Rabu, 31 Juli 2013

Memperketat Remisi Koruptor

Memperketat Remisi Koruptor
Oce Madril ;  Pengajar Fakultas Hukum UGM,
Direktur Advokasi Pusat Kajian Antikorupsi UGM
KORAN TEMPO, 30 Juli 2013



Remisi untuk koruptor kembali diperdebatkan. Pasca-kerusuhan di lembaga pemasyarakatan Tanjung Gusta, Sumatera Utara, wacana pemberian remisi bagi koruptor kembali mencuat. Perdebatan mengarah pada dicabutnya Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Peraturan pemerintah inilah yang dituding sebagai pemicu protes. Sebab, PP ini memperketat pemberian remisi bagi koruptor dan narapidana kejahatan khusus lainnya.

Penolakan terhadap kebijakan pemerintah yang memperketat pemberian remisi bagi koruptor bukan kali ini saja terjadi. Tercatat, berbagai upaya telah dilakukan untuk menolak kebijakan ini. Hampir setiap tahun usaha untuk mendongkel kebijakan ini dilakukan. Pada 2011, serangan terhadap kebijakan ini datang dari politikus DPR. Beberapa anggota Komisi III DPR menggalang interpelasi untuk membatalkan kebijakan pengetatan remisi. Namun usaha mereka kandas. Pada 2012, jalur pengadilan digunakan. Melalui gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), keputusan menteri yang berkaitan dengan pembatalan remisi dan pembebasan bersyarat bagi koruptor digugat. Kali ini penggugat dimenangkan dan pengadilan menuai kecaman.

Pada tahun ini, tampaknya jalur politik dan pengadilan digunakan secara bersamaan. Hal ini terlihat dari upaya salah satu Wakil Ketua DPR, Priyo Budi Santoso, yang dengan cekatan memfasilitasi aspirasi koruptor agar PP pengetatan remisi dicabut. Sedangkan upaya hukum ditempuh melalui judicial review PP 99 Tahun 2012 ke Mahkamah Agung. Berbagai upaya tersebut menggambarkan bahwa kekuatan pro-aspirasi koruptor berusaha keras menggunakan berbagai cara untuk menganulir kebijakan pengetatan remisi.

Landasan yuridis

Secara hukum, pemberian remisi bagi narapidana memang dibenarkan. Remisi merupakan hak narapidana. Hal ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Pasal 14 ayat (1) UU ini menyebutkan bahwa salah satu hak terpidana adalah mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi). Namun, menurut pasal 14 ayat (2), hak tersebut tidak serta-merta dapat diberikan kepada narapidana. Ada syarat-syarat dan tata cara yang wajib dipenuhi. Karena itu, dapat dikatakan bahwa hak memperoleh remisi adalah hak yang terbatas, yakni dibatasi oleh syarat dan tata cara tertentu. Hak remisi bisa diperoleh jika syarat dan tata cara dipenuhi oleh narapidana. Jika tidak, narapidana tidak akan pernah memperoleh hak tersebut.

UU kemudian memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk mengatur syarat dan tata cara pelaksanaannya. Dari sini lah pemerintah memperoleh kewenangan atribusi untuk mengatur perihal tersebut. Sehingga pemerintah mengeluarkan PP yang secara teknis memberikan panduan berkaitan dengan syarat dan tata cara pemberian remisi. Karena pemerintah diberi landasan yuridis oleh UU, pemerintah berwenang menentukan syarat dan tata cara pemberian remisi. Di sini lah pemerintah membuat kebijakan hukum. Pilihan kebijakan pemerintah boleh jadi mempermudah atau mempersulit pelaksanaan remisi.

Secara umum, remisi diberikan berdasarkan dua syarat, yakni berkelakuan baik selama di penjara dan telah menjalani hukuman minimal enam bulan. Namun, bagi terpidana korupsi, pemerintah memberlakukan ketentuan khusus. Pasal 34A PP 99/2012 mengatur bahwa remisi dapat diberikan jika terpidana bersedia bekerja sama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya dan telah membayar lunas denda serta uang pengganti sesuai dengan putusan pengadilan bagi narapidana korupsi. Ketentuan ini juga berlaku bagi terpidana kasus terorisme, narkotik, kejahatan terhadap keamanan negara, kejahatan hak asasi manusia yang berat, dan kejahatan transnasional terorganisasi lainnya.

Jika dibandingkan dengan peraturan sebelumnya, PP 99/2012 memberikan syarat baru yang harus dipenuhi narapidana korupsi untuk mendapatkan remisi. Penambahan syarat baru tersebut tidaklah bertentangan dengan UU. Sebab, PP ini tidaklah meniadakan hak remisi. Lagi pula, perubahan hukum merupakan hal yang lumrah. Sebuah peraturan harus mengakomodasi nilai keadilan masyarakat selama tidak bertentangan dengan UU di atasnya. Peraturan remisi telah mengalami perubahan sebanyak tiga kali. Sebelumnya, diatur dengan PP 32/1999 dan PP 28/2006. Setiap perubahan berimplikasi pada berubahnya syarat dan tata cara pelaksanaan hak narapidana.

Tolak remisi
Pada masa mendatang, koruptor tidak perlu diberikan remisi. Revisi UU Pemasyarakatan perlu dilakukan untuk meninjau kembali hak remisi bagi koruptor. Sebab, koruptor tidaklah sama dengan para terpidana kejahatan kriminal umum. Korupsi adalah kejahatan kriminal luar biasa (extraordinary crime). Bahkan United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) mengklasifikasikan korupsi sebagai kejahatan hak asasi manusia (human rights crime) dan kejahatan kemanusiaan (crime against humanity). Korupsi menimbulkan kerusakan dalam skala yang sangat luas. Karenanya, upaya yang luar biasa patut diterapkan kepada koruptor. Salah satu bentuknya adalah menghapus remisi bagi koruptor.

Memang, penjara bukanlah tempat untuk balas dendam. Namun penjara juga bukan tempat seorang penjahat boleh menikmati keistimewaan, termasuk mendapatkan remisi. Menghukum seorang koruptor secara maksimal bukan hanya pembelajaran bagi terpidana itu sendiri, tapi juga terutama bagi jutaan orang di luar tembok penjara agar mengurungkan niat merampok uang negara.

Hukuman penjara bagi koruptor tidak akan menimbulkan efek jera bila berbagai kemudahan terus diberikan. Apalagi selama ini Pengadilan Tipikor rata-rata hanya memberi hukuman 3 atau 4 tahun kepada koruptor. Hukuman yang ringan tersebut masih bisa dipotong dengan remisi dan pembebasan bersyarat. Sejak 2007 hingga awal Desember 2011, terdapat 1.767 koruptor yang mendapatkan remisi dan pembebasan bersyarat.
Hukuman yang ringan ditambah dengan fasilitas remisi dan pembebasan bersyarat telah memanjakan koruptor di negeri ini. Mereka tak pernah benar-benar merasa jera. Karenanya, hak remisi patut ditinjau kembali. Minimal saat ini, pengetatan pemberian remisi harus tetap dilakukan pemerintah dan kita berharap MA menolak permohonan judicial review untuk membatalkan PP 99/2012.***

Hak-Hak Narapidana

Hak-Hak Narapidana
OC Kaligis ;   Guru Besar Hukum Pidana Universitas Negeri Manado
SUARA KARYA, 25 Juli 2013



Undang-Undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) sudah jelas merumuskan HAM. Dalam undang-undang itu ada sejumlah hak yang tidak dapat dicabut atau dihilangkan, seperti kebebasan berbicara dan berpendapat, kebebasan beragama dan berkeyakinan, kebebasan berserikat dan hak untuk mendapatkan perlindungan yang sama di depan hukum. Pengingkaran terhadap HAM berarti mengingkari martabat kemanusiaan. Oleh karena itu, negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang mengemban kewajiban untuk mengakui dan melindungi HAM tanpa kecuali.

Rekognisi dan perlindungan HAM diberikan kepada setiap individu tanpa melihat dan membedakan latar belakangnya. Konsekuensinya, setiap orang memiliki hak untuk diperlakukan sama di hadapan hukum sebagaimana diuraikan dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 28 huruf D ayat (1) UUD 1945.

Narapidana adalah orang yang secara hukum dirampas hak kemerdekaannya, namun sah karena berdasarkan hukum dan aturan undang-undang (UU). Meski dirampas kemerdekaannya, narapidana tetap mempunyai hak minimal yang harus tetap dipenuhi. Misalnya, hak untuk memperoleh akses kesehatan, makanan, dan fasilitas yang memadai. Juga, hak spiritual untuk beribadah dan berkomunikasi ke luar pada waktu tertentu. Selain itu, ada hak lain yang merupakan wujud dari edukasi sebagai perbaikan mentalitas dari para napi, yaitu memperoleh remisi dan bebas bersyarat.

