Jumat, 31 Mei 2013

KLB dan Hukum Besi Oligarki SBY

KLB dan Hukum Besi Oloigarki SBY

Damang Averroes Al-Khawarizmi; Peneliti Republik Institute 

dan Co-Owner negarahukum.com

Tribun Timur, 4 April 2013


Antiklimaks penetapan siapa yang layak memegang jabatan Ketua Umum Partai Demokrat (PD) akhirnya terjawab sudah. Melalui Kongres Luar Biasa yang dihelat oleh barisan PD kemarin. di Pulau Dewata (Bali). Mengukuhkan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), terpilih secara aklamasi sebagai Ketua Umum PD.

Terpilihnya SBY sebagai Ketua Umum PD. Kini semua publik sudah tahu kalau jenderal kelahiran Pacitan itu. Di samping menjabat sebagi Ketua Dewan Pembina, Ketua Majelis Tinggi, Ketua Dewan Kehormatan. Akhirnya merangkap empat jabatan, setelah menobatkan lagi dirinya sebagai Ketua Umum. Dari partai politik yang membesarkan namanya, hingga dua kali mencicipi kursi nomor satu di Republik ini.

Tidak terlalu disayangkan sebenarnya oleh publik. SBY merangkap banyak jabatan dalam partai Mercy biru itu. Yang menyakitkan dan kita tidak bisa menerimanya. Adalah bagaimana mungkin mengefektifkan kebijakannya, sebagai kepala Negara dan kepala pemerintahan. Dalam  mengurusi sengkarut bangsa ini ? Disaat dirinya harus juga meluangkan waktunya. Memperbaiki elektabilitas partai. Padahal SBY bukan “superman” atau ubermansch (mengutip tokoh jelmaan Nietzsche) yang bisa bekerja dua puluh empat jam, tanpa pernah istirahat sedikitpun.
Hukum Besi Oligarki
Dalam mencermati kembali penobatan SBY sebagai Ketua Umum PD. Bisa dikatakan bukan melalui poses yang demokratis. Karena ia dipilih secara aklamasi. Tanpa melalui proses pemilihan suara mayoritas, sebagaimana kongres yang pernah dihelat di Bandung. Ketika berhasil mengantarkan Anas Urbaningrum sebagai Ketua Umum sejak itu.
Lagi-lagi Partai Demokrat tidak bias menahan diri. Gara-gara isu topan badai korupsi, hingga berdampak pada elektabilitasnya yang terjun bebas sampai 8 % berdasarkan survei Saiful Mujani Research Center (SMRC) Desember 2012. Turunnya elektabilitas PD boleh jadi disebabkan hembusan ‘angin” nazaruddin’s effect. Membuktikan lembaran demi lembaran borok PD. Karena telah menyeret para petinggi dan kader PD dalam “gedung prodeo” KPK.

Dari beberapa peristiwa yang mengawali, sebelum Kongres Luar Biasa yang diselenggarakan di Bali. Sudah tercium aroma, Jika SBY tidak menginginkan ada calon lain selain dirinya. Dapat  menggantikan posisi Anas Urbaningrum.

KLB di Bali hanyalah formalitas belaka. Mulai dari tindakan SBY melalui “tangan besinya” mengumpulkan semua Pimpinan DPD dan DPC di Cikeas. Hingga Manuver SBY, memberi peringatan keras kepada Marzuki Ali melaui via SMS. Agar Marzuki Alie tidak menggoda beberapa pimpinan DPD dan DPP di Jakarta, untuk memilihnya nanti. Karena memang sedari awal. SBY tidak menginginkan ada calon lain, selain dirinya.

Sebagai calon tunggal Ketua Umum PD. Secara tidak sadar SBY yang dikenal santun, beretika, demokratis. Perlahan tapi pasti telah mengidap kekuasaan dengan Hukum Besi Oligraki (HBO)

Karena kondisi darurat, dan kegentingan yang memaksa itulah. Sehingga SBY, rela dihujat dan dicaci maki oleh publik. Menelan pil pahit, hingga menjilat sendiri air ludahnya. Setelah memberi peringatan terhadap menteri-menterinya. Agar fokus pada tugas kenegaraan dari pada tugas partai politik. Namun SBY sendiri mengingkari “fatwanya” sendiri.

Di tahun politik ini. Rupanya SBY “dipaksa” turun gunung bagai Imam Mahdi. Sebagai satu-satunya tokoh “juru selamat”. Dapat menyelamatkan PD dari ancaman tubir jurang. Dari ancaman Pemilu yang akan dihelat 9 April 2014 nanti.

