Kamis, 13 Juni 2013

Tsunami Minimarket

   Tsunami Minimarket
  Ishak Salim;   Staf Pengajar Studi Ilmu Politik,
 Universitas Tekhnologi Sulawesi
Tribun Timur, 13 Juni 2013
 

 

AWAL April 2013, tercatat sudah 260 gerai Alfamart berdiri di kota Makassar. Ini tentu bilangan yang masih tergolong kecil begi pengusaha minimarket sekelas Joko Susanto, pemiliknya yang tinggal di Depok.

Namun di Makassar, bukan hanya gerai ini beroperasi. Salah satu pesaingnya yang mengekor dengan selisih jumlah yang tak begitu besar adalah Indomaret. Di mana ada Alfamart disitu berdiri Indomaret. Bahkan terkadang bukan hanya dua gerai ini yang mulai kerap berdiri di permukiman penduduk. Masih ada gerai lain semisal Alfa express, CircleK, dan gerai sekelas supermarket seperti Alfamidi, Giant, Indomode, dan lain-lain. Jumlah total gerai minimarket bisa mencapai lebih 500 gerai ditambah puluhan pasar modern lainnya.

Ekspansi pasar modern skala mini ini baru berlangsung kurang lebih dua tahun terakhir. Jumlahnya semakin membuncah lalu menyerupai bencana Tsunami. Menurut seorang pedagang di Pasar Lokal, “merebaknya minimarket di Makassar seperti tsunami, pedagang kecil seperti saya tak bisa berbuat apa-apa mengatasi dampaknya.

Kerisauan warga memang sudah terlihat. Pada 6 Januari 2012, puluhan pedagang pasar tradisional Parangtambung di Makassar menyegel sebuah Indomaret yang berjarak 50 meter dari lokasi mereka. Aksi mereka bukan sekedar ketakutan akan hadirnya gerai tersebut, namun juga berkaitan dengan rencana pemerintah memberi izin bagi pendirian enam gerai toko modern lainnya.

Sebelumnya, 2 Desember 2011, 9 perwakilan warga BTN Hartaco Indah mendatangi komisi I DPRD Kota Makassar. Agenda mereka adalah menyampaikan protes 300 warga dan pedagang Pasar Parangtambung. Menurut mereka, pemerintah kota Makassar belum mengeluarkan izin, tak ada lahan parkir dan berpotensi besar mematikan pedagang kecil di sekitar itu.

Aksi protes pedagang sebelumnya juga terjadi. Juni 2011, 37 pedagang kecil Manuruki berkumpul. Mereka saling menyampaikan keresahan atas beroperasinya dua minimarket—Alfamart dan Indo Maret—di lingkungan permukiman mereka, Kelurahan Parangtambung dan Kelurahan Manuruki, Kecamatan Tamalate. Sejak minimarket ini beroperasi, mereka kehilangan satu persatu pelanggan. Hari demi hari omzet penjualan pelaku usaha gadde-gadde atau pa’gadde-gadde pun berkurang. Akibatnya, upaya pemenuhan kebutuhan rumah tangga mereka mulai terasa sulitnya.

Di tengah keresahannya, mereka lalu bersepakat menulis surat keberatan kepada Walikota Makassar. Sayangnya, hingga kini keberatan mereka tak memperoleh respon memuaskan dari para pengambl kebijakan di Makassar.

Dampak Buruk

DAMPAK buruk bagi usaha mereka ini hadir dalam bentuk yang beragam. Beberapa menyebutkan bahwa terjadi perubahan pola belanja. Kalangan muda kini lebih memilih belanja di Alfamart atau Indomaret dengan alasan kenyamanan dan kemudahan akses belanja. Harga yang lebih murah juga menjadi alasan perpindahan tempat berbelanja. Bahkan beberapa produk seperti susu formula, minyak goreng kemasan, minuman bervitamin, yang sebelumnya dijual di gadde-gadde tidak tampak lagi. Menurut mereka, tak ada lagi pembelinya. Jadi, ketimbang berisiko tak laku akhirnya mereka memilih tak menjualnya lagi.

Dalam kenyataannya, di pasar-pasar moderen, baik sekelas mini, super, maupun hypermarket, seringkali produk seperti ini dipromosikan secara berlebihan dengan berbagai tawaran diskon yang tinggi. Dalam strategi bisnis, praktek seperti ini disebut predatory pricing atau mengambil resiko merugi beberapa waktu untuk membunuh pesaing yang bermodal kecil. Akibatnya, karena lebih murah dan lebih nyaman, pembeli lebih senang membelinya di pasar moderen ketimbang di gadde-gadde.

Praktek seperti ini kemudian mempengaruhi berubahnya market share, dimana sebelumnya omzet penjualan gadde-gadde tinggi, namun terus menerus menurun dan peralihannya menuju minimarket moderen seperti Alfamart, Indomart, dan Alfa Midi.

Dalam keadaan demikian, berdasarkan hasil survei AcSI, harapan pedagang kecil masih bertumpu kepada pemerintah kota. Mayoritas (86%) menuntut agar pemerintah bersegera membatasi pendirian minimarket moderen dan mengatur zonasinya. Bahkan, seorang responden dengan tegas menyatakan agar pemerintah membongkar paksa minimarket yang disinyalir tak memeroleh izin pendirian. Pandangan ini muncul mengingat adanya kemudahan dari pihak-pihak terkait dalam meloloskan izin pendirian kepada pemilik usaha ritel moderen tanpa mempertimbangkan dokumen analisa sosial ekonomi kemasyarakatan di daerah setempat.
Mengatasi Minimarket Di Makassar, regulasi bagi minimarket diatur dalam Peraturan Daerah no 15/2009 tentang Perlindungan, Pemberdayaan Pasar Tradisional dan Penataan Pasar Modern, yang mengacu pada Peraturan Presiden no 112/2007 dan Permendag nomor 53/2008. Untuk itu, salah satu upaya mendukung usaha mikro dan kecil di Makassar adalah melalui tindakan advokasi kebijakan.

Upaya ini diawali dengan pengorganisasian warga menuju gerakan sosial membela praktek ekonomi rakyat. Untuk itu, elemen-elemen penggerak sosial perlu mendorong agar pa’gadde-gadde berkumpul dan berserikat untuk kelak mereka bisa menyuarakan kepentingan sendiri. Lalu, penggerak sosial ini menggalang mitra aksi, khususnya dari kalangan mahasiswa dan ornop, serta anggota parlemen dan birokrat tertentu yang reformis yang siap memperjuangkan kepentingan pedagang kecil dalam upaya melakukan advokasi kebijakan melalui revisi peraturan daerah no.15 tentang pemberdayaan dan perlindungan pasar tradisonal dan penataan pasar modern.

Bila elemen ekonomi rakyat ini bisa bersatu padu, maka mereka bisa leluasa berhadapan dengan parlemen seleluasa dengan pengusaha, partai politik, dan kelompok kepentingan lainnya yang kerap bernegosiasi dalam menentukan poin-poin urgen dalam regulasi daerah. Dengan berserikat, mereka juga bisa berfungsi sebagai kelompok penekan melalui tindakan berkelompok (class action) sewaktu-waktu bila praktek ekonomi serupa tsunami ini semakin menenggelamkan pedagang kecil.

Untuk itu, beberapa langkah yang bisa ditempuh aliansi gerakan sosial ini adalah [1] menghilangkan diktum ‘pengecualian’ dalam persyaratan perizinan bagi minimarket modern. Kedua, penetapan zonasi minimarket harus segera diselesaikan Pemerintah Kota Makassar emi tata kelola ruang ekonomi yang lebih adil. Ketiga, Komisi Pengawasan dan Persaingan Usaha (KPPU) perlu lebih tegas dalam menegakkan keadilan dalam berusaha, khususnya menertibkan praktek politik dagang yang disebut predatory pricing dan membangun keseimbangan kekuatan pasar antara ritel modern dan ritel lokal. Dalam proses ini, maka sebaiknya pemerintah untuk sementara memberlakukan moratorium perizinan bagi pembukaan minimarket berjejaring ini mulai sekarang!***

Indonesia Sejatinya Rumah Besar Persaudaraan

 Indonesia Sejatinya Rumah Persaudaraan
  AM Ilham SSi ;   Ketua Komisi Ideologu Nasional 
Pemuda Indonesia (KNPI) Makassar
Tribun Timur, 13  Juni 2013




Wakil Presiden pertama Negara ini, yang juga adalah deklarator bangsa Indonesia `Bung Hatta` dalam pidato penerimaan gelar doctor honoris causa dari Universitas Gadjah Mada (27 November 1965) menyampaikan, “Indonesia Merdeka di masa datang mestilah negara nasional, bersatu dan tidak terpisah-pisah, bebas dari penjajahan asing dalam rupa apapun juga, politik maupun ideologi. Dasar-dasar perikemanusiaan harus terlaksana dalam segala segi penghidupan, dalam perhubungan antara seorang dengan seorang, antara majikan dan buruh, antara bangsa dan bangsa. Lahir dalam perjuangan menentang penjajahan, cita-cita perikemanusiaan tidak saja bersifat anti-kolonial dan anti-imperialis, tetapi juga menuju kebebasan manusia dari segala tindasan. Pergaulan hidup harus diliputi oleh suasana kekeluargaan dan persaudaraan.” (Ejaan telah disesuaikan dengan EYD).

Dalam pidatonya Hatta mengkritik Revolusi Perancis 1789 yang terkenal sebagai sumber demokrasi Barat, ternyata semboyan yang dicanangkannya yaitu “kemerdekaan, persamaan dan persaudaraan” tidak terlaksana di dalam praktik. Menurut Hatta, demokrasi yang dilaksanakan di Perancis setelah revolusi hanya pada bidang politik, seperti hak untuk memilih dan dipilih menjadi anggota dewan perwakilan rakyat, sedangkan dalam bidang ekonomi tidak ada demokrasi. Bahkan dengan berkobarnya semangat individualisme yang dihidupkan oleh Revolusi Perancis, kapitalisme justru tumbuh subur. Pertentangan kelas semakin tajam, karena terjadi penindasan oleh yang kuat ekonominya terhadap yang lemah. Padahal dimana ada golongan yang menindas dan yang tertindas, maka persaudaraan hanyalah omong kosong.Demokrasi semacam itu tidak sesuai dengan cita-cita perjuangan Indonesia, yakni perikemanusiaan dan keadilan sosial. Bagi Hatta, selain demokrasi politik, harus berlaku pula demokrasi ekonomi. 

Akan tetapi Hatta merasa prihatin, karena selama terjajah kita banyak bercita-cita tentang perikemanusiaan, keadilan sosial dan sebagainya, ternyata setelah merdeka tidak dapat melaksanakannya di dalam praktik. Bung Hatta khawatir hal ini tidak berbeda dengan negara Perancis pasca revolusi 1789. Berkaitan dengan Pancasila, Hatta berkata, ”Apa yang kita alami di Indonesia sehari-hari sekitar kita, merupakan seolah-olah Pancasila itu diamalkan di bibir saja, tidak menjadi pelita di dalam hati untuk membangun masyarakat baru. Tiap-tiap golongan berkejar-kejar mencari rezeki. Golongan sendiri dikemukakan, masyarakat dilupakan. Dalam teori kita menganut kolektivisme, dalam praktik dan perbuatan memperkuat individualisme. Dalam teori kita membela demokrasi sosial, dalam praktik dan perbuatan menghidupkan semangat demokrasi liberal. Partai yang pada hakekatnya alat untuk menyusun pendapat umum secara teratur, agar supaya rakyat belajar merasai tanggungjawabnya sebagai pemangku negara dan anggota masyarakat, -- partai itu dijadikan tujuan dan negara menjadi alatnya. (kutipan dari Arsip UGM, Pidato pada penerimaan gelar doctor honoris causa dari Universitas Gadjah Mada pada 27 November 1956”)

Pusaran Pilwali

Mencermati dinamika pemilihan walikota (pilwali) Makassar, dengan sistem pemilihan langsung akan membawa dinamika demokrasi yang lebih modern dan rasional, tentunya rakyat memiliki kewengan untuk memilih kandidat yang terbaik. Hadirnya ‘Rudal’ yang telah lama bersosialisasi tampil dengan tag line Rudal peduli, Muhyina dengan jargon perempuan bisa tonji untuk Makassar bergerak,`DIA` sebagai masaDPan baru Makassar, duet maut Erwin kallo yang membahana melalui audisi, Supomo yang `suka` komandan pun beraksi, Ahaok yang menawarakan `pete-pete` gratis, ada Adil patu dengan listrik gratis, Apiaty dengan program unggulannya, muncul paket Irman YL dengan `no fear` lengkap bersama parpol pendukungnya hingga Tamsil dan paketnya pun bangkit.