Remisi dan pembebasan bersyarat merupakan bagian edukasi bagi para narapidana jika mereka berkelakuan baik. Apalagi, undang-undang juga menjamin hak untuk mendapat remisi sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat (1) UU No 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.

Lahirnya UU No 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan diadopsi dari ketentuan-ketentuan hukum internasional. Antara lain, ketentuan dari PBB, yakni Standard Minimum Rules for the Treatment for the Prisoners, 30 Agustus 1955 serta Basic Principles for the Treatment of Prisoners, 14 Desember 1990.

Dalam Basic Principles for the Treatment of Prisoners disebutkan bahwa semua narapidana harus diperlakukan dengan rasa penghormatan yang tinggi karena martabat yang melekat dan nilainya sebagai manusia. Selanjutnya disebutkan bahwa tidak akan ada diskriminasi atas dasar ras, warna, jenis kelamin, bahasa, agama, pendapat opini atau pendapat lainnya, asal-usul nasional atau sosial, kekayaan atau status lainnya.

Maka, PP No 99/2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan merupakan suatu bentuk diskriminasi karena narapidana tidak dapat menikmati haknya sebagaimana dijamin oleh UU No 12/1995. Di sisi lain, banyak narapidana telah menikmati pengurangan masa hukuman, asimilasi, dan pembebasan bersyarat sebelum dikeluarkannya PP No 99/2012 tersebut.

Pemerintah perlu menyempurnakan PP No 99/2012 sehingga tidak bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28 huruf D ayat (1) dan Pasal 28 huruf I ayat (1) UUD 1945, UU No 30 Tahun 1999, Pasal 14 dan 15 KUHP, Basic Principles for the Treatment of Prisoner dan UU No 12/1995.***

Pengetatan Remisi dan Pembebasan Bersyarat

Pengetatan Remisi dan Pembebasan Bersyarat
Eddy OS Hiariej ; Guru Besar Hukum Pidana 
Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada
KOMPAS, 26 Juli 2013



Di harian ini edisi 12 November 2011, saya menulis artikel dengan judul, ”Kontroversi Moratorium Remisi”. Dalam artikel tersebut saya menyatakan jika moratorium diartikan sebagai penghentian sementara remisi dan pembebasan bersyarat kepada narapidana korupsi, hal ini jelas bertentangan dengan hak asasi manusia.

Akan tetapi, jika yang dimaksud oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia dengan moratorium adalah pengetatan persyaratan remisi dan pembebasan bersyarat narapidana korupsi, haruslah didasarkan pada aturan tertulis dan parameter yang jelas sehingga kebijakan tersebut tidak disalahgunakan.

Saat ini kontroversi terhadap pengetatan persyaratan remisi dan pembebasan bersyarat narapidana korupsi, terorisme, narkotika-psikotropika, kejahatan terhadap keamanan negara, kejahatan HAM yang berat dan kejahatan transnasional terorganisasi lainnya kembali mengemuka menyusul permohonan uji materi ke Mahkamah Agung terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Tata Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan yang memuat pengetatan tersebut.

Peraturan pemerintah a quo dianggap bertentangan dengan undang-undang pemasyarakatan dan undang-undang HAM. Inti dari permohonan uji materi tersebut adalah pengetatan remisi dan pembebasan bersyarat tidak dibenarkan karena remisi dan pembebasan bersyarat adalah hak setiap narapidana tanpa adanya pembedaan tindak pidana yang dilakukan.

Beberapa catatan
Terkait substansi permohonan ini, ada beberapa hal yang perlu dijelaskan. Pertama, remisi adalah hadiah yang diberikan kepada narapidana berupa pengurangan hukuman saat hari raya keagamaan atau hari ulang tahun kemerdekaan. Adapun pembebasan bersyarat adalah hak narapidana yang telah menjalani dua pertiga dari lamanya pidana penjara yang dijatuhkan yang sekurang-kurangnya 9 bulan.

Secara eksplisit Pasal 15 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana mengatur pembebasan bersyarat yang menyatakan, ”Jika terpidana telah menjalani dua pertiga dari lamanya pidana penjara yang dijatuhkan kepadanya, yang sekurang-kurangnya harus sembilan bulan, maka kepadanya dapat diberikan pembebasan bersyarat. Jika terpidana harus menjalani beberapa pidana berturut-turut, pidana itu dianggap sebagai satu pidana”.

Kedua, kendati remisi dan pembebasan bersyarat adalah hak setiap narapidana, tidak serta-merta setiap narapidana harus mendapatkannya. Hal ini tergantung apakah narapidana selama menjalankan proses pemasyarakatan berkelakuan baik ataukah tidak. Oleh karena itu, kewenangan untuk memberikan hak tersebut ada pada negara yang dalam hal ini adalah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia berdasarkan penilaian terhadap narapidana yang bersangkutan selama menjalani proses pemasyarakatan.

Konstruksi Pasal 15 Ayat (1) KUHP sebagaimana disebut di atas telah mengisyaratkan bahwa pembebasan bersyarat dapat diberikan setelah menjalani dua pertiga masa hukuman atau sekurang-kurangnya sembilan bulan. Adanya kata dapat, menunjukkan bahwa ketentuan tersebut bersifat fakultatif dan bukan imperatif.

Ketiga, dalam konteks teori, Charles F Abel dan Frank H Marsh dalam Punishment and Restitution: A Restitutionary Approach to Crime and the Criminal mengemukakan bahwa hukuman diterapkan hanya kepada pelaku kejahatan sesuai dengan tingkat kejahatan yang dilakukannya. Hukuman yang dimaksudkan di sini tidak hanya sebatas pidana penjara yang harus dijalankan atau denda yang harus dibayarkan, tetapi juga termasuk perlakuan dalam pengertian pemberian hak-hak narapidana disesuaikan dengan tingkat kejahatan yang dilakukan.

Keempat, merujuk pada apa yang dikemukakan Abel dan Marsh, jika dikaitkan dengan peraturan pemerintah a quo yang pada hakikatnya memperketat pemberian remisi dan pembebasan bersyarat sudahlah tepat.

Pengetatan tersebut hanya ditujukan terhadap kejahatan korupsi, terorisme, narkotika, dan pelanggaran berat HAM yang notabene adalah extraordinary crime. Kejahatan-kejahatan tersebut bertaraf internasional yang memiliki karakter terstruktur, sistematis, dan masif. Dengan demikian, peraturan pemerintah a quo memiliki alasan rasional yang didukung secara teoretis.

Kelima, peraturan pemerintah a quo memuat persyaratan dan parameter yang jelas terkait pengetatan tersebut agar tidak disalahgunakan. Pengetatan tersebut sangat dimungkinkan sebagai efek jera dan tidak melanggar hak asasi manusia. Tegasnya, tidak ada yang salah dengan pengetatan tersebut sebagaimana dimaksud dalam peraturan pemerintah a quo. ***

Dilema Pembiayaan Partai

Dilema Pembiayaan Partai
Arya Budi  ;   Peneliti Pol-Tracking Institute
KORAN TEMPO, 25 Juli 2013



Kasus daging sapi PKS adalah contoh paling mudah dan tampak untuk mengkonfirmasi model pembiayaan seperti ini, karena adanya pengusaha yang akhirnya menjadi pemasok dana partai (Tempo edisi 20-26 Mei) akibat kepentingannya terhadap kebijakan impor di Kementerian Pertanian yang "dipegang" PKS.

"Money is the mother's milk of politics", begitulah kata Jesse Unruh, politikus California, pada 1960-an. Analogi Unruh ingin menunjukkan bahwa, dalam tatanan demokrasi kepartaian, uang adalah keniscayaan dalam politik. Barangkali analogi ini pula yang menjelaskan korupsi politik tersimpul "berpangkal dan bermuara" pada lembaga kepartaian kita. Kasus yang menjerat petinggi teras partai, seperti kasus Hambalang di Partai Demokrat, atau kasus impor daging sapi di PKS, mungkin bukan sekadar individual greedy atau soal keserakahan politikus, melainkan lebih sebagai bentuk fund-raising yang menjadi "agenda" partai, atau faksi dalam partai.

Padahal uang hanyalah satu dari empat sumber daya organisasi kepartaian, sekalipun uang juga telah lama menjadi tracer element (elemen penjejak)-Herbert Alexander, 1980-tentang bagaimana kekuasaan dikelola. Uang adalah sumber daya yang hanya bekerja di ranah operasional, sementara tiga sumber daya partai lainnya justru bekerja di ranah survival partai (ideologi), ranah pengelolaan faksional (pemimpin karismatik), dan ranah elektoral (anggota atau kader partai).