SBY  pada dasarnya lupa adagium yang pernah dilontarkan oleh Manuel  Luis Quezon “My loyality to may party ends where my loylity to my country begins”. Meskipun tidak ada pembatasan hukum pejabat Negara untuk merangkap jabatan sebagai pengurus Parpol. Namun secara etika, seyogianya SBY, Jika tetap ingin menunjukan kenegarawanannya. Ia tidak perlu tergopoh-gopoh “memaksa” diri menjabat sebagai Ketua Umum PD.

Kapital SBY
Disadari bahwa SBY lebih unggul dari calon-calon yang lain, seperti Marzuki Alie dan Saan Mustopa. Dari latar sosiohistori mau tidak mau SBY, dominan yang membesarkan PD hingga mendulang suara sekitar 20 % pada Pemilu 2009 lalu. Atau jika dikerucutkan SBY memegang dua capital yang superistimewa.
Pertama, capital history, bahwa benar PD didalangi dan diinisiasi oleh SBY sehingga PD menjadi partai pemenang Pemilu dan berhasil menjadi partai penguasa parlemen, berkat “magnet elektoralnya”. Dan beberapa “kebijakan sinterklasnya” hingga dirinyapun dinobatkan sebagai Presiden yang kedua kalinya.
Kedua, capital electoral, berkat jasa beliau juga sebagai tokoh sentral “figuritas’ sehingga electoral Demokrat mendulang angka fantastis dalam Pemilu 2009.

Namun nostalgia untuk mengulang kembali kejayaan masa lalu itu. Sepertinya SBY akan “gigit jari” dan menemui banyak hambatan. Sedianya, masa SBY  untuk menjadi Capres sudah diringkus oleh konstitusi. Sehingga lompatan sejarah dalam hal pencitraan, yang dapat menggoda ceruk pasar pemilih. Agar menjatuhkan pilihan terhadap dirinya. Rasanya mustahil lagi terjadi. Kita bisa mengatakan bahwa kemenangan beberapa anggota legislatif menduduki Senayan dalam Pemilu 2009. Tidak terlepas dari figuritas SBY. Sehingga jika figur SBY hendak dijadikan patokan agar nantinya memperoleh suara terbanyak dalam pemilihan anggota legislatif  9 April 2014 nanti.  PD Ibarat si Pungguk merindukan bulan.

Tidak dapat dipungkiri jika SBY yang menjadi Ketua Umum. Faksioanalisasi yang selama ini menggangu PD, diantaranya faksi Cikeas, faksi Anas, dan faksi senayan akan mampu diredam. Tapi SBY  lupa kerugian besar yang bakal mengancam PD,  jika diurus oleh dirinya. Di samping harus mengemban tugas kenegaraan. Maka tak ada waktu bagi SBY untuk menyolidkan barisan kader di tingkat bawah (baca: daerah). Bahkan mesin partai untuk mendongkrak suara dalam pemilihan legislatif akan terhenti. Karena pekerjaan demikian, hanya bisa dilakukan oleh seorang Ketua Umum yang tidak terpecah pikirannya. Saya kira Anas dahulu sudah berhasil dalam sektor ini. Terlepas dari takdir yang mengantarkannya harus berurusan dengan KPK.

Mengaca pada hasil survey SJN (Survey Jakarta Nasional) sebanyak 77 % tidak menghendaki kalau SBY sebagai Kepala Negara, juga menjabat sebagai ketua umum. Namun SBY tetap “menafikan” suara rakyat kalau dirinya tetap dapat membagi waktu. Antara pekerjaan partai dengan tugas Negara. Bahkan dengan jurus jitunya, SBYmengangkat Syarif Hasan sebagai Ketua Harian Partai Demokrat, Marzuki Alie sebagai Wakil Ketua Majeis Tinggi dan EE Mangindaan sebagai Ketua Dewan Harian Pembina. Konon katanya pekerjaan mengurus partai akan dititik beratkan kepada ketua harian. Namun ironisnya, tetap nantinya Ketua Umum yang bertanda tangan. Dalam penentuan verifikasi daftar calon anggota legislatif dari PD.