Baik jalur independen maupun partai politik, telah menjadi bagian dari upaya untuk melakukan yang terbaik `untuk` masyarakat kota Makassar. Di sepuluh kandidat pilwali sejatinya ada elemen pemuda dengan `jiwa merdeka` sebagai tulang punggung dan ujung tombak pergerakan dalam pusaran dinamika para kandidatnya. Sehingga harapan hidupnya nuansa demokrasi dalam pentas pilwali Makassar mampu menghasilkan pesta demokrasi yang rasional, dinamis, harmonis, kreatif, solutif dan dalam bingkai kekeluargaan. Pemuda sebagai `agent of change` dan pelanjut estafet pembangunan, dalam kompetisi kandidatnya bisa maju dalam pikiran dan anggun dalam tindakan untuk kemajuan politik dan demokrasi yang berkualitas. Tidak lalu bertindak arogan, sektarian dan anarkis untuk memenangkan setiap kandidatnya, dengan proses demokrasi yang cantik melahirkan politisi muda yang santun, cerdas dan bermartabat. Ini berarti akan melahirkan sepuluh tim pemenangan dan sepuluh tim juru bicara (jubir) yang akan mewarnai `dagangan politik` masing-masing kandidat. Biasanya jubir ini pun dari kaum muda yang energik, menarik dan cerdas dalam melontarkan program dan isu-isu kreatif jagoannya.

Silahkan saling memaparkan dan menjual ide untuk kemajuan Makassar, tapi tentu rakyat berharap `pesta` ini berlangsung meriah tanpa kecurangan dan saling jegal apalagi sampai anarkis. Sehingga kandidat yang belum unggul tidak lalu merasa `kalah` tapi sudah terlibat aktif dalam kemajuan berdemokrasi di Makassar khususnya dan Sulsel pada umumnya. Siapa pun yang dipilih oleh rakyat menjadi pemilik suara terbanyak nantinya, tidak akan merasa pongah dan lupa terhadap tujuan kepemimpinannya guna mensejahterakan masyarakat. Pemuda dalam pusaran pilwali Makassar tentulah sangat menarik keterlibatannya, karena perannya yang begitu vital dalam setiap aksi dan program yang ditawarkan. Kita berharap semoga pilwali yang `semarak` bisa berjalan damai dan dalam bingkai silaturrahmi harmonis dengan suasana persaudaraan dan kekeluargaan seperti harapan `Bung Hatta` menuju demokrasi kerakyatan untuk kepentingan dan kemajuan bersama masyarakat. Akhirnya penulis ucapkan selamat berpesta `anak muda` kita junjung sportifitas dengan bingkai kearifan lokal untuk Makassar yang berkemajuan.***

Membaca 10 Calon Walikota Makassar


 Membaca 10 Calon Walikota Makassar
  Asri Abdullah;   Peneliti IDEC
Ketua Dewan Pengawasan Yayasan Timur Indonesia Bangkit
Tribun Timur, 12 Juni 2013
 
 
 
 

Kini kandidat Wali Kota Makassar mengerucut menjadi sepuluh pasangan. Kesepuluh kandidat yang telah resmi mendaftar di KPU melalui partai politik adalah Supomo Guntur-Kadir Halik, Danny Pomanto-Syamsu Rizal, Apiaty Amin Syam-Zulkifli Gani Ottoh, Tamsil Linrung-Das’ad Latief, Adil Patu-Isradi Zainal, dan Irman Yasin Limpo-Busrah Abdullah.

Sementara kandidat yang menempuh jalur independen yakni Rusdin Abdullah-Idris Patarai, St. Muhyina Muin-Syaiful Saleh, Erwin Kallo-Hasbi Ali dan Herman Handoko-Latif Bafadhal.
Ketidakhadiran incumbent menjadi salah satu faktor banyaknya kandidat yang hadir. Hal ini diperkuat dengan hasil survey IDEC pada April 2013, tak satupun elektabilitas kandidat yang mencapai angka 30 persen sehingga pertarungan lebih terbuka bagi pendatang baru sekalipun.

Back Stage
Pilwali Makassar memang menyisakan banyak pertanyaan dibenak pemilih mengenai kandidat yang akan bertarung. Olehnya itu, ada baiknya teori Dramaturgy, Erving Goffman kita pinjam untuk melihat panggung belakang (back stage) setiap kandidat.

Goffman memandang dunia sebagai sebuah arena pertunjukan. Pilwali Makassar seperti halnya arena pertunjukan yang memiliki cerita dan desain sebelum pertunjukan dimulai. Cerita ini dibuat dan ditata sedemikian rupa di tempat yang tak nampak di arena pertunjukan. Inilah yang menurut Goffman, panggung belakang Pilwali Makassar.

Kehadiran berbagai calon yang sebelumnya tak diprediksi sebagian kalangan, seperti Irman Yasin Limpo membuat konstalasi politik Makassar berubah drastis. Bukan saja di tingkat elit partai politik, tapi juga di basis pemilih.

Kehadiran Irman, yang akrab disapa None, justru tidak menguntungkan pasangan yang diusung partai Golkar yakni Supomo Guntur–Kadir Halid. Apalagi Syahrul Yasin Limpo selaku ketua DPD Partai Golkar Sulawesi Selatan telah menyatakan dukungan keluarganya kepada None yang merupakan adik kandungnya.
Keputusan DPP Partai Golkar yang menetapkan Kadir Halik sebagai pasangan Supomo Guntur dinilai banyak kalangan sebagai pemicu pecahnya suara Golkar. Perpecahan tampak saat deklarasi pasangan Irman Yasin Limpo-Busrah Abdullah dan Supomo Guntur-Kadir Halik yang digelar pada saat yang bersamaan. Kehadiran beberapa elit partai Golkar pada deklarasi yang dikenal dengan pasangan NoAh mengindikasikan terpecahnya kader Golkar. Apalagi Irman adalah tokoh sentral yang memenangkan Syahrul Yasin Limpo Pada Pilgub 2013 melalui tim pemenangannya Kapal Induk dan Sampan Induk, serta organisasi kemasyarakatan FKPSM.

Pasangan lain yang tidak diuntungkan dari kehadiran pasangan Noah adalah Kandidat Rusdin Abdullah (Rudal)-Idris Patarai. Pasangan ini memang jauh hari telah bekerja di tingkat kelurahan, RW dan RT untuk menggalang dukungan. Berdasarkan hasil Survey IDEC, elektabilitas Rudal berada pada posisi kedua setelah Supomo Guntur. Hal ini menunjukkan kemampuan penetrasi tim sukses Rudal cukup efektif.
Dukungan suara Rudal juga datang dari pasangannya, Idris Patarai yang didukung salah satu tim pemenangan Syahrul pada Pilgub 2013 yakni Kapal Induk. Idris Patarai adalah Ketua Kapal Induk Makassar pada Pilgub 2013 di bawah kendali None. Dukungan Rudal-Idris Patarai bisa saja terbagi, karena simpatisan Syahrul di Kapal Induk mungkin saja akan mengalihkan dukungannya ke pasangan NoAh setelah kepastian maju melalui deklarasi.

Kehadiran pendatang baru lainnya yakni Danny Pomanto-Syamsu Rizal juga tak bisa disepelekan. Apalagi pasangan yang dikenal dengan ‘DiA’ ini telah resmi mendapatkan dukungan partai Demokrat dan Ilham Arief Sirajuddin (Walikota Makassar). Perlu dicatat, pada Pilgub 2013, Ilham melalui Demokrat berhasil memenangkan suara di Makassar dengan angka 50.2 persen. Walaupun hanya berbeda 5.1 persen dengan suara Syahrul yakni 45.1 persen (sumber: LSI).

Pasangan lainnya adalah Muhyina Muin dan Syaiful Saleh juga patut diperhitungkan. disebabkan karena pasangan ini dikenal memiliki modal yang cukup besar. Selain itu, Syaiful Saleh merupakan salah satu tokoh senior organisasi Islam di Sulsel, yakni Muhammadiyahyang memiliki pemilih ideologis yang cukup besar di Makassar. Jika Syaiful Saleh memaksimalkan posisinya, maka bukan tidak mungkin suara pasangan dengan tagline ‘Makassar Bergerak’ ini akan mendulang kemenangan.

Pertarungan Godfather
Kehadiran tokoh besar di panggung belakang kandidat Pilwali Makassar tidak lepas dari pertarungan merebut kekuasaan di Makassar. Penetapan Kadir Halik sebagai pasangan Supomo tidak bisa dipisahkan dengan Nurdin Halik selaku Koordinator Wilayah (Korwil) Pemenangan Sulawesi DPP Golkar. Kadir merupakan adik kandung Nurdin Halik. Nurdin dikenal sebagai tokoh Golkar senior yang memiliki pengaruh dalam kancah perpolitikan nasional.

Kandidat yang populer dengan nama pasangan DiA juga tidak lepas dari bayang-bayang Ilham Arief Sirajuddin selaku Wali Kota Makassar 2 periode. Ilham tentunya belajar pada Pilgub 2013 dengan mendukung pasangan DiA sebagai satu-satunya kandidat yang mampu menjaga pengaruhnya di Makassar selama 10 tahun terakhir.

Syahrul Yasin Limpo juga telah membuktikan pengaruhnya yang luas di Makassar pada Pilgub 2013 lalu. Dukungan syahrul terhadap pasangan NoAh tak bisa dipandang sebelah mata. Apalagi Sosok Irman yang dikenal dekat dengan banyak orang dan bermasyarakat serta memiliki ide brilian bisa menjadi ancaman serius bagi semua kandidat.

Kandidat lainnya usungan partai Keadilian Sejahtera, Tamsil Linrung-Das’ad Latief tak bisa dianggap remeh. Loyalitas kader PKS yang juga tak sedikit jumlahnya bisa mengantar pasangan ini memenangkan Pilwali Makassar. Apalagi menjelang bulan Ramadan, pasangan ustaz ini mungkin menjadikan momentum tersebut sebagai ajang mendekati pemilih melalui kegiatan keagamaan.

Hadirnya beberapa tokoh berpengaruh di Sulsel yakni, Syahrul, Yasin Limpo, Ilham Arief Sirajuddin, dan Nurdin Halik yang berada di belakang beberapa kandidat menjadi bukti bahwa pertarungan Pilwali Makassar adalah pertarungan elit politik Sulsel. Hal ini juga semakin menegaskan dominasi raja-raja kecil di daerah semakin menguat. Dengan demikian, Pilwali Makassar hanya menjadi arena memperbesar dan mempertahankan pengaruh dan kekuasaannya para elit politik.***

PRTA: Memanusiakan atau Eksploitasi ?