Khalayak publik, apalagi para kader dan simpatisan partai, mungkin tak akan membayangkan bahwa PKS, dengan institu­tional branding sebagai partai dakwah dan partai bersih, akhirnya masuk ke jebakan pembiayaan partai. Memang ada dua pola strategi fund-raising yang jamak terjadi pada partai-partai baik di negara demokratis maupun negara demokrasi-baru seperti Indonesia. Pertama adalah plutocratic income meminjam istilah Gidlund (1983) yang akhirnya menjebak PKS untuk harus berhadap-hadapan dengan KPK terkait dengan kasus impor daging sapi. Sederhananya, pemasukan plutokratik melibatkan "donor" kaya seperti perusahaan yang berkepentingan terhadap proyek negara yang berada di bawah kendali "kader" partai dalam pembiayaan partai.

Pembiayaan partai bisa meliputi baik agenda elektoral, seperti kandidasi eksekutif dan legislatif, kampanye, atau pemungutan suara, maupun agenda organisasional (kongres, musyawarah, pemilihan ketua partai, dan lain-lain). Plutocratic income seperti ini telah jamak menjadi mekanisme keuangan partai di Indonesia. Kasus daging sapi PKS adalah contoh paling mudah dan tampak untuk mengkonfirmasi model pembiayaan seperti ini, karena adanya pengusaha yang akhirnya menjadi pemasok dana partai (Tempo, edisi 20-26 Mei) akibat kepentingannya terhadap kebijakan impor di Kementerian Pertanian yang "dipegang" PKS.

Kedua adalah bentuk pembiayaan income of office spoils (pemasukan hasil "rampasan jabatan"). Kasus Hambalang yang juga menjerat orang-orang teras di PD adalah contoh nyata bagaimana penguasaan kursi eksekutif di kementerian dan perolehan suara terbanyak di parlemen digunakan untuk menggerakkan mekanisme pembiayaan seperti ini. Walaupun uang mengalir melalui kanal faksi dan personal untuk kebutuhan Kongres Partai pada 2010, dana "rampasan" tersebut jelas berkontribusi pada pembiayaan partai secara tak langsung. Kedua model pembiayaan partai ini terjadi karena tiga pemasukan regular partai tidak cukup untuk memutar roda organisasi partai, apalagi memompa elektabilitas menjelang pemilu.

Pola umumnya, pembiayaan partai dengan arus masuk dana yang besar terletak pada pemimpin teras partai. Sebagai misal, dalam korupsi di tiga partai beberapa bulan terakhir "Demokrat, Golkar, dan PKS" semua kasus tersimpul pada pucuk tertinggi kebijakan perputaran uang partai: Nazaruddin (Bendahara Umum PD) yang sudah menjadi terdakwa, Setya Novanto (Bendahara Umum Golkar) sekalipun baru disebut, dan Luthfi Hasan Ishaaq (Presiden dan mantan Bendahara Umum PKS).

Memang, kini terjadi pencairan representasi sosial oleh parpol, terutama 12 partai politik peserta pemilu. Semua partai mengklaim sebagai partai rakyat. Akibatnya, hampir semua partai menjadi semacam catch-all partai sejak runtuhnya Soeharto (Riswanda Imawan, 2004). Namun Indonesia sebenarnya masih percaya pada teori klasik demokrasi konsosiasional Arend Lijphart (1969) bahwa sistem kepartaian sebuah negara adalah refleksi pembilahan sosial yang ada dalam masyarakat. Partai di Indonesia tetap merefleksikan eksistensi kelompok sosial masjid dan gereja, nasionalis dan "abangan" (Geertz, 1983), santri perkotaan dan santri pedesaan (Yon Machmudi, 2008), petani dan buruh, atau para pengusaha plus borjuasi kantoran.

Artinya, ada dua diskursus yang muncul dalam pembiayaan partai. Pertama, pembiayaan total partai oleh negara. Sebagai misal, dari 111 negara (Afrika, Asia, Eropa, Amerika) dengan partai jamak atau non-single party country, tidak termasuk Indonesia, paling tidak ada 65 negara (59 persen) yang sudah mempunyai regulasi pembiayaan partai oleh negara (Austin dan Tjerstrøm (ed.), 2003). Bahkan kampanye kandidat di Prancis pun dibiayai negara (Karl-Heinz Nassmacher, 2003). Namun kita juga harus jujur bahwa pembiayaan partai oleh negara berpotensi dapat mengaburkan fungsi linkage partai politik, karena partai akhirnya bertanggung jawab kepada negara. Publik-pemilih hanya dihitung sebagai suara, karena tuntutan dan dukungan tidak terartikulasikan dalam program partai akibat partai hidup dari negara, bukan dari publik (baca: kader dan konstituen). Partai akan kabur apakah sebagai lembaga intermediary atau selayak auxiliary state institution seperti komisi negara dan lembaga-berbiaya-negara lain yang bersifat ad hoc. Atau partai politik bagian dari negara karena ada pemerintahan yang mengatur pemasukan partai secara total?

Kedua, jika partai politik dibiayai publik baik secara kolektif maupun individual, atau secara institusional ataupun kultural, partai akan mempertanggungjawabkan diri pada konstituen, anggota, dan kadernya. Penguatan pembiayaan partai secara mandiri ini akan memperkuat fungsi linkage bagi partai politik. Bentuk konkret dari pembiayaan mandiri ini adalah party enterprise atau badan usaha milik partai yang dikelola sebagai bagian sayap organisasi bisnis partai. Pembiayaan seperti ini pun rawan dengan malpraktek pengorganisasian partai. Akhirnya, orang masuk partai atau menjadi bagian dari partai (anggota/kader) adalah lebih pada soal lapangan kerja, gaji, dan untung-rugi.

Lepas dari dilema pilihan-pilihan pembiayaan partai, pelembagaan biaya politik paling tidak mendarat pada dua hal: larangan (bans) dan batasan (limits), terhadap item-item pembiayaan politik. Dengan demikian, hal yang perlu dilakukan adalah pengetatan regulasi soal pembiayaan partai, seperti kampanye, penerimaan, pengelolaan, pembelanjaan, dan public disclosure lainnya. Atau, seperti di Amerika soal hard money dan soft money dalam pembiayaan kampanye. Akhirnya, undang-undang paket politik "regulasi soal parpol, KPU, pemilu legislatif, dan pemilu presiden" di Indonesia, yang hanya mengatur suara dan kursi, juga perlu mengatur uang dan utang secara lebih spesifik dan holistik.***

Dari Taman Bermain Menuju Kawin Paksa Presidensial

Dari Taman Bermain
Menuju Kawin Paksa Presidensial
Andi Irmanputra Sidin ;  Pakar Hukum Tata Negara
MEDIA INDONESIA, 15 Juli 2013




PERDEBATAN urgensi perubahan Undang-Undang (UU) No 42/2008 tentang Pemilihan Umum Presiden (Pilpres) muncul ke permukaan, khususnya menyangkut ambang batas parpol dan/atau gabungan parpol untuk mengusulkan pasangan calon presiden (capres). Seperti diketahui bahwa pasangan calon diusulkan oleh partai politik (parpol) atau gabungan parpol peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% dari suara sah nasional dalam pemilu DPR (Pasal 9 UU Pilpres).

Sayangnya, mayoritas parpol kurang bergairah untuk merevisinya. Hal demikian bisa dipahami. Ketika meneropong urgensi tersebut dalam kacamata politik (kepentingan pragmatis), perdebatan revisi ini menjadi tidak menarik. Cara yang paling ampuh menghentikan perdebatan tersebut ialah memakai cara malas dengan menyandarkannya pada sebuahnya pada sebuah realitas politik kekinian. Hal itu tidak bisa disalahkan, tapi juga tidak bisa dibenarkan.

Wacana ambang batas presidensial selama ini selalu dihubungkan guna menguatkan sistem presidensial sehingga ambang batas minimal 20% dianggap batas bawah penguatan sistem presidensial. Padahal, ambang batas presidensial sesungguhnya tidak berkorelasi dengan penguatan presidensial. Namun, ambang batas itu sesungguhnya akibat dari `taman bermain' bagi parpol di DPR yang memang dihadirkan oleh konstitusi kita bahwa tata cara pemilihan presiden dan wakil presiden lebih lanjut diatur dalam UU (Pasal 6A ayat 5 UUD 1945). `Taman bermain' ini bisa menghasilkan ketentuan konstruktif, tapi bisa jadi juga destruktif, bergantung pada spiritnya.