Di satu sisi SBY memberi pekerjaan kepada Ketua Harian, di sisi lain malah SBY tetap yang mengurusi masalah administrasi DCT (Daftar Calon Tetap) anggota legislatif PD untuk KPU. Apakah di sini SBY sebagai Ketua Umum dengan hukum besi oligarkinya. Hanya sebagai simbol saja ? Tentunya publik yang lebih tahu jawabannya nanti. Kalau masih menaruh hasrat pada PD. Untuk dipilih sebagai partai yang masih layak mendominasi senayan.***

PKS dan Jebakan Sistem Kepartaian Predatory

PKS dan Jebakan Sistem Kepartaian Predatory
Arya Budi ;  Manajer Riset Pol-Tracking Institute
KORAN SINDO, 30 Mei 2013

 
 
Setelah drama Partai Demokrat (PD) soal sengkarut Hambalang yang menyeret orang-orang penting di partai, kini sengkarut PKS soal daging impor yang ”menutup” kasus Hambalang mempunyai tipologi serupa tapi beda.

Pertama, kedua partai ini menjerat orang paling penting dalam struktur eksekutif partai (bendahara/mantan bendahara dan ketua umum/presiden). Kedua, orasi politik PD sebagai partai ”katakan tidak pada korupsi”, sejatinya sejajar dengan klaim PKS sebagai partai dakwah dan partai bersih. Namun, ada beberapa pembeda penting antara PD dan PKS. Faksionalisasi di PKS tidak sekuat di partai lain, apalagi kasus korupsi daging sapi justru menyebabkan faksionalisasi cenderung terkonsolidasi dalam logika partai sebagai organisasi kolektif.

Faksionalisasi di PD yang kuat menyebabkan kasus kader adalah kasus individual, sementara bagi PKS, kasus kader cenderung disikapi sebagai kasus institusional. Pembeda kedua, PKS tidak mempunyai penunggalan kekuasaan secara terpusat dalam pengelolaan partai. Sekalipun otoritas strategis ada di Majelis Syuro, otoritas organisatoris dan taktis tersebar dalam nalar struktur kuasa organisasi partai. Hal ini yang menjelaskan kasus korupsi di PKS dihadapi oleh partai, bukan saja oleh individu walaupun kausalitas faksionalisasi PD menjelaskan perbedaan ini.

PKS termasuk partai yang terkonsolidasi bukan karena figur, namun doktrin. Hal ini berbeda dengan partai-partai lain, seperti PDIP yang terkonsolidasi oleh Megawati, PD oleh SBY, dan Golkar oleh Aburizal Bakrie. Dalam struktur kekuasaan partai, biasanya faksionalisasi terkelola karena justru eksistensi orang kuat sehingga mampu mendamaikan atau juga memaksa faksi dan kader dalam satu suara.

PKS adalah partai dengan relasi ikatan personal yang terinstitusionalisasi sebagai manifestasi doktrin. Padahal, secara organisatoris, PKS sebenarnya adalah partai dengan pendanaan internal yang kuat karena bekerjanya mekanisme voluntarisme anggota. Inilah yang disebut dengan kolektivisme-doktrin.

Model kolektivisme-doktrin seperti ini memang akan menciptakan kekuatan yang solid secara internal karena didukung oleh tiga nalar penting: persaudaraan (emotional ties), agama (doctrine internalization), dan kelembagaan (organizational discipline). Namun, ketika kolektivisme ini ditempatkan pada konteks penyikapan kasus korupsi, maka akan sangat rawan dalam perspektif publik. Itu karena akan menciptakan persepsi kasus PKS sebagai corporative crime, kejahatan korupsi yang terkonsolidasi secara institutisonal.

Akhirnya model kolektivisme-doktrin yang ditunjukkan oleh partai akan bergeser pada perilaku ashabiyah atau sebuah sikap fanatik akibat identitas individual yang terkait secara institusional, dan ideologis. Prinsip kolektivitas di PKS merefleksikan apa yang dulu pernah dikatakan Hannah Arendt (The Origins of Totalitarianism, 1951) soal banalitas kejahatan (banality of evil) sebagai perilaku yang terjadi karena disiplin biroktarik organisasional dan kepercayaan pada tujuan akhir ”perjuangan”.

Kolektivitas partai sebagai organisasi dalam konteks ini menjadi tidak relevan, karena kolektivitas menciptakan perilaku defensif terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di tengah persepsi publik atas kasus korupsi partai dan dukungan yang kuat terhadap KPK. Kejahatan korporatif yang diorganisasipartai— sebagaimana laporan Tempo edisi 20-26 Mei 2013—mempunyai nalar ”benar” secara internal (kelompok dan organisasi), namun ”salah” secara eksternal (hukum negara dan publik).