 
PRTA Memanusiakan atau Eksploitasi ?
  M Ghufran ;   Sekretaris Lembaga Perlindungan Abak (LPA) Sulsel
Tribun Timur, 12 Juni 2013
 
 
 

 
Dari awal tahun hingga bulan Mei 2013, tiga kasus kekerasan terhadap pekerja rumah tangga anak (PRTA) dilaporkan ke Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Sulawesi Selatan. Tiga kasus ini memiliki kesamaan karakteristik, yaitu : (1) korban berumur antara 13-15 tahun dan berjenis kelamin perempuan; (2) korban tidak tamat SD, bahkan ada yang tidak pernah mengenyam bangku pendidikan formal meskipun menetap di salah satu Kabupaten yang menerapkan pendidikan gratis 12 tahun atau sampai tamat SMA; (3) mengalami kekerasan (fisik dan nonfisik) oleh majikan; (4) memiliki jam kerja yang sangat panjang; (5) diberi upah sangat rendah, dan seorang di antara mereka tidak pernah menerima upah sama sekali.

Sedikit menggali ketiga pengaduan eksploitasi PRTA ini, satu orang ternyata bekerja pada majikan yang masih memiliki hubungan kekerabatan dengan orang tuanya. Namun demikian, ternyata PRTA ini tidak mendapatkan perlakuan manusiawi meskipun ketika ditanya, sang majikan berkeras bahwa PRTA tersebut dianggap anak angkat karena dibawa ke rumah sejak belum berumur 5 tahun. Anak tersebut tidak pernah disekolahkan dan praktis mengerjakan hampir seluruh pekerjaan dalam rumah majikannya ini. Majikan menolak disebut mengeksploitasi dengan dalih memberikan tempat untuk tinggal, berikut makanan dan pakaian. Akses anak pada pendidikan dihambat secara sengaja karena sang majikan merasa praktik sedemikian juga dilakukan oleh kerabat dan kenalan lainnya di masyarakat. Anak tanpa disadari telah beralihperan menjadi pekerja rumah tangga (PRT), dengan beban kerja jauh melampaui usianya, dan menerima kekerasan verbal dalam bentuk teguran keras atau kata-kata kasar apabila majikan tidak puas dengan hasil kerjanya.

Saat ini, dua dari tiga kasus kekerasan dan eksploitasi terhadap PRTA tersebut sedang dalam proses peradilan. Sang majikan melanggar sejumlah instrumen hukum di antaranya Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU No. 23/2004), Undang-Undang Perlindungan Anak (UU No. 23/2002), dan Undang-Undang Ketenagakerjaan (UU No. 13/2003). Dari sudut pandang isu pekerja anak, kasus ini juga merupakan pelanggaran dari UU No 20 tahun 1999 yang mengesahkan Konvensi ILO 138 tentang Usia Minimum Diperbolehkan Bekerja dan UU No. 1 tahun 2000 yang merupakan pengesahan Konvensi ILO nomor 182 mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak. Di daerah lain, dan boleh jadi juga terjadi di Sulawesi Selatan, dilaporkan tindak perundungan seksual terhadap PRTA, baik oleh majikan atau anggota keluarga di rumah tinggal majikan. Banyak kasus yang tidak ditangani secara baik dan tidak jarang juga korban menarik pengaduan karena bersedia berdamai dengan majikan. Ada indikasi intimidasi ketika para korban tidak mendapatkan perlindungan pasca pengaduan tindak kekerasan yang mereka alami.

PRTA berakar cukup kuat dalam praktik kebiasaan masyarakat Indonesia atas nama hubungan kekerabatan, cara praktis mengangkat dari kemiskinan dengan memenuhi kebutuhan pangan dan sandang saat anak menjadi penghuni rumah majikan, serta acap kali menjadi pilihan terbaik karena umumnya PRTA tidak menuntut upah layak, gampang diatur, dan penurut. Tak sedikit di antara mereka yang kemudian diberi beban ganda menjadi pengasuh anak sementara mereka berjarak umur tidak terlalu jauh dari batita (anak berusia di bawah tiga tahun) yang mereka asuh. Menyerahkan pengasuhan anak kepada seorang PRTA adalah keputusan tidak rasional, mengingat si PRTA sendiri masih membutuhkan pengasuhan dan perlindungan. Pada rumah-rumah keluarga urban kelas menengah, para PRT juga diminta untuk melayani kebutuhan anggota keluarga yang sudah lanjut usia, tanpa pengetahuan sama sekali tentang perawatan bagi manula. Tidak mengherankan bila muncul anggapan bahwa PRT adalah penghuni rumah yang pertama kali terjaga di dini hari dan paling terakhir tidur pada malam hari. Ini dapat menggambarkan lama dan besarnya beban kerja mereka.

Dalam praktik masyarakat kita, tak ubahnya PRT dewasa, PRTA juga diberi label panggilan ‘pembantu’. Sebutan yang begitu akrab di pendengaran kita sehari-hari ini mengentalkan stigma bahwa para PRT berada pada posisi rendah, tak punya posisi tawar dan terpinggirkan. Banyak yang bersikukuh mempertahankan kata pembantu karena beranggapan para PRT memang berposisi sebagai tangan kanan ibu rumah tangga yang bantuannya diperlukan untuk mengurus beberapa kebutuhan sehari-hari. Faktanya, banyak dari mereka yang bekerja lebih dari rata-rata 8 jam sehari, tanpa upah atau diberi upah sekadarnya, tidak ada libur mingguan atau cuti, tidak memperoleh tunjangan hari raya, tanpa fasilitas layanan kesehatan ketika sakit, dan sewaktu-waktu dapat dipecat apabila majikan menghendakinya. Menyimak fakta ini, menyebut PRT sebagai pembantu tak ubahnya memosisikan mereka pada level yang lebih rendah. Kata pembantu dimaknai sekadar sebagai eufemisme atau penghalusan dari kata babu, jongos, atau kacung yang memang kedengaran sangat feodal dan tidak menghargai martabat dan harkat kemanusiaan.

Tak sedikit pandangan resisten terhadap upaya melindungi anak agar tidak dipekerjakan sebagai PRT. Salah satu argumen yang disampaikan adalah dengan membiasakan anak bekerja sejak usia dini maka akan membekali mereka dengan keterampilan untuk bekerja di usia dewasa. Ini didukung pula oleh kenyataan bahwa banyak anak di bawah umur yang memang ingin bekerja sebagai PRT karena desakan ekonomi. Pendek kata, ada demand dan supply. Sayangnya, alih-alih memberikan perlindungan dan benefit ekonomi terhadap anak, yang terjadi kemudian adalah tindakan eksploitatif. Banyak PRT dewasa menghadapi situasi kerja yang tidak manusiawi, tetapi tak berdaya untuk melepaskan diri karena tak memiliki peluang-peluang ekonomi lain dan pengetahuan tentang haknya sebagai pekerja, sehingga anak yang bekerja sebagai PRT berada pada posisi yang berkali-kali lipat lebih rentan terhadap eksploitasi.

Ketika ada anak yang bekerja sebagai PRT, begitu mudah orang menganggap sebagai bagian dari kelanjutan tradisi menitipkan anak pada keluarga atau kerabat. Padahal anak-anak tersebut bekerja di ranah domestik tanpa pengawasan dan perlindungan. Hubungan majikan dan PRTA adalah hubungan ekonomi yang eksploitatif, jauh dari setara, karena posisi anak yang sangat lemah dari sudut apa pun. Manakala terjadi tindakan tidak menyenangkan bagi PRT/PRTA, meskipun tidak dapat menerimanya, mereka terlalu jauh berjarak dengan akses untuk mengadu atau melaporkan tindakan yang diterima akibat pola kondisi kerja yang berada dalam lingkup rumah tangga. Tak tersentuh oleh pengawas tenaga kerja sebagaimana yang lazim terjadi pada jenis-jenis pekerjaan lain. Para majikan yang mengambil anak sebagai PRT, yang murni untuk bekerja, tentu bermaksud menekan biaya pengeluaran rumah tangga karena tak perlu membayar upah mereka sebesar upah kepada PRT dewasa, dengan beban kerja yang sama.

Menanti Regulasi
Dunia internasional telah menyepakati, bahwa PRT adalah pekerja, sehingga hubungan mereka dengan majikan adalah hubungan kerja dan PRT berhak menikmati hak-hak mereka seperti pekerja lainnya.Tidak jelas mengapa Pemerintah Indonesia belum meratifikasi Konvensi ILO 189 tentang Kerja Layak bagi PRT. Sampai saat ini pun, RUU tentang Perlindungan PRT belum disahkan, dan sejumlah kalangan masih mempersoalkan beberapa klausul yang dianggap masih sumir. Tampaknya belum terwujud kesepahaman nasional tentang mendesaknya instrumen perundang-undangan yang memberikan perlindungan pada para PRT, padahal Indonesia sempat dikenal sebagai negara pengirim tenaga PRT ke beberapa negara di Asia dan Timur Tengah. Pada banyak keluarga di negara ini, PRT termasuk PRTA melakukan pekerjaan dengan ketidakjelasan status sebagai pekerja, tanpa aturan, tanpa kontrak ataupun perjanjian kerja, tanpa pengawasan, tanpa perlindungan sosial ketenagakerjaan. Akibat absennya aturan dan campur tangan negara, hubungan PRT/PRTA dengan majikan menjadi hubungan kekuasaan, dan karena hubungan kekuasaan itulah, kerap terjadi penganiayaan terhadap PRT/PRTA.

Kalangan yang fobia terhadap regulasi perlindungan PRT mungkin perlu berpikir sejenak. Keluhan klasik selama ini ketika majikan bersikap keras terhadap PRT adalah karena mereka tidak terampil. Agen penyalur PRT pun tidak memberikan pelatihan pada para calon PRT untuk kesiapan mereka bekerja. Anak di bawah umur diterima dengan pintu terbuka untuk bekerja tanpa memerhatikan kondisi fisik, psikis, dan ketergantungan anak pada orang dewasa di sekitarnya, termasuk kebutuhan anak untuk mendapatkan perlindungan. Regulasi perlindungan PRT sejatinya bukan berdiri di atas kepentingan PRT lalu berseberangan dengan para majikan atau pengguna jasa. Regulasi ini memberikan kejelasan tentang hak dan kewajiban pekerja dan pengguna jasa, yang diikat dalam bentuk perjanjian kerja. Tidak mempekerjakan anak sebagai PRT adalah satu bagian yang diharapkan terakomodir dalam RUU, karena sekali lagi, sesuai undang-undang, anak tidak seharusnya bekerja di saat mereka berada dalam usia mengenyam pendidikan, disamping keterbatasan fisik dan psikis anak, serta kesenjangan besar antara keterampilan kerja yang diharapkan dengan kondisi anak.

Pekerjaan Terburuk

PRT, apalagi PRTA sangat rawan eksploitasi karena berada di ranah domestik dan tidak tersentuh oleh publik dan negara. Bahkan PRTA masuk dalam Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak dalam UU No. 1 tahun 2000 dan Keppres No. 59/2002. Jam kerja yang panjang, dengan tuntutan bekerja ala orang dewasa tanpa cukup istirahat dan bahkan diabaikan haknya untuk bersekolah dan bertumbuhkembang secara alami, adalah situasi yang tak dapat ditolerir. Anak tak mungkin melindungi diri dan haknya sendiri tanpa peran orang dewasa.

Oleh karenanya, komitmen keberpihakan bagi para PRTA menjadi desakan dunia internasional pada momentum Hari Dunia Menentang Pekerja Anak tahun ini. Indonesia di tahun 2003 saja sudah memperkirakan ada sekitar 700 ribu PRTA, 90 persen diantaranya anak perempuan (ILO) dengan usia mulai 12 tahun dan umumnya berasal dari pedesaan. Angka ini tentu sudah berlipat ganda selang 10 tahun kemudian, dan belum ada perubahan signifikan terhadap upaya melindungi anak dari eksploitasi sebagai PRT.