Otoritas presiden
Jika membandingkan dengan kekuasaan presidensial negara lain yang sering menjadi rujukan, Indonesia pascaperubahan UUD 1945 sesungguhnya termasuk sangat kuat. Sebagai perbandingan, presiden dalam membentuk kabinetnya memiliki hak prerogatif mengangkat dan memberhentikan penjabat menteri termasuk jaksa agung dan tidak membutuhkan pertimbangan apalagi persetujuan DPR atau DPD. Berbeda dengan negara lain, presiden dalam mengangkat menteri-menterinya, termasuk jaksa agung, membutuhkan pertimbangan bahkan persetujuan parlemen atau senatnya.

Dalam bidang kekuasaan legislatif, presiden memiliki kuasa untuk `menguntit' ke mana pun DPR dan DPD membahas sebuah rancangan undang undang (RUU). DPR dan DPD tidak bisa menyetujui sebuah RUU menjadi UU jika pembahasan tidak dihadiri presiden. Otoritas seperti itu tidak dimiliki presiden di beberapa negara yang sering dijadikan rujukan. Biasanya presiden hanya memiliki hak veto terhadap sebuah UU yang sudah disetujui parlemen, tetapi hak veto itu pun bisa dianulir oleh parlemen dalam kuorum tertentu.

Sementara itu di Indonesia, selain presiden ikut membahas, jika salah satu atau keseluruhan materi, muatan, ayat, atau pasal atau bagian dari RUU yang sedang dibahas tidak disetujui presiden, RUU tersebut tidak bisa disetujui DPR menjadi sebuah UU untuk disahkan presiden.

Hal yang paling sering menjadi paranoia dalam presidensial kita ialah mengenai pemberhentian presiden/wakil presiden, yang sering kali masih dibayangi trauma proses pemberhentian Soekarno hingga Gus Dur oleh MPR. Memang konstitusi dulu, presiden selaku mandataris MPR yang bekerja untuk dan atas nama MPR bisa diberhentikan di tengah jalan cukup dengan `asumsi politik', yaitu melanggar konstitusi dan GBHN. Asumsi politik itu tidak perlu mendapatkan verifikasi konstitusional terlebih dahulu.

Namun, setelah perubahan UUD 1945, presiden harus terbukti secara konstitusional di Mahkamah Konstitusi (MK) telah melakukan pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, hingga tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden/wakil presiden baru, kemudian bisa diberhentikan oleh MPR. Jadi meski 100% anggota DPR yang notabene juga anggota MPR ingin memberhentikan presiden karena sudah berbeda diametral haluan politik, DPR harus mendakwa presiden terlebih dahulu dan membuktikannya di MK.

Jadi, sistem presidensial kita sesungguhnya sudah sangat kuat. Menaikkan di atas 25% atau menurun 25% atau menurun kan ambang batas hingga titik 0% pengusulan pa sangan capres oleh parpol (cukup terdaftar sebagai peserta pemilu) tidak korelatif, harus dihubungkan dengan penguatan sistem penguatan sistem presidensial.

Peran parpol

Parpol sesungguhnya satu satunya organisasi yang memiliki hak istimewa yang diberikan konstitusi untuk mengusulkan pasangan capres (constitutional privelege). Organisasi lainnya yang sudah hadir bahkan sebelum kemerdekaan, seperti NU dan Muhammadiyah yang jasanya akan NKRI tidak diragukan, bahkan tidak diberi hak keistimewaan itu untuk mengusulkan pasangan capres.

Bahasa positifnya, rakyat sangat memercayai parpol untuk menjadi produsen kepemimpinan negara karena parpol dianggap organisasi yang paling profesional untuk itu. Namun dalam bahasa agak negatif, parpol berhasil membajak rekrutmen kepemimpinan negara pada tingkat konstitusi sehingga pengusulan capres dari jalur lain sulit untuk dibuka.

Apa pun bahasanya, apakah itu positif atau negatif, tidak menjadi penting dalam realitas ketatanegaraan kita saat ini. Yang diinginkan ialah dalam dua periode rekrutmen kepemimpinan nasional ini, ada kecenderungan parpol terjebak oleh sistem yang mereka ciptakan sendiri dalam UU sebagai akibat `taman bermain' tersebut. Fenomena `kawin paksa' di antara parpol dalam pengusulan pasangan capres terjadi, padahal mereka belum tentu `saling cinta'. Celakanya, hal itu berimplikasi pada hak-hak rakyat untuk mendapatkan pilihan lebih banyak dalam menentukan calon pemimpin.

Selama ini parpol peserta pemilu sepakat untuk membuat aturan main dan menyerahkan hak istimewa mereka sebagai parpol yang berhak mengusulkan pasangan capres. Parpol sepakat bahwa jika sebagai parpol peserta pemilu yang ingin secara sendiri-sendiri mengusulkan pasangan capres, parpol tersebut harus memenuhi ambang batas perolehan minimal 20% dari jumlah kursi DPR atau 25% perolehan suara sah nasional dalam Pemilu DPR. Alasan akademis yang sering dipakai dan paling ampuh untuk mengecoh ialah guna penguatan presidensial. Padahal sesungguhnya, sekali lagi, hal itu tidak korelatif dan linear.

Namun yang pasti, ambang batas yang berlaku selama ini bukanlah tergolong perbuatan `tak senonoh' menurut konstitusi. Ada keadaan pascadua periode pemilu langsung presiden, rakyat harus dibahasakan dengan bahasa yang mudah dicerna mengenai ambang batas presidensial tersebut.

Bahasa yang mudah dicerna bahwa kalau ambang batas 20%, rakyat hanya disuguhi menu prasmanan pasangan capres pada pemilu nanti maksimal lima macam menu (pasangan capres). Kalau ambang batasnya diturunkan hingga lebih rendah, mungkin titik 0% (cukup terdaftar sebagai peserta pemilu), menu yang disajikan memungkinkan hingga 12 macam menu (pasangan capres) dari 12 peserta pemilu legislatif saat ini.

Oleh karenanya, jika wacana tersebut dibawa ke perdebatan hak istimewa parpol dalam mengusulkan pasangan capres, akan terjadi eksklusivitas perdebatan di antara parpol itu sendiri. Yang pasti ruang dialektika sesungguhnya ialah kalkulasi politik atau kekuasaan di antara parpol itu sendiri yang bisa jadi atmosfernya adalah saling jegal di antara mereka sendiri. Namun yang pasti, dialektika publiknya tidak akan sevulgar itu, tetapi akan menggunakan isu yang lebih mudah mengecoh, yaitu penguatan presidensial.
Padahal, esensi perdebatan ambang batas ini sesungguhnya bukan hak parpol, melainkan yang utama ialah hak rakyat untuk memilih dari menu prasmanan yang bakal disajikan parpol di pemilu presiden mendatang.

Oleh karenanya, isu ambang batas presidensial jangan terburu-buru ditutup di DPR. Lemparkanlah ke rakyat hingga beberapa waktu ke depan. Jika rakyat memang lebih menginginkan sedikit menu prasmanan karena produknya dijamin berkualitas dan bergaransi pada pilpres nantinya, atau setidaknya rakyat ternyata masih menyukai menu yang itu-itu saja seperti pemilu ke marin, ambang batas presidensial tidak urgen untuk diubah.

Namun kalau rakyat menginginkan ada menu baru dan pilihan lebih variatif karena rakyat sudah sadar tidak ingin dipaksa mencicipi menu yang dipaksakan di antara parpol itu sendiri, parpol harus legowo memenuhi kehendak rakyat untuk merevisi ambang batas itu.

Semua bergantung pada ketersadaran rakyat akan hak konstitusional sebagai pemilik kedaulatan. Yang pasti, bandul tersebut berada pada kearifan parpol dalam mendesain demokrasi konstitusional kita, apakah lebih senang berjudi dalam `kawin paksa' pasangan capres, atau melakukan purifikasi akan hak keistimewaan mereka sebagai pemilik hak secara sendiri dalam mengusulkan pasangan capres yang diberikan langsung oleh konstitusi?***

Gorontalo dan Transformasi Ramadhan Melalui Tradisi Tumbilotohe


Gorontalo dan Transformasi 
Ramadhan Melalui Tradisi Tumbilotohe
  Damang Averroes Al-Khawarizmi;   Mantan Tenaga Pengajar 
di Salah Satu PTS Gorontalo  
Gorontalo Post, 31Juli 2013


 
Setahun lalu sejak saya masih tinggal di Gorontalo dan berprofesi sebagai dosen di sana. Di Salah satu PTS Gorontalo. Ada sebuah peristiwa menarik yang rugi dan tidak boleh terlewatkan kiranya untuk dituliskan.