Hal ini sama seperti gerakan teroris yang melakukan perampokan dan penjarahan untuk mendanai senjata dan peranti penghancur lainnya guna melancarkan aksi dalam logika berjuang di jalan Tuhan. Namun, sekali lagi, publik dan logika negara jelas mengatakan hal ini adalah kriminal. Kekuatan organisatoris partai akhirnya justru menyeret kasus yang awalnya personal menjadi institusional.

Kondisi ini menjadi sangat rawan karena akan menciptakan persepsi ”partai koruptif” daripada jika kasus korupsi dilokalisasi sebagai kasus individual. Sebagai misal, kontribusi doktrin kepartaian soal syiqah qiyadah bahwa pemimpin jamaah (kelompok) adalah orang paling suci. Hasilnya, bagi kader partai penangkapan petinggi dan pemanggilan orang-orang kuat partai adalah bentuk kriminalisasi. Tidak terjadi verifikasi dan koreksi internal terhadap perilaku ruling elitedalam partai

Jika kita menengok sengkarut korupsi di tiga partai terakhir— Demokrat, Golkar, dan PKS—kasus partai meledak di mediamassakarenasemuakasus tersimpul pada pucuk tertinggi kebijakan perputaran uang partai: Nazarrudin (bendahara umum PD) yang sudah menjadi terdakwa, Setya Novanto (bendahara umum Golkar) sekalipun baru disebut, dan Luthfi Hasan Ishaq (presiden dan mantan bendahara umum PKS). Uang menjadi modal penting, bahkan di atas ideologi dan platform.



Herbert Alexander dalam Financing Politics: Money, Elections and Political Reform (2003) menyebutkan bahwa uang penting bagi politik karena sifat konvertabilitasnya sehingga dapat dipertukarkan dan dipindahtangankan untuk kebutuhan elektoral. Uang dapat digunakan untuk membeli dan memfasilitasi apa pun: barang, keterampilan, jasa manusia, pengendalian arus informasi, dan keputusan politik. Akhirnya, kini kepemilikan uang bagi partai menjadi ukuran kekuatan politik, bahkan bagi partai dengan klaim partai paling ideologis sekalipun.

Sejak lama, uang menjadi tracer element (elemen penjejak) tentang bagaimana kekuasaan dikelola, dan bagaimana agenagen politik bekerja sebagaimana lembaga kepartaian. Dana politik belum termasuk bentuk-bentuk penggunaan anggaran negara untuk melahirkan kebijakan-kebijakan populis-pragmatis secara sektoral di setiap pos kementerian, (pork barrel politics). Seperti dana hibah, bantuan sosial, atau dana ”segar” selayak bantuan langsung tunai (BLT) yang dialokasikan lebih besar dan direncanakan sebagai satu paket kebijakan setiap menjelang pemilu.

Ringkasnya, kasus PD dan PKS menjelaskan bahwa sekuat apa pun partai mengklaim diri bersih atau tidak pada korupsi, partai terjebak pada sistem kepartaian predatory karena pendanaan partai bekerja melalui mekanisme personal melalui triangulasi transaksi parlemen istana-swasta. Golkar pun tak luput dari jebakan ini dengan pengungkapan kasus PON Riau yang menyeret orang penting dari kader Golkar, Gubernur Riau, dan juga ”menyentuh” bendahara partai.

Namun, partai predator berbeda dengan predatory agent dalam nalar hayati kehidupan yang memberi keseimbangan melalui pengendalian populasi makhluk hidup dalam satu putaran rantai makanan. Mengacu pada Douglas North (1981), karakter predatory merujuk pada agensi/kelompok atas sebuah grup atau kelas yang berusaha memaksimalkan pendapatan (income) bagi kepentingan kelompok tersebut melalui ”pengisapan” dan ”pemerasan” negara dan konstituen. Partai menjadi agen-agen predator yang mengoperasikan mekanisme pemangsa anggaran negara melalui pos-pos penting yang dimiliki di masing-masing kementerian.

Jebakan sistem kepartaian predatory seperti ini terjadi karena dua simpul krusial. Pertama, koalisi partai pendukung pemerintahan terbangun melalui kesepakatan jatah kursi kementerian yang diharapkan simetris dengan dukungan partai di parlemen, namun tanpa menegosiasikan ideologi apalagi platform. Kedua, tidak adanya mekanisme yuridis yang memaksa lembaga kepartaian melakukan transparansi dan akuntabilitas keuangan secara terbuka. UU Pemilu No8 Tahun 2012 hanya mengatur tiga hal: peserta pemilu, suara pemilu, dan kursi hasil pemilu.