Hari ini dunia internasional memeringati Hari Menentang Pekerja Anak. Sudah saatnya kita menyudahi salah kaprah bahwa memperkerjakan anak sebagai PRT adalah tindakan memanusiakan mereka atas nama taraf hidup yang lebih baik dengan ukuran mendapatkan tempat tinggal, makanan, dan pakaian. Mempekerjakan mereka sebagai miniatur PRT dewasa adalah jauh dari memanusiakan, tetapi mengeksploitasi secara sistematis. Tak kalah penting dari itu, mari menjadi bagian dari komunitas yang tidak lagi menyebut kata pembantu dan mengkampanyekan penyebutan istilah Pekerja Rumah Tangga. Pekerjaan Rumah isu PRT masih menggunung untuk Indonesia, tetapi mulailah dengan menyebut profesi mereka dengan rasa respek.***

Solusi APBN Perubahan 2013

Solusi APBN Perubahan 2013
Anggito Abimanyu ;   Pengajar Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM, Yogyakarta
KOMPAS, 13 Juni 2013




Pemerintah dan DPR tengah membahas rancangan Perubahan APBN 2013. Substansi Rancangan APBN Perubahan 2013 cukup kompleks dan kita masih belum tahu bagaimana postur APBN Perubahan 2013 nantinya. Yang sudah dapat dipastikan bahwa penyelesaian APBN-P menurut UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD memakan waktu maksimal 30 hari.

Begitu pentingnya APBN-P 2013 harus selesai tepat waktu dan realistis sebab jika tidak sesuai dengan harapan, sulit sekali mempercayai prospek ekonomi 2013.

Kenapa APBN-P 2013 sangat penting dan harus diubah? APBN merupakan jangkar kebijakan ekonomi yang berisi rencana kegiatan pembangunan nasional dan anggarannya sehingga harus dapat dipercaya. Saat ini dasar perhitungan dalam APBN 2013 sudah banyak berubah dan tidak akurat lagi. Apabila tidak dilakukan perubahan, sudah hampir pasti realisasinya akan meleset, penerimaan negara kurang, sedangkan belanjanya melonjak tinggi sehingga negara harus menomboki. Keadaan ini akan sangat memengaruhi kepercayaan para pelaku ekonomi akan keberlanjutan prospek ekonomi ke depan.

Semua asumsi meleset
Selama ini digembar-gemborkan bahwa APBN 2013 harus diubah hanya karena beban subsidi bahan bakar minyak (BBM) yang terlalu besar. Ternyata tidak hanya subsidi harga BBM yang mendorong perlunya APBN-P, tetapi juga seluruh asumsi makro sudah meleset, pendapatan perpajakan tekor, penerimaan negara bukan pajak migas meleset, konsumsi BBM terlampaui, dan opsi kenaikan BBM tidak dipakai.
Ditambah lagi anggaran kementerian dan lembaga sudah sulit dipotong, anggaran Dana Alokasi Umum (DAU) tidak bisa dihemat, dan batasan defisit maksimum 3 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Lengkaplah sudah kesulitan keuangan negara yang sekarang dihadapi. Opsi-opsi kebijakan yang ada untuk penyehatan fiskal sangat terbatas.

Syukurlah akhirnya pemerintah mengambil langkah dengan rencana kenaikan harga BBM. Meskipun terlambat, kenaikan harga BBM sebesar Rp 2.000 per liter yang direncanakan bulan Juni sudah bisa menghindarkan dari krisis fiskal dan ekonomi kita. Namun, kenaikan harga BBM saja tidak memadai. Sudah tiga tahun penerimaan perpajakan tidak mencapai target dan perencanaan sektor energi masih compang-camping.

Substansi perubahan
Penghematan anggaran harus terus dilakukan. Skema kompensasi kenaikan harga BBM juga haruslah semata-mata dialokasikan untuk program jaring pengaman sosial (social safety nets), jangan sampai ada program lain yang ikut membonceng.

Beberapa substansi penting perubahan APBN-P 2013 yakni asumsi makro, penurunan target perpajakan, kenaikan harga BBM, program kompensasi melalui Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) dan lainnya, serta kenaikan defisit anggaran.

Dalam pembahasan RAPBN-P di DPR telah dibahas koreksi asumsi makro, yakni pertumbuhan sebesar 6,2 persen, inflasi 7 persen, dan nilai tukar Rp 9.600 per dollar AS. Harga minyak 108 dollar AS per barrel dan lifting minyak 840 barrel per hari. Perubahan tersebut dianggap masih belum realistis, tetapi lebih baik daripada asumsi semula.

Yang masih menjadi tantangan adalah upaya mencapai nilai tukar rupiah pada tingkat kisaran rata-rata Rp 9.600 per dollar AS. Kenyataannya saat ini rupiah berada pada tingkat di atas Rp 9.800 per dollar AS. Menteri Keuangan M Chatib Basri memperkirakan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS akan mengalami penguatan apabila ada kepastian terkait kebijakan BBM bersubsidi.

Migas dan BBM

Target-target migas dan BBM juga tidak tercapai. Kenapa? Yang kurang akurat tampaknya adalah perencanaannya. Dalam APBN 2013 ditetapkan target produksi minyak bumi yang tidak realistis, yakni 900.000 barrel per hari, tetapi setelah realisasi hingga Mei 2013, kesepakatan RAPBN-P 2013 target lifting minyak bumi diturunkan menjadi 840.000 barrel per hari.

Dalam APBN-P, pemerintah juga menurunkan target lifting gas dari 1,36 juta barrel setara minyak per hari menjadi 1,24 juta barrel setara minyak per hari. Dengan penurunan target ini, produksi migas yang diharapkan bisa 2,26 juta barrel setara minyak per hari turun menjadi 2,08 juta barrel setara minyak per hari.

DPR juga menyetujui patokan harga minyak mentah Indonesia 108 dollar AS per barrel. Angka ini naik dari 100 dollar AS per barrel dalam APBN 2013. Komisi VIII DPR juga menyetujui usulan kuota BBM bersubsidi dalam APBN-P 2013 sebesar 48 juta kiloliter. Dalam APBN 2013, kuota BBM dan bahan bakar nabati bersubsidi dipatok 46,01 juta kiloliter. Biaya distribusi dan margin penjualan (alpha) BBM bersubsidi juga ditambah sebesar Rp 50 per liter.

Perubahan ini mengarah pada penurunan pendapatan negara dari migas dan penambahan belanja subsidi BBM (dan listrik) yang akhirnya menambah defisit APBN. Kejadian ketidakkonsistenan komponen migas dan BBM dalam APBN ini bukan pertama kali terjadi di 2013. Selain kelemahan dalam membuat perencanaan yang akurat dan upaya meyakinkan DPR, juga telah terjadi inkonsistensi dalam kebijakan migas dan BBM. Hal yang paling mencolok adalah mengenai kebijakan subsidi BBM. Kesempatan menyesuaikan harga BBM sudah diberikan dalam UU APBN 2013, tetapi tidak dimanfaatkan, malah ditunda sehingga menimbulkan berbagai macam unsur spekulasi dan ketidakpastian di fiskal dan neraca pembayaran.

Kenaikan harga BBM sebesar Rp 2.000 per liter akan menghemat belanja negara dan mengurangi tekanan defisit anggaran. Chatib Basri dalam pernyataan di Gedung DPR, (28/5), mengungkapkan, dengan pengendalian subsidi BBM tersebut, implikasinya ada defisit yang bisa dikurangi. Artinya, subsidi BBM-nya tidak sebesar kalau pemerintah tidak melakukan pengendalian subsidi. Jumlah yang bisa dihemat sekitar Rp 42 triliun.

Koreksi perpajakan

Dana puluhan triliun itu akan dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk lain, seperti BLSM, pembangunan infrastruktur dasar, dan program lainnya. Kompensasi kenaikan harga BBM melalui BLSM telah menuai kritik dari kalangan DPR sebagai upaya politisasi anggaran parpol pemerintah untuk menarik simpati rakyat. Apa pun kritik tersebut, pengalaman pemberian Bantuan Langsung Tunai (BLT) sebelumnya membuktikan bahwa kebijakan tersebut dapat menjadi jaring pengaman sementara bagi masyarakat kurang mampu di tengah kenaikan biaya hidup akibat kenaikan harga BBM.

Sementara itu, pemerintah menurunkan penerimaan pajak dalam APBN-P tahun 2013 sebesar Rp 43,4 triliun sebagai dampak ekonomi global, terutama di benua Eropa dan Amerika Serikat. Hal itu juga untuk menyesuaikan pertumbuhan ekonomi yang direvisi ke bawah sekitar 6,2 persen dan penerapan kebijakan kenaikan Pendapatan Tidak Kena Pajak.

Target penerimaan perpajakan setelah pemerintah mengoreksi, pajak penghasilan (PPh) dari Rp 584,9 triliun menjadi Rp 530,7 triliun, atau turun Rp 54,1 triliun dari APBN 2013. Asumsi penurunan terbesar datang dari PPh nonmigas sebesar Rp 53,5 triliun, dari target semula Rp 513,5 triliun menjadi Rp 460,0 triliun.
Sektor perpajakan tahun 2013 menghadapi ujian berat. Ini bukan hanya dari sisi menurunnya target pendapatan dari perpajakan, melainkan juga kasus-kasus korupsi yang melanda Direktorat Jenderal Pajak.

Terlepas dari kasus korupsi yang baru-baru ini terus menimpa aparat perpajakan, saat ini merupakan pembuktian hasil dari buah reformasi perpajakan dan birokrasi yang dimulai lebih dari lima tahun lalu. Pendapatan pajak penghasilan dari orang pribadi harus meningkat dengan kepatuhan dan sistem yang mampu menjaring peningkatan penghasilan wajib pajak, khususnya menengah dan besar. Berbeda dengan wajib pajak badan yang relatif sudah terawasi, wajib pajak orang pribadi sulit untuk dideteksi penghasilan kena pajaknya karena tersebarnya informasi.

Dalam RAPBN-P 2013, penerimaan negara mencapai Rp 1.488,3 triliun. Belanja negara mencapai Rp 1.722 triliun sehingga defisit anggaran mencapai Rp 233,7 triliun. Belanja negara tersebut termasuk juga kenaikan subsidi energi dari Rp 274,7 triliun menjadi Rp 309,9 triliun. Sayangnya, defisit anggaran dalam RAPBN-P 2013 sudah mencapai limit 3 persen dari PDB. Jika tidak, pelonggaran defisit masih dimungkinkan dengan penerbitan surat utang. Kebijakan pengelolaan utang saat ini sudah cukup mapan. Sejumlah variasi kebijakan utang, baik dalam membiayai defisit, reorientasi instrumen pembiayaan, skema refinancing, penyediaan pinjaman siaga, maupun penerbitan obligasi sukuk berbasis proyek, merupakan berbagai kebijakan pengelolaan utang yang menjamin keberlanjutan fiskal.

Di tengah kesulitan pilihan kebijakan fiskal, kita semua berharap Kementerian Keuangan dan komisi terkait di DPR terus berupaya mencari alternatif yang masih ada. Prospek masih terbuka apabila koordinasi internal pemerintah solid dan komunikasi dengan DPR terus dijalin. Diseminasi ke publik, pelaku pasar dan pengamat juga harus terus dilakukan untuk menghindari persepsi negatif. Kepastian APBN-P 2013 adalah krusial menuju landasan kebijakan ekonomi yang dapat dipercaya. Sesulit apa pun kondisi dan tantangan fiskal serta ekonomi kita saat ini, insya Allah ada jalannya.***

Legislasi Parlementer-Trikameral

Legislasi Parlementer-Trikameral
Mohammad Fajrul Falaakh ;   Dosen Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta
KOMPAS, 13 Juni 2013
 
 



Keberadaan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Daerah tidak menempatkan Indonesia sebagai penganut tipe parlemen trikameral. Tak ada hubungan fungsional yang melembaga antara MPR, DPR, dan DPD yang menghasilkan suatu produk ketatanegaraan. Namun, secara khusus, ”legislasi bidang tertentu” melibatkan DPR, DPD, dan presiden.

Fenomena trikameralisme ini bersifat ganjil. Presiden-eksekutif dalam sistem presidensial ikut ambil keputusan untuk menghasilkan undang-undang bersama DPR, tanpa DPD. Peran DPD kian tereduksi sejak tahun 2004. Mahkamah Konstitusi sudah memulihkan peran DPD dan DPR berkoordinasi dengan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai implikasinya (Kompas, 28/5/2013).