Peristiwa itu bersamaan dengan momentum bulan suci ramadhan pada tiga hari yang tersisa di puncak akhir ramadhan. Biasanya pada hari kedua puluh tuju ramadhan. Inilah yang disebut tradisi Tumbilotohe.

Tumbilotohe dalam bahasa Gorontalo terdiri dari dua suku kata yaitu Tumbilo berarti pasang, dan Tobe berarti lampu. Dengan demikian Tumbilotohe adalah acara pasang lampu.

Dalam telaah history, Tumbilotohe merupakan tradisi masyarakat lampau yang sudah berlangsung sejak abad ke 15 M. Meski pada awalnya tradisi Tumbilotohe hanya ditujukan untuk membantu masyarakat Gorontalo yang akan menuju mesjid pada malam hari, sehingga dibantu dengan penerangan lampu minyak yang dinyalakan tiap masyarakat Gorontalo di depan rumah mereka.

Mari kita bandingkan dengan tradisi bunyi bercun dan ledakan petasan di malam hari. Ketika shalat Tarawih sedang berlangsung di mesjid. Dan rata-rata tradisi bunyi bercun dan petasan dilakukan oleh anak-anak muda kita.

Tentu berbeda makna otentitas dan hikmat yang melekat dalam kedua tradisi itu. Misalnya ledakan petasan mesti menciptakan warna-warni pelangi, namun hal itu akan menciptakan kebisingan suara, bagi warga yang sedang melaksanakan shalat tarawih ataukah warga yang sudah tidur terlelap di malam hari. Mereka akan merasa terganggu dengan bunyi dentumannya. Apalagi suara bercun yang memang hanya dapat menimbulkan suara yang menggelagar, tidak ada keindahan yang sama sekali diciptakannya. Hanya bisa memekakan telinga. Entah unsur estetik apa yang dihasilkannya dari alat tersebut, di saat harga minyak tanah melambung tinggi. Tetap banyak orang yang menggunakannya sebagai bahan bakar bercun.

Maka jauh berbeda dengan kebiasaan masyarakat Gorontalo merayakan bulan suci ramadhan. Mereka menciptakan keindahan eksotik tersendiri, tanpa merugikan masyarakat sekitarnya dengan memasang bola lampu kecil di depan rumah mereka. Bahkan kesan itu lebih menarik lagi ketika malam idul fitri, kombinasi ucapan selamat hari raya idul fitri dilukis dalam wajah lampu yang temaran. Inilah yang dimaksud oleh penulis, tradisi yang dapat menggugah batin hingga melahirkan pengalaman teologis, mengalir secara emprik.

Gorontalo Sebuah Antitesa
Karena itu, hemat penulis lebih besar mudharatnya sekiranya. Jika kita melihat di kampung seberang sana. Gorontalo, negeri serambi Madinah, sebuah negeri yang menciptakan antitesa.

Kenapa saya mengatakan masyarakat penuh antitesa? Alasannya adalah negeri tersebut sebanding antara masyarakatnya yang religius (sebagian besar merupakan warga NU) dan masyarakatnya yang nonreligius. Meski kebiasaan pengklasifikasian masyarakat nonreligius ini tidak Nampak pada bulan ramadhan. Oleh karena semua tempat prostitusi dan market penjual minuman keras ditutup rapat. Tapi kita tidak bisa menafikan Gorontalo juga adalah masyarakat paling kuat tradisi islamnya dalam mempertahankan perayaan Isra Mi’raj, serta perayaan Maulid Nabiullah SAW. Sehingga tak pelaklah, jika dikatakan potensi Gorontalo untuk membangun bibit generasi mudanya, dalam membina masyarakat yang religius dan berinsani, tetap terbuka peluang itu. Sederhananya hidup itu penuh pilihan. Pilihan yang baik atau pilihan yang buruk.

Kesan Empirik Tumbilotohe
Kembali pada tema tulisan ini, Tradisi Tumbilotoho sebagai tradisi yang pernah memecahkan rekor muri pada tahun 2007. Di provinsi itu telah tercipta jumlah hingga 5000 balon lampu pasang yang diciptakan dalam berbagai model dan ornament yang berbeda.

Kesan saya, ketika masih tinggal di Gorontalo. Pemandangan menarik ini tidak hanya dipersepsikan sebagai tradisi yang lahir begitu saja. Untuk menciptakan nuansa eksotik di halaman depan rumah saja. Lebih dari itu efek batin yang muncul dalam pribadi ummat islam untuk merasakan puncak spiritual terdokumentasi dalam sebuah tradisi simbolik.

Ketika Tuhan dimaknai menghadirkan rahmat dan syafaatnya dimana-dimana. Disaat perbuatan baik diganjar dengan pahala yang berlipat-lipat. Membaca ayat suci Al’qur’an melebihi kekuatan amalnya dibandingkan bulan-bulan lain-lainya. Tentu tidak jauh berbeda dengan tradisi Tumbilotohe, bola lampu yang dipasang berjejer di tiap pagar-pagar rumah tersebut.

Ibarat napak tilas kemenangan dari sebulan melatih diri dan fisik kita “diperbudak” oleh kepentingan syahwat dunia semata. Padahal jiwa kita juga pada intinya memiliki tempat untuk bersandar pada dirinya (an sich). Tradisi Tumbilotohe telah mengejawantahkan pesan “empiric” kemenangan yang diraih selama sebulan penuh.

Indahnya islam, indahnya bulan suci ramadhan tidak hanya monopoli dan kuasa personal saja. Tetapi telah mengalir dalam kebersamaan, merangkai bola lampu indah yang berjejer dalam tampilan yang eksotik. Pesan ketuhanannya, menyatunya Tuhan dengan hamba-Nya sebagai pengalaman yang cukup menarik telah mewujud secara nyata.

Transformasi Ramadhan
Memenuhi kewajiban puasa di saat bulan ramadhan dalam konteks di atas. Terkait dengan tradisi Tumbilotohe, kewajiban puasa bukanlah sekedar dengan tidak makan dan minum di siang hari, melaksanakan rutinitas shalat tarawih atau semalam suntuk berdoa dan bertafaqur. Namun melupakan pesan otentik yang hadir dalam sebulan penuh itu.

Maksud Allah mewahyukan ajaran puasa ialah agar manusia terbebaskan dari segala yang bendawi dan ego personal. Di puncak inilah terletak makna dan tujuan seta fungsi otentik hakiki ibadah puasa sebagai ajaran yang mengutamakan kepasrahan. Ayat pertama wahyu Tuhan kepada Nabiullah Muhammad SAW yang diturunkan pada bulan ramadhan ialah iqra atau membaca dan menganalisis kejadian manusia dan alam duniawi.

Pembacaan ritual teologis yang dilakukan secara kritis akan mengantarkan manusia pada pengalaman empirik baik yang disebut spiritual ruhaniah atau yang metafisik mengandung kegaiban. Semua ritual suci di bulan ramadhan ini, transformasinya adalah membuminya pesan ketuhanan menjalankan semua ritual suci itu. Tuhan tidak hanya hadir dalam pribadi kita, dalam pengalaman personal saja. Tetapi telah bertransformasi dalam wujud nyata artistik yang melekat dalam ornament Tumbilotohe.

Tuhan hadir di tengah-tengah kita. Melaksanakan bulan ramadhan tidaklah kita merugi karena hanya mendapat lapar dan dahaga. Melalui tradisi pemasangan bola lampu yang berkedip dengan nyala warna kuning. Tuhan dan para malaikatnya tidak pernah berhenti menyiratkan nikmat kuasa ke semua hamba-Nya di muka bumi ini. Bahwa posisi Allah lebh dekat dengan manusia dibanding urat nadinya pada ranah tersebut. Telah Nampak dalam sebuah tradisi kecil. Sebagaimana maksud pernyataan hadits “barang siapa memahami jati dirinya maka ia akan mengenal Tuhannya (man arofa nafsahu faqad arofa rabbahu).

Seraya terus memuji dan melantunkan rasa syukur, dengan tradisi Tumbilotohe. Mari kita memetik hikmah dan syafaat dari semuanya. Sebelum kita meraih kemengan yang tiada taranya, sebuah hari agung nan suci. Itulah idul fitri. Selamat Mengarungi Transformasi Ramadhan, samudera spiritual kemanusiaan Ilahi.***

Hak Napi dan Semangat Antikorupsi

 Hak Napi dan Semangat Antikorupsi
Zamrony  ;  Mantan Asisten Satgas Pemberantasan Mafia Hukum
KORAN SINDO, 31 Juli 2013
 


 
Alhamdulillah, Profesor Romli Atmasasmita berkenan menanggapi tulisan saya dengan mengusung judul “Hak Napi Bukan HAM, tapi Napi Bukan Binatang?” (25/7).