Kedua simpul ini mengakibatkan logika politik transaksional dan terbukanya ruang illegal budgeting. Akhirnya partai politik hanya bekerja pada dua ranah: ”kursi” dan ”gaji”, sementara itu partai minus pada ideologi, visi, dan aksi. ●

Fathanah’s Effect dan Tsunami Impor Daging PKS

  Fatanah's Effect dan Tsunami Impor Daging Sapi PKS

Damang Averroes Al-Khawarizmi; Peneliti Republik Institute 

dan Co-Owner negarahukum.com

Tribun Timur, 11 Mei 2013


Setelah Presiden PKS Anis Matta berhasil meredam tsunami impor daging sapi akhir Januari kemarin. Anis Matta berhasil merangkul kembali konstituen dan mengembalikan kepercayaan kadernya. Bahkan Aher-Deddy yang diusung oleh PKS di Jabar. Dianggap oleh politisi PKS, tsunami impor daging tidak berhasil meluluhlantahkan kepercayaan pemilih terhadap partai padi yang diapit oleh dua bulan sabit itu. Karena pasangan Aher-Deddy menang dengan perolehan suara sah 6.515.313 atau 32,39 persen sebagai Gubernur Jabar bulan Maret kemarin.

Tapi PKS jangan bahagia dulu, tsunami impor daging yang mendera PKS belum juga usai. Berbagai liputan dan informasi media. Masih mengguncang “nama baik” PKS. Sebagai partai yang dikenal bersih, mulia, dan peduli.

Masih seputar impor daging sapi dikembangkan oleh KPK. Dalam formulasi Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang (UUTPP). Kembali meniscayakan PKS harus berbenah diri. Agar dapat mengembalikan citranya. Dari demoralisasi konstituen. Gara-gara dihantam kumpulan wanita-wanita cantik. Yang sengaja dimanfaatkan oleh Ahmad Fathanah. Dalam mengumpullkan pundi-pundi kekayaannya. Ahmad Fathanah adalah tersangka korupsi impor daging bersama dengan Lutfi Hasan Ishaaq (LHI) yang sudah ditahan oleh KPK (30/1/013).

Wanita Cantik
Penegasana itu dihembuskan oleh Artis cantik senior Ayu Azhari. Ayu menerima uang sebesar Rp 20 juta dan US$1.800 dari Fathanah. Agar Ayu menghibur di sejumlah acara PKS. Meski uang tersebut kemudian dikembalikan Ayu kepada penyidik KPK.

Tak tanggung-tanggung. Sampai di situ sepak terjang Fathanah memanfaatkan wanita cantik. Dalam pusaran korupsi impor daging sapi. Sederet nama-nama artis, model dan wanita cantik sempat menjadi guyonannya. Ada nama Suci Maharani pernah tertangkap tangan bersama Fathanah kemarin. Saat menerima uang sogokan dari direktur PT Indoguna. Kemudian ada nama Vitalia Shesya, seorang model cantik juga dihadiahi dengan barang-barang mahal, seperti berlian, tas dan jam tangan merek Chopard senilai Rp70 juta. Disamping benda-benda mahal itu, Fathanah membelikan satu unit mobil. Honda Jazz berwarna putih dipilih Fathanah untuk diberikan kepada Vitalia,  yang kemudian diberi plat nomor B 15 VTA.

Terakhir Fathanah juga diketahui memberikan mobil merek Honda Freed bernomor polisi B 881 LAA kepada Tri Kurnia Puspita. Wanita yang belakangan dikenal sebagai orang dekat Fathanah dan juga seorang penyanyi dangdut. Tri juga ternyata teman dekat istri Fathanah, Sefty Sanustika. Tak hanya mobil, Fathanah juga menghadiahi Tri Kurnia jam tangan merek Rolex dan gelang mewah merek Hermes yang ditaksir bernilai Rp50-70 juta.

Beruntunglah Ahmad Fathanah tidak digugat cerai oleh isterinya. Sefty Sanustika tetap tegar menerima atas semua keadaan yang menimpan suami tercintanya. Harus bagaimana lagi, siapa yang dapat memberi support untuk fathanah. Kalau dirinya juga tidak mau peduli dengan suaminya, demikian penuturan Sefty Sanustika di beberapa siaran TV swasta beberapa pekan ini.