Sebetulnya MPR dapat meluruskan lebih lanjut melalui rekayasa konstitusional. Tim Kerja Kajian Sistem Ketatanegaraan Indonesia, yang dibentuk sebagai alat kelengkapan MPR 2012- 2014, dapat mendalami pilihan yang tersedia. Tulisan ini membahas dua di antaranya.

Legislasi trikameral

Hubungan fungsional ”legislasi bidang tertentu” berlangsung dalam sidang bersama DPR, DPD, dan presiden di DPR, yaitu saat DPD mengajukan atau ikut membahas rancangan undang-undang (RUU) bidang tertentu menurut Pasal 22D UUD 1945. Penentuan kompetensi DPD merupakan cara membagi beban kerja legislasi. Pelaksanaannya dapat membantu pencapaian target legislasi yang cenderung menurun pada 1999-2013.

Namun, legislasi khusus ini berwatak hibrida. Keterlibatan presiden-eksekutif dalam pengambilan keputusan adalah pola parlementer lewat pintu belakang, bukan sistem presidensial atau semipresidensial.
Proses bekerjanya legislasi khusus ini dapat dibedakan dalam tiga tahapan, yaitu perencanaan, pembahasan, dan pengambilan keputusan. Perencanaan program pembentukan UU atau program legislasi nasional (Prolegnas) adalah bagian dari kewenangan DPR, DPD, atau presiden untuk mengajukan RUU.
Akan tetapi, praktik di DPR telah mereduksi kewenangan DPD, yaitu rencana Prolegnas dari DPD diperlakukan sebagai masukan kepada Badan Legislasi DPR, seperti masukan dari fraksi-fraksi DPR. MK meluruskan (Putusan Nomor 92/PUU-X/2012 tanggal 27/3/2013) bahwa rencana Prolegnas dari DPD berstatus sama dengan rencana pemerintah dan DPR.

Karena RUU tertentu dapat berasal dari DPR, DPD, atau presiden, maka tahap pembahasannya melibatkan ketiga lembaga. Putusan MK meniadakan pandangan masing-masing fraksi atas RUU usulan DPD meski MK masih membiarkan semua fraksi menyampaikan pandangan atas RUU usulan presiden.
MK juga menegaskan bahwa DPD berhak mengikuti rapat pengambilan keputusan untuk menghasilkan UU, tetapi tanpa hak suara. Hanya DPR (satu kamar parlemen) dan eksekutif yang memiliki hak suara (Pasal 20 Ayat 2 UUD 1945).

Legislasi parlementer dengan hak suara pada presiden-eksekutif ini mewarisi praktik Orde Baru. Legislasi ini berpola parlementer dan mereduksi keutuhan lembaga perwakilan. Pola ini juga berpotensi memacetkan legislasi karena mengandung rumusan zero-sum game, yaitu ketika eksekutif mengganjal legislasi (seperti kemacetan RUU Peradilan Militer sejak 2009).

Pilihan MPR

MPR dapat mengubah legislasi trikameral yang ganjil ini, misalnya menyempurnakan trikameralisme atau memurnikan fungsi presiden-eksekutif. Prinsipnya adalah mengunggulkan suara lembaga perwakilan rakyat dalam legislasi, lebih-lebih mengaku bersistem presidensial.

Trikameralisme dapat disempurnakan dengan memberikan hak suara kepada DPD. Cara ini dapat menanggulangi potensi zero-sum game pada Pasal 20 Ayat (2) UUD 1945. Penyempurnaan trikameralisme memungkinkan presiden berpihak kepada kepentingan daerah, yaitu saat partai-partai di DPR mementingkan diri sendiri. DPD dapat mendukung pemerintah menghadapi ”pembajakan” oleh partai-partai di DPR.

Permufakatan DPR-DPD dapat mencegah otoritarianisme presiden-eksekutif. Pencegahan otoritarianisme dapat dimentahkan ”koalisi presidensial” dengan parlementarianisme melalui pintu depan meski dapat dicegah melalui pemulihan hak-hak konstitusional di MK.

Pemurnian fungsi presiden-eksekutif dapat menempuh cara berikut. Pertama, RUU tertentu dapat berasal dari DPD, DPR, atau presiden, tetapi pembahasan dan pengambilan keputusan hanya dilakukan DPR dan DPD. Mekanisme pembahasan dan pengambilan keputusan DPR-DPD serta status hasil keputusan ini terhadap presiden-eksekutif juga ditentukan.

Apabila 30 persen suara abstain dan 30 persen suara menolak, maka dukungan 40 persen suara anggota DPR-DPD sudah menghasilkan UU. Akan tetapi, hasil persetujuan ini belum dapat diundangkan dan belum berdaya laku. Pengundangan dan efektivitas hukum bergantung pada sikap presiden, menerima atau menolak. Apabila presiden menerima, ia mengundangkannya.

Kedua, presiden dapat menolak UU apabila dukungan suara parlemen kurang dari 50 persen dari masing-masing jumlah anggota DPR dan DPD. DPR-DPD memulai kembali pembahasan atau pengambilan keputusan untuk meningkatkan dukungan suara. Proses dapat ditentukan berakhir, misalnya apabila keputusan didukung oleh lebih dari 50 persen dari masing-masing jumlah anggota DPR dan DPD. Dukungan suara dihitung untuk masing-masing kamar karena jumlah anggota DPD tak lebih dari sepertiga jumlah anggota DPR.

Ketiga, jika proses legislasi akan diteruskan, presiden diberi hak tolak dan proses pengambilan keputusan diulang di parlemen agar diperoleh dukungan suara lebih tinggi. Dukungan suara sebanyak dua pertiga dari masing-masing jumlah anggota DPR dan DPD ditentukan final. Presiden tak dapat menolak dan harus mengundangkannya. ***

Nasib Rupiah di Tangan BBM

Nasib Rupiah di Tangan BBM
Denni Puspa Purbasari ;   Pengajar Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM
KOMPAS, 13 Juni 2013 
 
 
 
Rupiah gonjang-ganjing. Pada dua pekan lalu, rupiah masih di bawah Rp 9.800 per dollar AS. Selasa (11/6) pekan ini, menurut catatan BI, rupiah mencapai Rp 9.860 per dollar AS. Di pasar non-deliverable forward, rupiah bahkan menyentuh angka psikologis Rp 10.000 per dollar AS. Sejalan dengan itu, Indeks Harga Saham Gabungan di Bursa Efek Jakarta melorot 3,5 persen dalam perdagangan hari itu saja, dari 4.777 menjadi 4.609.

Secara kumulatif IHSG sudah melorot sebanyak 9,2 persen sejak 16 Mei ketika rupiah belum menyentuh angka Rp 9.800 per dollar AS. Di pasar obligasi tekanan jual juga terjadi. Imbal hasil (yield) obligasi pemerintah tenor 10 tahun dan 20 tahun meningkat sekitar 35 basis poin dalam sehari dan harga obligasi pemerintah jatuh. Penurunan ini disebabkan asing menarik dananya keluar dari Indonesia yang dipicu oleh ketidakpastian perihal kebijakan harga BBM, selain itu juga karena membaiknya rapor ekonomi Amerika Serikat.

Pasar mulai menghukum
Situasi ini sesungguhnya tidak mengejutkan. Penulis (”Bermain Api dengan BBM”, Kompas, 16/2) telah memprediksi yang akan terjadi dengan rupiah bila harga BBM tidak segera dikoreksi. Sikap ”santai” yang ditunjukkan pemerintah dengan mengoper bola BBM ke Senayan jelas membuat pasar tidak nyaman. Meskipun dalam beberapa hal pasar paham politik, pasar sungguh tidak peduli pada hitung-hitungan politik. Pasar hanya melihat angka-angka dan kecenderungan.

Persoalannya, pemerintah tidak merasa harus beradu cepat dengan memburuknya ekspektasi pasar terhadap ekonomi Indonesia. Dan hari ini, pasar menghukum Indonesia. Bagi mereka, Indonesia bukanlah satu-satunya tempat menanamkan modal dan mereka pun mulai menarik dananya keluar dari Indonesia.

Pasar tampaknya merasa sudah cukup memberikan toleransi melihat perkembangan ekonomi Indonesia. Ini bisa dilihat dari pergerakan rupiah ataupun IHSG yang relatif stabil meskipun perusahaan pemeringkat utang Standard and Poor’s (S&P) menurunkan rapor prospek ekonomi Indonesia, disusul oleh ”kosongnya” kursi menteri keuangan selama beberapa saat, serta jebloknya laporan neraca pembayaran Indonesia dan realisasi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal I-2013. Pasar panik karena pemerintah tidak kelihatan panik. Sikap tenang pengambil kebijakan membuat pasar bertanya-tanya, apakah pemerintah betul-betul memahami situasi yang terjadi.

Pasar bisa jadi menganggap Pemerintah Indonesia tidak peka dengan ”alarm krisis” yang sudah berbunyi. Angka defisit neraca transaksi berjalan, misalnya, melonjak hampir 70 persen dari 3,1 miliar dollar AS pada kuartal I-2012 menjadi 5,2 miliar dollar AS pada kuartal I-2013. Lebih buruk lagi, angka neraca modal yang semula masih surplus pada kuartal IV-2012—dan menjadi penambal defisit neraca transaksi berjalan—kini sudah berubah menjadi defisit 1,3 miliar dollar AS.

Dengan berubahnya neraca modal menjadi defisit, ini berarti pertahanan keseimbangan eksternal Indonesia sudah jebol, dan satu-satunya sumber penutup defisit neraca transaksi berjalan dan transaksi modal adalah cadangan devisa.

Keseimbangan eksternal
Cadangan devisa Indonesia pada akhir 2012 ditutup sebesar 112,7 miliar dollar AS. Namun, dalam waktu tiga bulan, cadangan devisa kita sudah melorot ke tingkat 104,8 miliar dollar AS. Ini membuat posisi rasio utang luar negeri jangka pendek terhadap cadangan devisa Indonesia naik menjadi 50,6 persen—memburuk dari kuartal sebelumnya, yaitu 48,5 persen.

Artinya, jika terjadi kepanikan di pasar dan seluruh utang luar negeri jangka pendek ditarik oleh investor, cadangan devisa kita akan turun 50,6 persen atau hanya tertinggal sekitar 52 miliar dollar. Dengan jumlah ini kita hanya bisa membiayai impor dan utang luar negeri pemerintah kurang dari tiga bulan. Pemerintah dapat mengatakan apa pun mengenai ekonomi Indonesia, tetapi angka-angka ini tidak bisa berbohong bahwa kondisi keseimbangan eksternal Indonesia memburuk.

Dengan semua kecenderungan ini, cepat atau lambat investor akan mencabut dananya. Bila ini terjadi secara masif dan cepat seperti yang terjadi pada Selasa lalu, ekonomi Indonesia yang telah dibangun secara susah payah sejak 2001 bisa kembali tersungkur. Bagi orang kebanyakan, prediksi ini barangkali dianggap terlalu pesimistis atau mengada-ada. Namun, apa yang terjadi pada seminggu terakhir semestinya lebih dari cukup dari sekadar peringatan.

Dan semua masalah ini bersumber dari BBM. Sejak 2008 harga BBM tidak dinaikkan meskipun harga minyak mentah mengalami lonjakan. Harga BBM murah ikut menyumbang pada membengkaknya konsumsi BBM nasional, yang sebagian besar dipenuhi dari impor. Akibatnya, pada kuartal I-2013 kita mengimpor minyak 10,8 miliar dollar AS (naik dari 9,9 miliar dollar AS pada kuartal I-2012) dan menciptakan defisit neraca minyak sebesar 6,5 miliar dollar AS.