Pilihan judul yang cenderung provokatif itu justru menjadi suplemen semangat untuk membantah argumen Profesor. Seperti juga sebelumnya, tulisan ini murni pendapat saya pribadi. Bahkan tak satu titik-koma pun ada titipan dari pimpinan Satgas. Profesor mengawali tulisan dengan mengklaim perannya ketika menyusun berbagai RUU antikorupsi, sembari mengatakan tak satu kali pun bertemu muka dengan saya dalam forum.

Profesor salah satu kampiun hukum pidana paling ternama di negeri ini. Saya tak ragu, utamanya setelah menyimak sendiri kejeniusan Profesor dalam satu sesi diskusi kecil terkait RUU Perampasan Aset di debating room Fakultas Hukum UGM. Mungkin saya bukan siapasiapa, saya hanyalah anak muda “kemarin sore”.

Tetapi jangan lupa, kebenaran bukan hanya monopoli guru besar, melainkan juga bisa hadir dari siapa saja, termasuk kontribusi anak muda yang acapkali masih orisinal. Menurut plesetan Profesor Mahfud MD, makna orisinal artinya yang berpendapat bukan sesuai pendapatan dan berlogika bukan sesuai logistik. ***

Argumen hukum saya dalam tulisan pertama tak akan diulangi, tetapi penambahan argumen dalam tulisan ini satu kesatuan dengan tulisan sebelumnya. Argumen tambahan pertama saya, Profesor keliru ketika menggunakan frasa pembatasan. Yang terjadi bukan pembatasan, melainkan pengetatan melalui penambahan syarat-syarat.

Siapa pun dan berapa pun napinya, sepanjang memenuhi syarat dan tata cara tetap berhak mendapatkan remisi dan pembebasan bersyarat, tanpa ada pembatasan. Contoh sederhana, kriteria kelulusan siswa pada pelajaran Matematika minimal harus memiliki nilai 6. Sebelum ujian guru sudah menentukan jumlah murid yang lulus pelajaran Matematika sebanyak 30 orang, tidak lebih.

Ternyata dari 50 siswa yang mengikuti ujian, jumlah nilai yang melebihi 6 sebanyak 40 orang. Itu artinya, akan ada 10 orang yang harus digugurkan karena ada pembatasan yang melanggar hak siswa untuk lulus. Berbeda dengan pembatasan, pengetatan dilakukan melalui pemberatan syarat. Kriteria kelulusan siswa yang awalnya harus memiliki nilai minimal 6 lantas dinaikkan menjadi 7.

Maka itu, siapa pun dan berapa pun siswa yang mendapatkan nilai minimal 7 harus diluluskan tanpa pembatasan. Pendekatannya lebih pada syarat dan logika inilah yang juga diterapkan pada PP 99/2012 dengan menambahkan syarat pembayaran denda, uang pengganti, dan bersedia membongkar kejahatan.

Kedua, Profesor kembali keliru memaknai hak napi mendapatkan remisi menurut PP 99/2012 dalam konstruksi HAM. PP 99/2012 hanya mengatur penambahan syarat hak napi mendapat remisi dan pembebasan bersyarat (pembinaan) bagi napi kejahatan tertentu. Saya tak mengatakan napi tidak berhak atas HAM sehingga disebut Profesor sebagai binatang meskipun dengan kalimat interogatif.

Hak asasi napi sebagai manusia tetap diakui, seperti hak hidup, hak beribadah menurut kepercayaan yang dapat dinikmati tanpa ada persyaratan tertentu, dan melekat sejak napi terlahir sebagai manusia. Saya memilah antara HAM dan hak napi mendapatkan remisi dan pembebasan bersyarat sesuai UUD 1945, UU HAM, dan UU Pemasyarakatan.

Membaca PP 99/2012 tidak boleh sepotong, tetapi juga perlu melihat PP 32/1999 yang juga mengakui hak berpolitik napi (hak pilih dan menjadi anggota partai) serta hak keperdataan lainnya (vide Pasal 51). PP 99/2012 justru regulasi yang sangat humanis dan seolah meluruskan adagium bahwa hukum tajam ke bawah, tapi tumpul ke atas.

Selain pengetatan kepada napi korupsi, bandar narkoba, dan terorisme, Pasal 34C PP 99/2012 juga melonggarkan pemberian remisi napi dengan masa pidana paling lama satu tahun, berusia di atas 70 tahun, atau menderita sakit berkepanjangan. Klausul ini tentu sejalan dengan sila “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab”.

Ketiga, terkait isu diskriminasi dan pelanggaran HAM. Profesor tak perlu jauh-jauh mengutip ICCPR karena sudah terjawab dengan Pasal 12 ayat (1) UU Pemasyarakatan yang menyatakan “dalam rangka pembinaan terhadap narapidana di lapas dilakukan penggolongan atas dasar umur, jenis kelamin, lama pidana yang dijatuhkan, jenis kejahatan, dan kriteria lainnya sesuai dengan kebutuhan atau perkembangan pembinaan.

” Dengan begitu, dalil Profesor yang menyamaratakan pembinaan napi dan pemberian remisinya kembali keliru karena UU Pemasyarakatan justru memerintahkan pembedaan. Dengan pembedaan napi berdasarkan tindak pidana, kita mengenal ada lapas khusus narkotika, pengamanan maximum security, minimum security, dan pola pembinaan deradikalisasi untuk teroris. Jika digebyah uyah dan tidak dibedakan, apa kata dunia ketika napi kasus pencurian ayam juga mengikuti deradikalisasi, padahal bukan teroris.

Keempat, Profesor terjebak penafsiran keliru dan terlihat hanya “sibuk” menyoal prosedur bahwa justice collaborator tidak boleh diterapkan kepada napi. Seolah menempatkan kebenaran materiil menjadi urusan nomor sekian, padahal esensi keadilan dalam lingkup hukum pidana terletak di situ.

Profesor bersikukuh bahwa napi tidak boleh membantu pengungkapankejahatankarena seharusnya dilakukan pada tahap penyidikan dan penuntutan sesuai UNCAC. Coba dicermati, Pasal 37 ayat (2) UNCAC menggunakan frasa “shall consider providing the possibility” alias wajib mempertimbangkan untuk memberi kemungkinan. Artinya, klausul itu bersifat fakultatif dan bukan imperatif.

Di sisi lain, tulisan ini lebih fokus membangun argumen bagaimana sebuah kejahatan bisa terungkap. Tesisnya sederhana, jika terpidana membantu mengungkap kejahatan, tidak ada salahnya negara memberi reward berupa remisi seperti Vincentius Amin Sutanto yang mengungkap skandal pajak PT Asian Agri senilai Rp1,2 triliun. Toh, ada dasar hukum PP 99/2012, Peraturan Bersama, dan SEMA.

UNCAC boleh saja mengatur justice collaborator diterapkan pada tahap penyidikan dan penuntutan, itu ketentuan minimal. Namun, saya berpendapat bahwa Indonesia justru selangkah lebih progresif daripada UNCAC. Mengapa? Karena UNCAC memiliki kelemahan tidak bisa menjerat justice collaborator yang baru bersedia mengungkap kejahatan setelah hakim mengetuk palu inkracht.

Kelima, dengan segala hormat, pembaca budiman dapat mengecek sendiri inkonsistensi pendapat Profesor dulu dan sekarang. Di banyak media online tanggal 17 Agustus 2008, Profesor mengatakan, “Langkah Menkumham menghapus remisi saya dukung. Kalau perlu tidak ada remisi untuk koruptor dan penjahat-penjahat lainnya. Koruptor perlu dihukum kerja sosial. Tempatkan mereka di tempat rakyat yang menderita. Tempatkan mereka di Pasar Induk Kramat Jati untuk bersihbersih.”

Kutipan ini tentu meruntuhkan semua argumen Profesor di dua tulisan sebelumnya. Terakhir, hasil penelitian Pusat Kajian Anti Korupsi FH UGM menunjukkan pemberian remisi koruptor sebelum PP 99/2012 cenderung longgar. Simulasi PuKAT terhadap oknum jaksa penerima suap kasus BLBI Urip Tri Gunawan menyatakan bahwa apabila obral remisi umum, remisi khusus, remisi tambahan, dan pembebasan bersyarat diteruskan, pada Juli 2016 Urip sudah bisa keluar penjara dan hanya dikenakan wajib lapor.