Fathanah’s Effect
Meski para elit politik PKS berkilah, memgelak kalau Ahamad Fathanah tidak ada hubungannya dengan PKS. Karena beliau bukanlah kader PKS. Fathanah sendiri yang harus mempertanggungjawabkan semua perbuatan jahatnya. Jadi jangan libatkan nama PKS. Demikian pembelaan Fahri Hamzah sebagai politisi muda PKS, juga sebagai salah satu pendiri Partai keadilan (PKS) di era reformasi. Namun itulah politik, yang memilki muara tersendiri. Jauh lebih cepat efeknya memberikan vonis dari pada vonis sesungguhnya di meja hijau. Politik selalu bertumpu pada opini dan kebenaran ontologis. Sehingga kasus perkasus saling berkelindan dengan kasus yang lainnya. Apalagi Fathanah sudah terlanjur, terekspose ke media sebagai dalang gratifikasi dalam kasus impor daging sapi. Akibatanya tidak ada jalan lain. Bagi PKS dapat menolak tsunami korupsi impor daging, yang ditiupkan oleh Fathanah. Fathanah’s Effects demikian sempurna menohok. Slogan bersih dan moralnya PKS. Politik ibarat bangunan persepsi yang dikelolah sedemikan rupa. Sehingga akar masalahnya meski tidak memiliki keterkaitan. Pasti dikaitkan antara isu yang satu denga isu lain.

Mari kita berkaca pada efek poligami da’i kondang Abdul Gimnastiar (A’Gim). Dalam tinjauan historis maupun syariat Islam. Tidak satupun ayat dan hadit’s mengharamkan poligami. Tapi mengapa A’Gim kemudian ditinggal satu persatu jamaah yang sedari dulu mengelu-elukannya. Itu karena persoalan persepsi saja dari publik, tidak mau jika tokoh panutannya berbuat yang tidak sesuai dengan pengharapannya. Poligami memang tidak melanggar norma agama. Namun perdebatan etis/ tidaknya perbuatan itu masih debatable. Sehingga ranah abu-abu dalam persoalan citra dan popularitas. Seorang harus hati-hati dan cermat mengelolanya.

Setali tiga uang bagi PKS, bukan kadernya yang disoroti karena berpoligami. Tapi korupsi dipucuk pimpinan. Korupsi sudah jelas dan nyata-nyata adalah perbuatan yang menyimpang dari agama. Artinya, perbuatan yang tidak menyimpang saja dari agama, memiliki efek domino terhadap memori kolektif publik. Apalagi perbuatan yang nyata-nyata jauh dari ajaran agama. Maka Fathanah’s effect di sini tidak akan berhenti hingga pemilu dihelat nantinya. PKS akan dihantam terrus menerus badai korupsi impor daging. Sekelumit perbuatan nista Fathanah akan selalu dikaitkan dengan LHI sebagai mantan kader tulen PKS. Bukankah fathanah dan LHI adalah pasangan “duet maut” yang sengaja memainkan proyek anggaran impor daging sapi.

Dibalik slogan PKS: bersih, korupsi, mulia dan peduli. Sebagai partai yang selling pointnya syariat dan agama. Otomatis ketika berada dalam jerat pelanggaran norma agama. Akan disorot tajam oleh publik. Sehingga bukan hal yang latah, lumrah, ketika PKS disudutkan dalam posisi ini. PKS kok korupsi, PKS kok memakai “ikon perempuan” dalam mendulang suara-suara pemilih. Kemanakah agama yang selama ini digembor-gemborkan oleh PKS ?

Oleh karena itu, tidak ada jalan lain yang dapat dilakukan oleh PKS. Saat ini, dalam rangka mengembalikan elektabilitas partai. Dari ancaman demoralisasi massanya. Beberapa PR PKS, diantaranya: pertama, bersikap terbuka atas semua korupsi yang diakukan oleh kadernya. Karena dengan keterbukaan terhadap KPK, PKS tetap mendapat citra sebagai partai yang menabuh genderang terhadap korupsi. Kedua, harus menyediakan stok calon-calon akseptabel sebagai kredibel alternatif. Menuju kontestasi pemilu 2014. Jikalau suaranya ingin dipertahankan seperti sedia kalah.  Termasuk perlu melakukan terobosan, dan penetrasi politik, hingga ke tingkat lokal. Sebagai awal mengembalikan kepercayaan kader dan konstituen militannya. Ketiga, mesti berani tampil beda, mengusung calon legislatif dari kalangan kader, bukan caleg karbitan. Apalagi PKS memang terkenal sebagai partai kader (bukan partai massa). Keempat, memulai memeraktikan penyelenggaraan kampanye sederhana, tanpa baliho misalnya. Karena PKS juga dikenal sebagai partai sederhana.