Investor semakin galau ketika beberapa partai politik/politisi justru menggunakan isu BBM sebagai panggung untuk kepentingan elektoral. Para politisi ini yakin APBN tidak akan jebol bila harga BBM tidak dinaikkan. Mereka berpegang pada argumen bahwa kenaikan harga BBM akan menyengsarakan rakyat karena harga-harga akan menyusul naik. Kenyataannya, kebijakan subsidi BBM itu sendiri secara inheren keliru dan perlu dikoreksi. Jadi, persoalannya bukan lagi hanya soal cukup atau tidaknya uang pemerintah untuk membayar subsidi. Selain itu, memang tidak ada alternatif solusi lain yang dapat mengatasi krisis APBN ini dengan cepat dan tuntas kecuali menaikkan harga BBM.***

Rakyat Jelata, Sejarah dan Perjuangan

Rakyat Jelata, Sejarah dan Perjuangan
Iqra Anugrah ;   Mahasiswa Doktoral Ilmu Politik di Northern Illinois University, AS
IndoPROGRESS, 12 Juni 2013
 
 


SEORANG pejabat terkemuka di Republik kita baru saja meninggal dunia. Kepergiannya langsung disambut oleh ratusan pesan pendek, ucapan belasungkawa, liputan yang ekstensif dari media massa dan barisan karangan bunga. Perlu dicatat, saya tidak sedang mempermasalahkan ucapan belasungkawanya, yang merupakan bagian dari hak dan kewajiban kita sebagai manusia. Yang saya persoalkan lebih pada glorifikasi atas pejabat tersebut.

Belum lama ini juga, di tengah-tengah kebingungan para elit Indonesia atas ‘krisis kepemimpinan’ di antara mereka, beberapa figur pejabat publik dengan ‘reputasi internasional,’ yang memiliki ‘integritas’ dan ‘profesionalisme’ digadang-gadang sebagai ‘figur alternatif’ untuk pemilu presiden 2014 mendatang. Berbagai tokoh alternatif ini, terlepas dari berbagai perbedaan mereka, memiliki satu kesamaan: para pendukungnya selain datang dari kelompok elit predatoris dan kelas menengah reaksioner, atau gabungan dari keduanya.

Di saat hiruk-pikuk dan gegap-gempita ucapan belasungkawa, transaksi politik dan proses saling dukung mendukung, serta manuver-manuver politik menjelang ajang pemilu, kita menyaksikan betapa semakin langkanya pemberitaan mengenai rakyat miskin yang meninggal karena kelaparan, buruh yang mengalami ketidakadilan kerja, kaum tani yang dirampas haknya, hingga kelompok minoritas keagamaan yang terusir dari rumah ibadah dan kampungnya sendiri. Tuduhlah saya sebagai seorang romantik, namun saya pikir kita patut kesal terhadap keadaan ini. Karena itu selama koran, televisi dan media masih melaporkan pertumbuhan dan bukannya kesenjangan ekonomi, naik-turunnya harga saham dan bukannya harga-harga kebutuhan pokok, upacara dan penghargaan para pejabat dan bukannya pelanggaran atas hak-hak sipil dan politik warga biasa dan menganggap kemiskinan serta pelanggaran HAM sebagai statistik belaka, maka kita patut kesal – dan karenanya kita, rakyat jelata, perlu menulis sejarah kita sendiri.

Fenomena glorifikasi elit, usianya jauh melampaui umur Republik. Juga bukan cerita eksklusif Indonesia semata. Dalam berbagai narasi tentang perang dari zaman Kekaisaran Romawi hingga invasi Iraq, sejarah pada dasarnya adalah cerita yang didominasi oleh para elit. Sejarah dan politik bercerita tentang ‘orang-orang besar,’ para tokoh yang menggerakkan roda zaman dan perubahan. Rakyat jelata dan orang-orang biasa hanyalah catatan kaki, atau mungkin lebih parah lagi, referensi yang tak terpakai dalam proses penulisan sejarah. Parahnya lagi, kultus individu dan mesianisme merebak terus.

Penyakit ini juga menjangkiti semua kelompok: Stalin mengkhianati Revolusi Bolshevik; Partai Komunis Cina mempromosikan Neoliberalisme di China; Revolusi Iran menghasilkan rezim yang represif; dan berbagai gerakan pembebasan nasional menghasilkan negara-negara poskolonial dengan berbagai macam masalah yang tak kunjung usai.

Agar kita tidak terlalu lama mengernyitkan dahi dan mengelus dada, mari kita mencari petunjuk ke dunia lain: seni dan sastra.

Seni dan sastra bisa menjadi sumber inspirasi bagi perjuangan dan kritik terhadap mereka yang berkuasa. Namun, ia tak melulu berbicara mengenai hal-hal yang ‘berat,’ seperti politik dan partai. Justru, seni dan sastra terkadang banyak berbicara mengenai keindahan dan kejenakaan dari hal-hal yang bersifat keseharian – hal-hal yang kemudian menjadi pendorong pergerakan dan pengingat akan pentingnya perjuangan.

Tak percaya? Coba simak kisah Alberto ‘Mial’ Granado dan Ernesto ‘Fuser’ Guevara dalam kisah The Motorcycle Diaries. Ini adalah catatan harian Fuser, kemudian diangkat menjadi film, yang berkisah tentang petualangan dua anak muda nekat ‘menaklukkan’ jalanan benua Amerika Latin dengan mengendarai motor. Melalui petualangan itu, Fuser – yang kemudian lebih dikenal sebagai ‘Che’ (‘kawan’ dalam Bahasa Spanyol dialek Argentina) Guevara – dan Mial, mendulang banyak sekali inspirasi dari pertemuan dengan ‘orang-orang biasa’ dari berbagai negara dan karya-karya sastra yang mengangkat kehidupan orang-orang biasa tersebut. Dalam buku hariannya itu, Che bercerita bagaiamana ia kerapkali meluangkan waktu untuk membaca puisi-puisi karya Federico Garcia Lorca atau Pablo Neruda. Di versi layar lebarnya, Che digambarkan sering melantunkan barisan-barisan puisi, kemudian Mial atau orang yang kebetulan mereka tumpangi kendaraannya, akan menebak-nebak: Garcia Lorca? Neruda?
Kebetulan, dua penyair berbahasa Spanyol itu memiliki kesamaan dalam kegemaran mereka mengangkat cerita dan kisah sederhana tentang alam, tradisi, dan kehidupan rakyat jelata.

Dari negeri sendiri, coba simak syair dan puisi dari Wiji Thukul, seorang intelektual organik kelas pekerja Indonesia. Thukul dikenang karena orisinalitas dan militansinya, yang terpatri dalam frase dan ungkapan seperti ‘hanya ada satu kata, lawan!’ atau ‘aku pengin meledak sekaligus jadi peluru’. Namun, orang lupa dengan sisi Wiji Thukul yang lain. Dalam pengantarnya dalam salah satu buku kumpulan puisi Wiji Thukul, Mencari Tanah Lapang, Arief Budiman mengungkapkan bahwa Wiji ‘Bukan mau menjadi pahlawan kaum miskin di dunia ini. Dia cuma mau bercerita tentang nasibnya yang tidak kunjung bertambah baik.’ Berangkat dari keinginan yang sederhana ini, ‘tiba-tiba Wiji Thukul menjadi penyair nasional…juga internasional. Padahal Wiji Thukul cuma ingin menulis puisi kampung.’
Dalam dunia seni lukis, ada juga Affandi. Pelukis yang sering dilabeli sebagai bagian dari aliran ekspresionisme itu, suatu label yang seringkali ia pertanyakan, sering mengangkat tema-tema sederhana, seperti para pengemis, orang-orang tak berumah, atau terkadang dirinya sendiri.
Kembali ke perbincangan kita sebelumnya soal sejarah. Dalam pandangan saya, para seniman tersebut adalah pengingat: perubahan tidak selalu berasal dari hal-hal ‘besar’ dan ‘berat.’ Ia tidak selalu identik dengan sejumlah tangan yang mengepal di udara, atau suara-suara lantang yang menyanyikan lagu-lagu mars perjuangan. Terkadang, ia berangkat dari hal-hal yang sederhana, seperti menyapa dan belajar dari banyak orang biasa, dari mereka yang terpinggirkan dan dianggap ‘tidak tahu apa-apa’ oleh paradigma developmentalis ala teori modernisasi dan ambivalensi kelas berpunya dan kelas menengah.

Oleh karena itu, sejarah tidak musti melulu bercerita tentang ‘orang-orang besar’ yang mengubah dunia. Ia juga bisa bercerita tentang para buruh dan tani, kaum budak, masyarakat asli dan berbagai kaum minoritas lainnya yang terpinggirkan dalam sejarah. E.P. Thompson, sejarawan Marxis terkemuka asal Inggris, misalnya, dalam magnum opus-nya, The Making of the English Working Class, membahas tentang kelas bukan hanya sebagai kategori sosial, namun juga sebagai proses dan kesamaan pengalaman yang kemudian membentuk suatu identitas kelas buruh di Inggris. Thompson mengingatkan kita bahwa kelas buruh bukanlah sebuah kategori statistik atau abstraksi teoretik belaka, melainkan sebuah entitas sosial yang hadir dan tumbuh karena suatu proses sejarah. Ada agency atau peranan kelas buruh itu sendiri di sana.

Dalam kajian-kajian tentang kaum petani, James C. Scott dan Benedict Kerkvliet juga menunjukkan bagaimana kaum tani, di tengah-tengah proses eksploitasi yang dilakukan oleh institusi negara dan pasar, rupa-rupanya mampu melakukan perlawanan, meskipun secara kecil-kecilan dan simbolik, melalui apa yang disebut sebagai everyday forms of resistance atau perlawanan keseharian, seperti tindakan mengemplang pajak, mengurangi jumlah dan kualias setoran hasil panen wajib, dan lain sebagainya. Beberapa kajian antropologis, seperti yang diungkapkan oleh antropolog radikal David Graeber dalam rekaman kuliahnya, juga menunjukkan bagaimana praktek-praktek politik di beberapa kelompok masyarakat adat membuka peluang bagi bentuk-bentuk praktek politik yang lebih demokratis, deliberatif dan egaliter – seperti proses rapat dan pengambilan keputusan yang meskipun memakan waktu lama, namun memastikan bahwa setiap anggota komunitas mendapat kesempatan untuk menyuarakan pendapat dan berkontribusi.

Namun, ada pertanyaan penting yang terlewatkan di sini: berangkat dari cerita tentang perubahan dan perlawanan yang bersifat lokal dan partikular, tidakkah kita melewatkan ‘tujuan utama’ kita untuk melakukan transformasi sosial yang lebih besar? Menurut saya, ini pertanyaan yang cukup mengena. Gugusan perjuangan yang bersifat lokal harus bertransformasi menuju perjuangan yang bertujuan dan berskala lebih besar. Tetapi, dalam hemat saya, beberapa hal perlu diperhatikan di sini.

Pertama adalah tantangan dalam melewati dan melampaui logika negara. Sejarah menunjukkan, seringkali perebutan institusi negara oleh gerakan rakyat tidaklah cukup. Dari berbagai kajian mengenai negara, saya pikir buku James C. Scottt, Seeing Like a State, adalah pengingat yang baik tentang bagaimana perebutan institusi negara oleh kaum High Modernists atau ‘Modernis Tinggi,’ mereka yang percaya akan proses pembentukan negara (state formation) dan pembangunan yang bersifat top-down, dengan segala variasinya, pada akhirnya justru akan melemahkan dan bahkan melumpuhkan gerakan rakyat itu sendiri. Scott kemudian berkesimpulan bahwa proses-proses politik membutuhkan penghargaan akan metis atau pengetahuan yang bersifat lokal – tentunya tanpa terjebak oleh ‘idealisasi’ dan pandangan yang esensialis atas apa-apa yang disebut sebagai pengetahuan lokal tersebut.