Itu artinya, Urip hanya perlu menghuni lapas selama delapan tahun lebih, kurang dari separuh vonis hakim selama 20 tahun. Lantas di mana rasa keadilan masyarakat? Di sinilah PP 99/2012 mencoba menjawab rasa keadilan itu.***

Hak Napi Bukan HAM

Hak Napi Bukan HAM
Zamrony  ;  Mantan Asisten Satgas Pemberantasan Mafia Hukum
KORAN SINDO, 23 Juli 2013



Tulisan ahli hukum pidana, Profesor Romli Atmasasmita, di KORAN SINDO berjudul ”Hak Napi = HAM” (17/7) menarik didiskusikan. Beliau mengemukakan beberapa dalil untuk ”menchallenge” Peraturan Pemerintah Nomor 99/2012 yang mengetatkan hak napi korupsi, narkoba, dan terorisme.

Dalil pertama dikatakan bahwa hak warga binaan adalah hak asasi yang masih tersisa pada setiap warga binaan sesuai UU Pemasyarakatan dan PP 32/1999. Dalil kedua, penerapan justice collaborator belum ada dasar hukum peraturan pelaksanaannya. Dalil ketiga, PP 99/ 2012 dianggap bertentangan dengan UU pemasyarakatan karena norma baru yang bertentangan dengan UU Pemasyarakatan.

Dalil keempat, syarat justice collaborator merupakan kebijakan keliru dan tidak relevan dengan masa pembinaan warga binaan karena seharusnya bagian dari strategi penyidikan yang bertujuan membongkar organisasi kejahatan dengan kompensasi keringanan hukuman atau pembebasan dari penuntutan.
Sebenarnya empat dalil itu memiliki beberapa kemiripan dengan dalil permohonan uji materi PP 99/2012 oleh beberapa napi korupsi melalui pengacaranya, Profesor Yusril Ihza Mahendra. Akankah dalil itu kita telan bulat-bulat? Tunggu dulu.

Pendapat Berbeda

Hak asasi manusia (HAM) berbeda dengan hak napi. Apa saja jenis HAM telah dirumuskan secara detail dalam Pasal 28A-28J UUD 1945 dan UU 39/ 1999 tentang HAM misalnya hak hidup, hak atas rasa aman, dan seterusnya. Ini sangat berbeda dengan rumusan hak napi dalam Pasal 14 ayat (1) UU 12/ 1995 tentang Pemasyarakatan seperti hak mendapatkan remisi dan pembebasan bersyarat. Menyamakan HAM dengan hak napi jelas keliru.

Tidak ada pengaturan hak mendapatkan remisi dalam UUD 1945 dan UU HAM, kecuali di UU Pemasyarakatan. Pasal 14 ayat (2) UU Pemasyarakatan mengatur bahwa syarat dan tata cara untuk mendapatkannya diatur dalam peraturan pemerintah. Ada syarat dan tata cara yang wajib dipenuhi untuk bisa mendapatkannya. Jika tidak memenuhi syarat, tentu saja tidak diberikan, tidak otomatis.

Sebagai komparasi, hak hidup merupakan hak yang melekat pada setiap manusia dan tak perlu syarat mendapatnya. Ini berbeda dengan hak napi yang mewajibkan syarat sebagai reward kelakuan baik, membayar denda dan uang pengganti, serta kesediaan bekerja sama dengan penegak hukum mengungkap tindak pidana. Jika hak napi adalah HAM, untuk mendapatkannya tentu tidak memerlukan syarat.

Jika hak napi melekat pada setiap manusia, tentu bayi yang baru lahir dengan serta-merta memiliki hak mendapatkan remisi, padahal bayi bukanlah napi. Itu pendapat pertama. Pendapat kedua, justice collaborator dapat diterapkan tanpa harus menunggu peraturan pelaksanaan. Ingat, sejak 14 Desember 2011 kita sudah memiliki dasar hukum Peraturan Bersama yang ditandatangani Menkumham, Kapolri, Jaksa Agung, Ketua KPK, dan Ketua LPSK tentang perlindungan bagi pelapor, saksi pelapor, dan saksi pelaku yang bekerja sama.

Pasal 6 mengatur bahwa saksi pelaku yang bekerja sama berhak mendapatkan penghargaan berupa pemberian remisi tambahan dan hak-hak napi lainnya. Ketua Mahkamah Agung juga tidak ketinggalan dengan menerbitkan Surat Edaran No 4/2011 tentang perlakuan bagi pelapor tindak pidana (whistleblower) dan saksi pelaku yang bekerja sama (justice collaborators) di dalam perkara tindak pidana tertentu.

Jadi, dalil yang mengatakan justice collaborator tidak ada peraturan pelaksanaan tidaklah tepat. Pendapat ketiga, UU Pemasyarakatan secara jelas mendelegasikan kepada pemerintah untuk mengatur syarat dan tata cara pelaksanaan hak napi. Pemerintah berwenang mengatur sesuai politik hukum dan pilihan hukum (legal policy) baik berupa pelonggaran ataupun pengetatan remisi.

Substansi PP 99/2012 wajar saja dianggap norma ”baru” karena kita tidak menemukan pengaturan syarat pemberian remisi dalam UU Pemasyarakatan. Apakah napi dihukum ”dua kali” dengan pengetatan remisi? Tentu tidak. Sebagai contoh, jika napi divonis lima tahun penjara, ternyata harus menjalani penjara lebih dari lima tahun baru dapat dikatakan penghukuman dua kali.

Jika napi tidak mendapatkan remisi sama sekali karena tidak memenuhi syarat itu, artinya hukuman yang dijatuhkan pengadilan harus dijalani secara penuh, bukan dihukum dua kali. Pembinaan napi bukan hanya terkait pemberian remisi dan bebas bersyarat, melainkan juga pembinaan intelektualitas, religiusitas, kesehatan jasmani rohani, latihan kerja, dan produksi sesuai PP 31/1999. Lantas bagaimana mungkin membaurkan napi ke masyarakat di tengah pengetatan remisi?

Sekali lagi, pemberian remisi masih mungkin didapatkan napi, bukan dihapuskan. Sekalipun tidak mendapatkan remisi, program asimilasi (extra mural) masih mungkin dilakukan agar napi dapat berbaur dengan masyarakat. Asimilasi ini pada umumnya dilakukan napi dengan bekerja di luar lapas, pagi hari berangkat bekerja di lembaga sosial dan sore hari kembali ke lapas. Apakah seluruh napi harus mendapatkan persamaan perlakuan dan pelayanan? Tentu saja.

Tapi, bukan persamaan dalam pembinaan. Pola pembinaan koruptor harus berbeda dengan maling ayam yang mencuri karena kelaparan sehingga maling ayam lebih butuh pembinaan keterampilan kerja. Koruptor tidak butuh itu. Standard Minimum Rules for the Treatment of Prisoners hasil Kongres PBB 1955 dan diadopsi dalam UU Pemasyarakatan juga menyatakan bahwa kelas-kelas napi dan cara-cara pembinaan yang berbeda harus diadakan (angka 70 – bab hak khusus).

Pembedaan pembinaan napi bukan diskriminasi. Merujuk Pasal 1 UU HAM, diskriminasi baru terjadi jika pembedaan misalnya terkait suku, agama, dan ras. Jika semua napi dipersamakan pola pembinaannya, bagaimana dengan hak remisi napi yang divonis mati? tidak mungkin, kecuali dengan grasi. Pendapat terakhir, justice collaborator bisa dilakukan tidak hanya pada tahap penyidikan, tetapi juga tahap penuntutan (persidangan) dan tahap pelaksanaan pidana.

Reward pada tahap penuntutan dapat diberikan oleh hakim dengan menjatuhkan vonis ringan ataupun percobaan. Sudah rahasia umum, kebanyakan tersangka/ terdakwa korupsi tidak mengakui dan mati-matian membela diri karena masih berharap bisa divonis bebas. Dengan begitu, bisa jadi banyak informasi penting disembunyikan. Setelah harapan bebas ternyata berbuah vonis penjara, barulah terpidana korupsi bersedia ”blak-blakan” seraya melirik remisi sebagai alternatif pengurangan hukuman.

Ingatlah, Indonesia telah meratifikasi Konvensi PBB Menentang Korupsi yang menyatakan negara wajib mempertimbangkan berat-ringannya kejahatan pelaku ketika mempertimbangkan pembebasan bersyarat. Komitmen antikorupsi Indonesia juga pernah disorot oleh dunia internasional karena terlalu obral remisi koruptor.

