Namun apa salahnya ritual mudik dimaknai sebagai peleburan “ego” personal manusia untuk kembali mengingat, tempat pertama kalinya dilahirkan, tempatnya tumbuh dari anak, remaja, hingga dewasa. Bertemu dengan para sahabatnya di masa lalu, mengurai kenangan.

Jika ditafsir ulang, tradisi mudik memberi makna, sehebat-hebatnya manusia, bagaimanapun jauhnya melangkah akan kembali ke pangkalnya. Sama halnya dengan lamanya manusia menjalani prosesi kehidupan, meski sebagian ada juga yang hidupnya tidak terlalu lama di dunia.

Renovasi
Yang jelas dan pastinya mudik merupakan renovasi kesadaran spiritual manusia, mengenang kembali jiwanya yang asali. Sungkem dan berjabat tangan di hadapan orang tua bagi yang masih hidup orang tuanya, lebih penting lagi mudik untuk tidak dilewatkan, karena di sanalah terletak bakti seorang anak terhadap ibu dan ayahnya.

Sebaliknya meski seorang ibu ditinggal jauh oleh anaknya, merantau di kampung negeri seberang. Mereka akan berkata, tidak cukup dan lengkap rasanya sang orang tua jika tidak bersama dengan anak-anaknya merayakan lebaran di kampung. Cinta dan kasih sang orang tua telah melebur dalam keagungan Tuhan, hendak meraih nikmatnya “iman” dalam kebersamaan. Itulah islam, sebagai jalan agama yang benar-benar memasrahkan diri sepenuhnya secara total kepada Allah SWT.***


Penulis juga adalah Peneliti & Analis Politik Republik Institute