Kedua, perlawanan dan narasi yang bersifat lokal, particular, dan keseharian sesungguhnya bisa ditempatkan dalam narasi sejarah yang bersifat lebih besar dan universal. Tiap-tiap tempat dan daerah punya ‘hukum’ dan konteksnya sendiri, namun bukan berarti kita tidak bisa mengambil abstraksi dan refleksi dari gugusan perlawanan lokal tersebut. Perlawanan dan narasi ‘kecil-kecilan’ ini sesungguhnya merupakan bagian dan kesinambungan dari apa-apa yang dilakukan oleh kaum Jacquaries di Perancis, levellers dan chartists di Inggris, dan petani penggarap serta masyarakat adat mulai dari zaman Yunani Kuno hingga di berbagai belahan Dunia Ketiga.

Tentunya, perlawanan juga adalah proses dan praktek pembelajaran. Kita musti berhati-hati agar ia tidak terjebak menjadi semacam ‘ratu-adil-isme’ atau romantisme ala anak muda yang baru belajar. Untuk mengujinya, tentu tidak bisa hanya sekedar bergelut di ranah produksi pemikiran atau diskusi wacana-wacana terbaru. Karenanya politik menjadi keniscayaan dan proses yang senantiasa dialektis.
Dalam kaitannya dengan hal tersebut, Walter Benjamin mengingatkan bahwa selain optimisme akan masa depan yang lebih baik, kita juga perlu mengaitkan ‘yang sekarang’ (the present) dengan ‘yang lalu’ (the past). Kenangan akan kekalahan dan terkubur dalam narasi sejarah juga akan mendorong kita melangkah lebih jauh.***

Masih Perlukah Berwisata ke Bali ?

Masih Perlukah Berwisata ke Bali ?
Wayan Windia ;   Wartawan dan Wakil Ketua PWI Bali
SINAR HARAPAN, 12 Juni 2013 
 
 
 
 
Pulau Bali sudah mulai dikenal sejak awal abad ke-20, berkat buku karya Miguel Cavarubias, yang terbit pada 1937. Judulnya, The Island of Bali. Duo-sejoli, Covarubias dan Walter Spies (pelukis), berjasa besar dalam pengembangan pariwisata di Bali.

Mereka telah membangun image Bali yang spesifik dan mampu mengundang minat wisatawan untuk berkunjung. Atas jasa-jasanya, kemudian Bali dikenal dengan puja-puji sebagai the island of God, the thousand of tamples, the last paradise of the world, visit Bali before you are die, dan lain-lain.

Gelombang wisatawan mulai bertubi-tubi, sejak awal l970-an, yang diawali dengan beroperasinya Hotel Bali Beach di Sanur. Sejak saat itu, kedatangan investor dan wisatawan ke Bali sudah sangat sulit dikendalikan. Nilai investasi dan jumlah kedatangan wisatawan ke Bali bahkan dijadikan ukuran sukses-tidaknya sebuah pemerintahan.

Apa yang kini terjadi di Bali? Banyak kegelisahan sosial, sebagai dampak dari kapitalisme pengembangan kepariwisataan di Bali. Ketua Bali Tourism Board (BTB), Ida Bagus Wijaya menyatakan, perkembangan pariwisata di Bali akhir-akhir ini telah menjadi pariwisata yang kapitalistis.

Wisatawan yang datang ke Bali memang masih meningkat, namun para wisatawan itu cenderung dikuasai kapitalis. Sementara itu, peneliti di FE Unud, Prof Suyana Utama, membenarkan jumlah wisatawan ke Bali masih meningkat. Namun, persentase peningkatannya mulai menurun.

Dalam bahasa ekonomi disebut dengan deminishing return. Sementara itu, lama-tinggal wisatawan di Bali sudah jauh menurun. Sepuluh tahun lalu, lama tinggal wisatawan di Bali rata-rata dua minggu. Namun, saat ini lama tinggalnya hanya 2-3 hari.

Gejala yang disebutkan di atas menunjukkan bahwa wisatawan memang mulai enggan datang ke Bali. Mulai banyak keluhan wisatawan, yang menyatakan Bali sudah mulai banyak berubah. Hal itu memang sebuah kenyataan.

Pemandangan sawah sudah mulai langka, gedung-gedung tinggi mulai bertebaran, gedung yang memakai arsitektur Bali mulai lenyap, macet total sudah mulai sering terjadi, kejahatan (pembunuhan, perampokan, pencurian) yang menimpa turis sudah semakin sering terjadi, HIV/AIDS merajalela, intrusi air laut sudah meleleh ke mana-mana, sempadan pantai sudah mulai banyak dijarah, sempadan sungai dan jurang juga dijarah, dan berbagai ketidaknikmatan lainnya mulai bermunculan.

Semua hal ini terjadi karena daya dukung Bali sudah melampaui ambang batas. Tim Sceto Prancis sudah sejak lama (l985) menyatakan bahwa Bali hanya perlu 24.000 kamar hotel internasional.

Namun, saat ini jumlah hotel bertaraf internasional di Bali sudah mencapai 80.000 kamar. Bahkan, kini pembangunan hotel (city hotel) semakin merajalela. Tampak tidak ada usaha pengaturan dari pemda, misalnya mengadakan moratorium. Hal ini mungkin karena pemda masih silau dengan besaran PAD, APBD, dan PDRB.

Pariwisata-kapitalis menyebabkan usaha-usaha kecil mati. Banyak toko kesenian, pasar seni, dan seniman kecil di kampung, dan lain-lain yang mati suri, karena dikalahkan pasar oleh-oleh kaum kapitalis. Secara makro, hal ini juga dibuktikan dengan semakin timpangnya pendapatan masyarakat di Bali. Ketimpangan pendapatan penduduk adalah salah satu ciri dari penerapan konsep kapitalisme.

Sementara itu, pemerintah semakin tergila-gila untuk melayani kaum kapitalis dengan membangun berbagai sarana dan prasarana untuk kepentingan pariwisata. Pembangunan jalan dan lain-lain telah memaksa nilai sawah semakin tinggi.

Kemudian nilai pajak (PBB) semakin meninggi, dan akhirnya petani tidak bisa membayar pajak, karena pendapatannya yang menurun atau stagnan. Terpaksa petani harus menjual lahan sawahnya karena tidak tahan terhadap intervensi pemerintah dan investor. Kondisi lahan sawah yang semakin menyusut, menyebabkan wajah Bali semakin bopeng, subak semakin hilang, dan budaya Bali semakin pudar.

Dengan kondisi seperti itu, apakah masih relevan untuk berkunjung dan berwisata ke Bali? Kalau masih mengasihani Bali, tampaknya Anda tidak perlu datang ke Bali, agar Bali tidak semakin rusak dan terjerembab. Silakan datang berwisata ke Makassar (Sulawesi), Lombok, Sumbawa, dan Flores.

Di pulau-pulau itu pasti masih lebih asri dan orisinal. Kedatangan wisatawan ke pulau-pulau itu (beyond Bali), akan lebih mendorong pemerataan pembangunan dan pemerataan pendapatan di Indonesia. Untuk itu modal yang akan digunakan untuk rencana pembangunan bandara di Bali Utara (Buleleng), sebaiknya dialihkan ke Flores.

Di sana masih ada objek wisata Danau Tiga Warna, Pulau Komodo, musim memburu paus, budaya sosial dengan latar belakang agama Katolik, rumah bekas tahanan Bung Karno, dan lain-lain.

Pemerataan pembangunan di Indonesia sangat penting, untuk mencegah kasus-kasus pemberontakan separatis yang pernah terjadi di awal kemerdekaan, dan masih terjadi hingga kini. Sudah banyak wacana yang ngiri terhadap pembangunan yang berlebihan di Jawa dan Bali.

Kalau pembangunan lebih difokuskan ke luar Jawa dan Bali, migrasi ke Bali akan sangat berkurang. Mantan Gubernur Bali Ida Bagus Oka mengatakan migrasi yang datang ke Bali adalah embrio dari kejahatan yang terjadi di Bali. Untuk itu, mari kita setop pembangunan fisik di Bali yang lebih menguntungkan kaum kapitalis, dan kemudian setop/kendalikan kedatangan kaum wisatawan ke Bali.

Wisatawan ke Bali perlu fokus hanya pada wisatawan yang mencintai kebudayaan. Tidak perlu banyak, namun lama-tinggalnya harus panjang, tinggal di pedesaan, dan menguntungkan pendapatan masyarakat desa. Tampaknya hanya dengan cara ini, eksistensi di Bali akan berlanjut.***

Kemelut Politik Turki

Kemelut Politik Turki
Chusnan Maghribi ;   Alumnus Hubungan Internasional FISIP
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY)
SUARA MERDEKA, 12 Juni 2013 
 
 


ATMOSFER politik di Republik Turki kembali memanas menyusul demonstrasi berskala besar secara terus-menerus sejak 31 Mei 2013, setelah sebelumnya berlangsung dalam skala kecil. Mereka memprotes rencana pemerintah membangun apartemen dan pusat perbelanjaan di Gezi Park, satu-satunya lahan terbuka hijau yang masih tersisa di Istanbul.

Protes itu kelanjutan sebelumnya, me­nyang­kut ketidaksetujuan terhadap sejumlah kebijakan pemerintah, seperti pembatasan (pe­ngetatan) promo dan penjualan minuman ber­alkohol, pembangunan bandara ketiga di Istan­bul, jembatan ketiga Bosphorus di atas Selat Istanbul, serta pembangunan kanal yang meng­hubungkan Laut Hitam dengan Laut Marmara yang dinilai makin memperparah kerusakan lingkungan di utara kota terbesar di Turki itu.

Namun kekerasan dari aparat kepolisian hingga menewaskan 4 demonstran dan melukai ribuan lainnya itu, menyulut kemarahan warga sehingga mereka ikut bergabung memprotes pemerintah pimpinan Perdana Menteri (PM) Recep Tayyip Erdogan.

Kemelut politik Turki berkembang menjadi lebih serius setelah pengunjuk rasa menolak permintaan maaf Wakil PM Bulent Arinc, dan demonstrasi merambah ke kota lain, semisal Ankara, Izmir, Mugla, dan Antaly. Pengunjuk rasa mencakup berbagai kalangan dan profesi: dari dokter, guru, pekerja seni, buruh pabrik dan tambang, hingga pekerja galangan kapal.

Perkembangan terbaru, pada 9 Juni 2013 ribuan suporter sepak bola ikut bergabung berunjuk rasa di Taksim Square, episentrum aksi demo menentang pemerintahan Erdogan yang dianggap antikritik. Tuntutannya pun meluas sampai pada pembubaran pemerintahan Partai Keadilan dan Pembangunan (Adalet ve Kalkinma Partisi/ AKP) berhaluan Islam di bawah PM Erdogan.

Akankah demonstrasi skala besar yang digalang kalangan sekularis-liberalis tersebut memaksa Erdogan membubarkan pemerintahan dan menyelenggarakan pemilu dini? Atau, aksi demo itu mengundang militer ''turun gelanggang'' mengudeta pemerintahan AKP?

Apabila situasi terus memburuk: satu sisi pemerintahan Erdogan ngotot bertahan, tidak menggubris kritik ataupun tuntutan demonstran, dan di sisi lain pengunjuk rasa terus me­lanjutkan demo, tak menutup kemungkinan militer ''turun gunung'' mengudeta pemerintahan Erdogan. Dengan dalih menyelamatkan ideologi sekuler negara, militer Turki diperkirakan tak sungkan terang-terangan memihak demonstran dan bertindak kontrademokrasi dengan mengudeta pemerintahan sah yang berda­sar­kan hasil pemilu Juni 2011. Dalam pemilu dua tahun lalu itu, AKP meraup 326 kursi parlemen (49,9%).

Pemilu Dini
Sepanjang sejarah Turki modern (sejak 1923), militer di republik seluas 780.576 km2 itu sudah kali keempat mengudeta pemerintahan sipil, yaitu tahun 1960, 1971, 1980, dan 1997. Semua dilakukan demi menjaga amanat konstitusi 1923, khususnya terkait kelangsungan sekularisme negara warisan pendiri Turki modern, Mustafa Kemal Ataturk.