Sejalan dengan itu, Perpres 55/2012 tentang Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi juga memandatkan pengetatan remisi koruptor. Akhirnya, lepas dari argumentasi yuridis formal di atas, mari dekatkan hati nurani kita kepada rasa keadilan masyarakat, bukan hanya kumpulan pasal-pasal mati karena hukum itu hidup di tengah-tengah masyarakat.***

Hak Napi = HAM

Hak Napi = HAM
Romli AtmasasmitaGuru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung
KORAN SINDO, 17 Juli 2013

Apresiasi kepada Presiden SBY patut disampaikan karena telah menegaskan tentang hak dasar napi selepas peristiwa LP Tanjung Gusta dan memerintahkan jajaran kementeriannya untuk melaksanakan dan melindungi hak dasar tersebut.

Penegasan dan perintah tersebut sejalan dengan ketentuan di dalam Kongres PBB tentang Pencegahan Kejahatan dan Perlakuan terhadap Para Pelanggar Hukum (Tahun 1955) yang telah diratifikasi dan diwujudkan dalam UU Nomor 12/1995 tentang Pemasyarakatan (UU Pemasyarakatan). Merujuk pada Bab XA UUD 1945, penegasan dan perintah Presiden SBY konsisten dengan hak-hak konstitusional setiap warga negara, termasuk tersangka, terdakwa, dan narapidana yang seharusnya dipahami secara benar oleh para pembantunya.

Jika pun ada pembatasan-pembatasan terhadap hak-hak tersebut haruslah didasarkan pada ketentuan undang-undang atau putusan pengadilan dan tidak boleh didasarkan atas ketentuan di bawah undang-undang atau hanya direktif sematamata dalam bentuk peraturan pemerintah (PP) atau peraturan menteri (permen) atau peraturan Mahkamah Agung (perma).

Hal ini telah diatur di dalam UUD 1945 (Pasal 28 J) dan UU Nomor 12/2011 tentang Pembentukan Perundangundangan, begitu pula menurut doktrin hukum perundangundangan. Terkait PP Nomor 99/2012 Perubahan Kedua atas PP Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan ada dua kekeliruan hukum, pertama, bahwa hak warga binaan sesuai namanya, adalah hak asasi yang masih tersisa pada setiap warga binaan sebagaimana telah diatur dalam UPPU Pemasyarakatan dan PP Nomor Nomor 32/1999.

PP Tahun 1999 sebagai pelaksanaan UU Pemasyarakatan 1995 telah sejalan dengan ketentuan standard minimum rules for the treatment of offenders yang merupakan hasil Kongres PBB 1955, bahkan telah sejalan dengan ketentuan BAB XA UUD 1945. Kekeliruan kedua, kebijakan pemerintah dalam PP Tahun 2012 tidak memahami makna ketentuan Pasal 28 J UUD 1945 di satu sisi.

Di sisi lain tidak memahami secara utuh substansi dan posisi ketentuan Konvensi PBB Menentang Tindak Pidana Transnasional Terorganisasi Tahun 2000 yang telah diratifikasi dengan UU Nomor 5/2009 dan ketentuan Konvensi PBB Antikorupsi Tahun 2003 yang telah diratifikasi UU Nomor 7/2006.

Kedua konvensi tersebut belum ada undang-undang pelaksanaannya kecuali untuk Protokol Larangan Perdagangan Manusia sehingga ketentuan mengenai syarat justice collaborator (JC) dalam PP Nomor 99/2012 khusus bagi narapidana korupsi dan bagi teroris sertanarapidananarkobaterlalu dini dan tidak ada landasan hukum perundangannya. Selain itu, ketentuan Konvensi PBB tersebut di atas selalu merujuk pada prinsip hukum nasional dan konstitusi Negara peratifikasi sedangkan asas legalitas termasuk asas umum hukum pidana nasional sejak lama.

Kekeliruan hukum ketiga, dari sudut hirarkhi perundangundangan, PP Nomor 99/2012 bertentangan dengan UU Pemasyarakatan 1995 karena substansinya merupakan norma baru yang bertentangan dengan filosofi, tujuan dan misi UU Pemasyarakatan 1995 itu sendiri. Jika pun dikehendaki ada pembatasan, tidak dibenarkan bertentangan dengan Pasal 28 J UUD 1945 yang menegaskan bahwa pembatasan hak asasi hanya dapat dilakukan dengan undang-undang dan tidak boleh dengan peraturan perundangan di bawahnya.

Kekeliruan hukum keempat, bahwa ketentuan memperketat syarat remisi, asimilasi dan bebas bersyarat dengan alasan tindak pidana korupsi, terorisme, narkoba telah menimbulkan kerugian besar bagi negara atau masyarakat atau korban. Kekeliruan ini menimbulkan kepanikan, kecemasan, atau ketakutan yang luar biasa kepada masyarakat sesungguhnya termasuk alasan pemberatan hukuman yang merupakan wewenang (yudikatif) majelis hakim, bukan wewenang kebijakan eksekutif.

PP Nomor 99/2012 secara teleologis dan gramatikal ternyata digunakan hanya untuk “memperpanjang masa hukuman” narapidana korupsi, terorisme dan narkoba bukan untuk menimbulkan efek jera per se.Karena persyaratan ketat dalam peraturan tersebut menambah penderitaan yang tidak perlu dan melampaui batas kemanusiaan yang diakui universal dalam perlakuan terhadap para pelanggar hukum.

Ketentuan justice collaborator sebagai syarat pemberian remisi dan bebas bersyarat terhadap pelaksanaan pidana di Indonesia jelas pelanggaran HAM dan berpotensi terjadi “pemerasan terselubung”. Kekeliruan hukum kelima, bahwa ketentuan justice collaborator dalam PP Nomor 99/2012 merupakan kebijakan keliru dan tidak relevan dengan masa pembinaan warga binaan karena syarat justice collaborator seharusnya bagian dari strategi penyidikan yang bertujuan membongkar organisasi kejahatan dengan kompensasi keringanan hukuman atau pembebasan dari penuntutan.

UU Pemasyarakatan 1995 merupakan lex specialis dari tujuan penghukuman (Pasal 10 KUHP) jo Pasal 103 KUHP sehingga tidaklah dapat ditetapkan pengaturan yang bersifat “lex specialis” lagi terhadap undang-undang yang bersifat lex specialis. Kebijakan pemerintah menetapkan PP Nomor 99/2012 adalah kewenangan eksekutif yang telah membatasi hak asasi warga binaan yang seharusnya merupakan kewenangan legislatif kecuali dilakukan perubahan terhadap UU Pemasyarakatan terlebih dulu.

Pertentangan nyata dalam suatu peraturan perundangan, apalagi terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi adalah batal demi hukum dan implikasinya adalah pelanggaran terhadap hak sosial, ekonomi, hak politik warga binaan sehingga peraturan tersebut batal demi hukum.

Menurut ahli kepenjaraan, Sheldon Messinger (UC Berkeley), tidak ada satu pun penjara di semua negara yang dapat memperbaiki narapidana. Merujuk pandangan itu, perlu juga dijadikan bahan pertimbangan bagi pemerintah apakah kondisi penjara saat ini dapat memperbaiki narapidana menjadi warga yang baik atau menjadi lebih buruk antara lain, isi melebihi kapasitas lembaga sehingga jatah makan seorang napi harus menjadi jatah untuk tiga orang napi atau lebih, belum lagi fasilitas lain di dalam LP.

Saya temukan di Rutan Salemba, para tahanan tidur sambil berdiri karena sesaknya ruangan alias isi melebihi kapasitas; sangat tidak manusiawi bahkan dapat dikatakan negara telah melanggar HAM karena tidak mampu memenuhi standar minimum perlakuan narapidana hasil Kongres PBB 1955.

Kebakaran di LP Tanjung Gusta adalah kulminasi dari keresahan narapidana karena isi melebihi kapasitas dan perlakuan hukum yang tidak manusiawi dari PP 99/2012. Winston Churchill mengatakan bahwa tingkat peradaban suatu bangsa terlihat dari cara perlakuan bangsa tersebut terhadap narapidananya.

Solusi dari masalah ini bukan terletak pada membangun sebanyakbanyak LP, akan tetapi membangun sistem peradilan pidana yang membatasi masuknya perkara ke dalam sistem itu sendiri antara lain membatasi jenis dan jumlah perkara yang ditangani Mahkamah Agung dan Pengadilan Tinggi.

Perkara pidana ringan diselesaikan melalui “out of court settlement” yang merujuk pada nilai-nilai Pancasila yang dikenal sebagai “restorative justice”. Selain itu meningkatkan pengawasan horizontal dan vertikal terhadap integritas dan profesionalitas petugas LP.*