Jika langkah ini berani dilakukan oleh PKS. Praktis publik akan “jatuh hati” pada PKS, dan melupakan dosa-dosa PKS sebelumnya. Bukankah kita semua tahu, kalau bangsa ini adalah bangsa pemaaf dan pelupa. Harapan itu masih ada, karena publik selalu berharap ada partai yang bersih dan peduli. Kemana lagi publik melabuhkan pilihannya. Kalau bukan pada PKS. Semoga!***

Pancasila di Tengah Pragmatisme Politik

Pancasila di Tengah Pragmatisme Politik
Jainuri;  Dosen dan Kepala Biro Kemahasiswaan Univ. Muhammadiyah Malang
SUAR OKEZONE, 30 Mei 2013




Indonesia telah mencapai umur 68 tahun, artinya pemerintah dan masyarakat Indonesia  telah melalui proses panjang dalam berbangsa dan bernegara.

 Dengan proses panjang tersebut diharapkan pemerintah dan masyarakat telah memahami hakikat dan menjiwai pancasila sebagai pedoman hidup berbangsa dan bernegara. Harapan tersebut tindak kunjung tampak dalam kehidupan nyata, justru sebaliknya pemerintah dan masyarakat semakin mengabaikan dan bahkan lupan dengan pancasila sebagai pedoman hidup berbangsa dan bernegara.

Bentuk nyata hilangnya pancasila sebagai landasan bangsa dan negara adalah mencuaknya berbagai probalematika bangsa seperti menguatnya gerakan separatisme, menguatnya intoleransi antara umat beragama, tingginya angka kemiskinan dan pengangguran, dan rendahnya indeks pembangunan manusia. Pancasila telah dilupankan, diabaikan, dan tidak lagi dianggap sebagai falsafah bangsa. Padahal lahirnya pancasila melalui kerja keras founding father. Lima sila yang ada di dalamnya diletakkan dengan penuh kehati-hatian agar searah dengan corak kehidupan bangsa serta dapat menjamin kesejahteraan, kedamaian, dan kebahagiaan bangsa Indonesia seutuhnya.

Masyarakat tidak boleh lupa dengan sejarah. Lupa akan sejarah adalah bentuk dari penghianatan terhadap pejuang-pejuang bangsa yang susah payah membentuk dan mempersatukan masyarakat dalam satu bangsa. Tanggal 01 Juni adalah momentum bagi seluruh elemen bangsa untuk memikirkan dan mengingat kembali sejarah-sejarah bangsa termasuk sejarah lahirnya pancasila sebagai ideologi dan sumber dari segala sumber hukum. Pancasilan adalah ideologi bangsa yang dilahirkan melalui proses perdebatan intelektual, kritis, rasional, dan ilmiah antara tokoh-tokoh penting (founding father) bangsa terutama Muhammad Yamin, Soepomo, dan Soekarno.

Founding father bangsa mencurahkan segala fikiran dan tenaga untuk merumuskan ideologi bangsa dengan tepat yang dapat mempersatukan pulau-pulau nusantara, bahasa, budaya, dan suku yang berbeda-beda untuk berada dalam satu organisasi negara bangsa. Tanggal 1 Juni 1945, gagasan dan ide founding father berhasil dirumuskan dan disatupadukan yang kemudian dikenal pancasila sebagai dasar negara dan sumber dari segala sumber hukum. Karena itu, tanggal 1 Juni dikenal sebagai hari lahirnya pancasila.

Memikirkan dan mengingat akan Pancasila bukan bermakna bagaimana elemen bangsa memahami lahirnya pancasila namun memiliki makna yang jauh dari itu yaitu bagimana implementasi pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara selama ini. Apakah semua elemen bangsa telah menjiwainya atau justru sebaliknya. Ajaran pancasila memiliki makna yang sangat agung dan terhormat karena didalamya terdapat nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, dan kebangsaan.

Pancasila mengajarkan segenap warga negara untuk bertuhan, bermoral, berakhlak mulia, dan berbudi pekerti. Manusia harus membangun hubungan yang saling memanusiakan, memuliakan, menghormati antara satu dengan yang lain, mengedepankan kebersamaan untuk kebaikan, persaudaraan, dan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia.

Didalam pancasila tidak terdapat celah untuk tidak kebaikan. Namun seperti yang dijelaskan diawal tulisan ini, pancasila telah dilupakan, diabaikan, dan bahkan dianggap sebagai ideologi yang tidak lagi tepat sebagai pedoman bangsa dan negara. Jejak pendapat Kompas tahun 2008, 2011, dan tahun 2012 menunjukkan pancasila tidak lagi dipercaya sebagai ideologi bangsa dan negara.