Erdogan tentu tak menghendaki kemungkinan buruk itu terjadi. Karenanya, meski berat hati Erdogan diperkirakan membubarkan pemerintahan sekaligus mengumumkan se­gera menggelar pemilu dini, terutama jika de­monstran terus menggelar unjuk rasa dalam skala besar.

Kurang lebih sama seperti keputusan yang pernah dilakukan pada pertengahan 2007, saat menghadapi keputusan kontroversial pengadilan konstitusi yang membatalkan kemenangan jago AKP Abdullah Gull dalam pemilihan presiden (pilpres) putaran pertama di parlemen. Keputusan pengadilan konstitusi kala itu didukung oposisi melalui rangkaian aksi demo yang dimotori partai sekuler Cumhuriyet Halk Partisi (CHP) pimpinan Kemal Kilicdaroglu. Dalam pemilu dini yang digelar 22 Juli 2007, AKP menang cukup telak, meraih 341 kursi legislatif, hampir dua per tiga dari 550 kursi parlemen.

Menggelar pemilu dini bisa mencegah militer bertindak kontrademokrasi, mengudeta pemerintahan Erdogan. Itulah opsi politik yang kemungkinan diambil PM Recep Tayyip Erdogan. Terutama bila sampai beberapa hari ke depan ribuan demonstran terus berunjuk rasa, guna mengakhiri kemelut politik Turki yang sejatinya merefleksikan kelanjutan pertarungan lama antara kalangan sekularis versus blok Islamis di negeri yang kini berpopulasi kurang lebih 76 juta jiwa.***

Pejabat Gaptek dan Etos Bangsa


Saratri Wilonoyudho ;   Anggota Dewan Riset Daerah (DRD) Jawa Tengah
SUARA MERDEKA, 12 Juni 2013 
 
 



“Pembudayaan manajemen modern mestinya secara inheren harus memacu mutu pelaku menjadi lebih profesional”

PEMUKULAN pramugari Sriwijaya Air oleh Kepala Dinas Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah (BKPMD) Bangka Belitung (Babel) kini memasuki tahap penuntutan hukum. Pejabat itu memukul gara-gara ditegur awak pesawat itu supaya mematikan ponsel ketika pesawat akan tinggal landas. Dalam dunia penerbangan ada larangan mengaktifkan ponsel dan alat elektronik lain karena mengganggu komunikasi penerbangan. Artinya, pengabaian atas ketentuan itu membahayakan keselamatan penerbangan.

Kasus pejabat gagap teknologi (gaptek) dalam arti luas itu, termasuk di dalamnya ada unsur arogan, ha­nyalah puncak dari gunung es lain. Sering kita mangkel di angkutan umum misalnya, ada penumpang menggunakan ponsel dengan suara keras dan omongannya ''tidak bermutu''. Demikian pula dalam suasana yang butuh ketenangan, seperti seminar atau di tempat ibadah, tiba-tiba ada ponsel berdering, dan bunyinya pun ingar-bingar. Kita boleh menduga pemilik ponsel itu gaptek karena mestinya bunyi dering bisa disetel menjadi nada getar.

Deretan peristiwa itu menunjukkan kesenjangan budaya bangsa kita terhadap kehadiran teknologi mo­dern. Berbeda dari Barat yang mengalami proses evolutif untuk menuju budaya teknologi tinggi, sebaliknya kita mengalami proses revolusioner dengan kehadiran teknologi tinggi.

Etos Kerja
Tahun 1990-an ponsel masih jarang, apalagi laptop atau internet. Namun kini siapa pun hampir memiliki ponsel. Karenanya, mengherankan jika seseorang yang kelihatan perlente, termasuk pejabat, tak dapat memaksimalkan manfaat fitur dari peranti teknologi yang ia beli. Dengan bangga ia tunjukkan laptop paling canggih, namun ketika ditanya apa yang ia manfaatkan, ternyata hanya untuk mengetik dan browsing lagu atau gambar. Demikian pula kecanggihan ponsel dan alat elektronik lainnya hanya sebatas untuk chatting perkara remeh-temeh.

Ada beberapa peristiwa yang melatarbelakangi mengapa bicara soal etos (kerja) bangsa menjadi penting. Pertama; kita masih ingat etos kerja seorang anggota DPR yang kedapatan menonton video porno di ruang sidang paripurna. Alasannya, sebagaimana dilansir televisi swasta: sidang menjemukan. Alasan itu seperti menohok diri sekaligus mutu sidang DPR. Kedua; etos birokrasi Pemprov Jateng yang meng-copy paste laporan pertanggungjawaban yang membuat malu Gubernur Bibit Waluyo.

Dua kasus ini cukup menunjukkan betapa mereka yang digaji tinggi dan disumpah untuk bekerja baik demi negara dan bangsa, memiliki etos kerja sangat rendah. Tudingan ini dapat diperpanjang dengan kasus meledaknya kilang minyak di Cilacap atau kualitas pelayanan birokrasi terhadap rakyat, seperti jalan yang baik, angkutan umum yang nyaman, sampai soal kesejahteraan.

Fenomena gaptek terjadi karena budaya kerja industrial modern yang mestinya profesional, dihayati dalam etos kerja budaya feodal agraris. Penerapan teknologi modern butuh budaya kerja profesional, disiplin, kecermatan, perhitungan matematis, efisiensi dan efektivitas kerja, rasionalitas,dan kinerja individual yang cerdas.

Etos kerja (menurut Weber), etos kerja yang tinggi (need achievement menurut David McClelland), etos Bushido, etos zaman Renaisans, dan Restorasi Meiji, merupakan pendorong utama kelahiran asketisme intelektual yang menekankan kerja sama yang tinggi, etos kerja kuat, disiplin, tanggung jawab, loyalitas, rasionalitas, peningkatan kinerja individual, hemat, cermat, orientasi kepada kepuasan dan perasaan self-fulfillment.

Menurut Prof Dr Sartono Kartodirdjo (1988) etos bangsa adalah totalitas kebiasaan yang terwujud dalam segala sikap dan kelakuan manusia. Etos ini perlu diarahkan ke realisasi eksistensi bangsa agar tak hanya meningkat taraf hidup, namun juga mempertinggi kualitas hidup dan martabat.

Etos bangsa tampaknya juga terusik dengan makin sukanya masyarakat kita bertindak instan. Dalam bahasa ilmiah harus ada ìetos kerjaî yang mengacu kepada inner-worldly orientation (orientasi kepada dunia batin) dan this-worldly orientation (duniawi-material). Jika dua hal itu diseimbangkan maka akan muncul self-fulfillment dan self-realization, yakni kepuasan batin.

Dalam istilah Gordon Allport dan Da­vid Riesman, motivasi kuat untuk meraih cita-cita (inner-directed), membawanya kepada perasaan penuh optimisme. Ma­nusia adalah the center of human actio­n, pinjam istilah Megawangi (1995), yang mencurahkan segala energinya untuk mewujudkan mimpinya itu.

Berbagai kasus unjuk kerja bangsa ini apakah merupakan representasi etos kerja bangsa yang kini kian memudar? Penting untuk menjawab pertanyaan itu karena dalam segala bidang kehidupan, unjuk kerja bangsa kita terlihat kalah. Pada pemerintahan misalnya, sudah tidak ada unjuk kerja yang melayani rakyat sebagaimana tercermin dari tingginya angka korupsi dan kengototan wakil rakyat meraih keuntungan materi.

Pada bidang olahraga juga tak tampak prestasi membanggakan. Demikian pula dalam dunia pendidikan, amat sunyi karya tulis intelektual yang indikatornya ditunjukkan oleh keminiman buku yang diterbitkan. Dengan kata lain, pembudayaan manajemen modern mestinya secara inheren juga harus memacu mutu pelaku lebih profesional. Demikian pula jika berbicara soal manajemen dalam mengelola teknologi tinggi. Manajemen ini juga menyangkut mutu dan profesionalitas pelaku, sekaligus watak budayanya. ***

Insiden Jeddah Jangan Terulang Lagi

Insiden Jeddah Jangan Terulang Lagi
Anis Hidayah ;   Direktur Eksekutif Migrant Care 
SUARA KARYA, 12 Juni 2013


Rasanya pemerintah perlu melakukan investigasi secara menyeluruh untuk mengusut akar masalah pemicu kerusuhan ribuan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) di Jeddah, Arab Saudi. Ini penting agar peristiwa yang mencoreng nama Indonesia di dunia internasional itu tidak terjadi lagi.

Bentuk investigasi bukannya hendak menyalahkan dan mengkriminalisasi buruh migran yang mengekspresikan kemarahannya. Tetapi, yang terpenting, melalui investigasi akar masalah insiden kerusuhan yang diikuti aksi pembakaran itu bisa terungkap. Apakah benar akibat kelambanan dan ketidakseriusan perwakilan Indonesia dalam pemrosesan dokumen amnesti.

Kalau dicermati, insiden kemarahan buruh migran Indonesia di KJRI Jeddah merupakan puncak akumulasi kemarahan terhadap bobroknya pelayanan selama masa amnesti (pengampunan). Satu hal yang perlu diperhatikan, dalam menghadapi kebijakan amnesti dari Pemerintah Arab Saudi, Pemerintah Indonesia terkesan lamban dan ragu untuk mengantisipasi puluhan ribu TKI atau buruh migran yang tengah memproses pemutihan dokumen di KJRI Jeddah.

Dalam hal ini, proses pemutihan dokumen bagi seluruh buruh migran memerlukan pelayanan prima dan tanpa diskriminasi. Selain menambah sumber daya manusia (SDM) yang memadai, juga perlu dilakukan evaluasi lebih lanjut atas kinerja KJRI Jeddah dan KBRI Riyadh selama masa amnesti, terutama dalam pelayanan dokumen.

Bagaimanapun, keseriusan pemerintah pusat untuk mendukung terselenggaranya pelayanan pengurusan dokumen selama masa amnesti sangat penting. Pemerintah perlu segera melakukan langkah-langkah proaktif kepada Kerajaan Arab Saudi agar memberikan perpanjangan waktu amnesti dan tidak mempersulit pemutihan dokumen TKI.

Kasus TKI overstay terjadi sudah lama. Namun, strategi untuk mengatasi masalah itu tidak pernah tuntas hingga setiap tahun selalu kembali diributkan. Barangkali pemerintah perlu mempertimbangkan pemberian izin kepada KBRI/KJRI untuk dapat menerbitkan paspor kepada WNI yang masih ingin bekerja dengan bersyarat (bukan SPLP).

Di lain pihak, loket-loket pelayanan di wilayah lain perlu dibuka selain di KBRI Riyadh dan KJRI Jeddah. Kalau perlu, menyediakan jalur telepon khusus dan prosedur resmi yang diterbitkan KBRI/KJRI berisi langkah-langkah proses amnesti, baik bagi TKI yang ingin pulang maupun yang menetap di Arab Saudi. Pihak keamanan Indonesia seperti intelijen pun perlu dilibatkan untuk mengantisipasi ulah para calo. Di samping itu, penambahan personel (dengan melibatkan sukarelawan) untuk pelayanan di loket-loket.

Yang tak boleh dilupakan, tenda-tenda kesehatan lengkap dengan tim medis perlu dibuka bagi WNI yang pingsan atau kelelahan saat mengurus pemutihan. Ini mengingat cuaca di Arab Saudi saat ini, pada siang hari mencapai 45-50 derajat, malam 35 derajat. Ini penting demi jaminan kesehatan WNI dan agar kerusuhan tidak terulang lagi.

Peristiwa Jeddah jelas sangat memprihatinkan. Padahal, kemarahan para TKI sesungguhnya dapat dihindari apabila pemerintah dapat mengantisipasi kemungkinan meningkatnya permohonan surat perjalanan laksana paspor (SPLP) dari para TKI terkait program amnesti. ***