Ada banyak faktor yang membuat masyarakat lupa akan pancasila salah satunya adalah  tidak adanya pemimpin politik dan pemerintahan sebagai panutan dan teladan yang benar-benar menjiwai pancasila. Di awal-awal kemerdekaan, Indonesia masih memimliki kepemimpinan politik  yang menjiwai pancasila namun di era sekarang ini sulit menjumpai kepemimpinan politik pancasilais. Banyak elit politik yang terjebak dalam politik pragmatis.

Elit politik lebih mengedepankan kepentingan pribadi dan kelompok daripada kepentingan bangsa. Pancasila hanya dijadikan lipstik service, retorika politik dan dijadikan sebagai legitimasi formal kebijakan pragmatis. Prilaku buruk elit politik ditunjukkan melalui politik amoral seperti korupsi dan membuat kebijakan-kebijakan yang tidak berpihak kepada kepentingan bangsa yang lebih besar.

Dampak pragmatisme politik adalah terbentuknya struktur birokrasi pemerintah yang tidak mengedepankan kemanusiaan yang adil dan beradab. Fungsi birokrasi sebagai mesin untuk merealisasikan tugas dan fungsi negara tidak dapat dijalankan dengan baik terutama fungsi pelayanan dan pemberdayaan masyarakat. Sejatinya birokrasi menjadikan pancasila sebagai pedoman namun lebih mengedepankan kepentingan-kepentingan elit yang memperhatikan dan memposisikan birokrasi dalam struktur pemerintahan.

Birokrasi bukan melayani masyarakat namun melayani elit dan dirinya sendiri. Stigma yang tertanam kuat adalah “birokrasi bukan melayanani namun dilayani” dan “birokrasi ABS (asal bapak senang). Ini-lah bentuk dari wajah birokrasi elitis.

Kepemimpinan politik pragmatis dan birokrasi elitis memicu lahirnya segudang problematika bangsa sehingga masyarakat tidak percaya dengan adanya negara termasuk pancasila sebagai falsafah dan ideologi pedoman bangsa. Masyarakat sangat mudah melakukan tindakan yang bertentangan dengan pancasila seperti gerakan seperatisme, intoleransi, memberlakukan hukum rimba, dan melakukan tindakan kriminal.

Buktinyata yang dapat kita lihat akhir-akhir ini adalah minimnya partisipasi politik masyarakat dalam pemilihan umum. Rata-rata pelaksanaan pemilu, pileg, dan pemilukada dimenangkan oleh golput. Hal ini secara langsung menunjukkan ketidak pedualian masyarakat terhadap negara dikarenakan kekecewaannya terhadap kinerja elit politik dan pemerintah yang tidak menjiwai pancasila dalam menjalankan tugas dan fungsinya.

Fenomena elit politik dan pemerintah serta masyarakat yang mengabaikan pancasila sebagai pedoman hidup berbangsa dan bernegara dipandang sebagai persoalan serius dan membahayakan eksistensi dan masa depan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Apabila persoalan ini terus dibiarkan tidak menutup kemungkinan, NKRI bubar ditelan zaman karena prilaku anak kandungnya sendiri yaitu elit politik, pemerintah, birokrasi, penegak hukum, dan masyarakat.

Karena itu, diupayakan strategi dan langkah nyata semua stakeholder bangsa untuk mengatasi persoalan tersebut. Stakholder yang paling bertanggungjawab adalah pemerintah. Pemerintah harus melakukan upaya-upaya nyata untuk mengembalikan dan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap negara termasuk pancasila. Upaya yang harus dikedepankan adalah menumbuhkan good dan political will semua stakeholder terutama elit politik dan birokrasi untuk membuat kebijakan-kebijakan populis yang berasaskan pancasila dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat seutuhnya. 

Swing Voters dan Dinamika Elektoral 2014

Swing Voters dan Dinamika Elektoral 2014
Burhanuddin Muhtadi ;  Pengajar FISIP UIN Jakarta, 
Peneliti Lembaga Survei Indonesia (LSI)
 
SINDO, 16 Januari 2013
 
Anthony Downs, dalam karya klasiknya, The Economic Theory of Democracy (1957), menjelaskan perilaku partai dan spektrum ideologi politik berdasarkan kurva normal dan kurva terbalik. 
Dalam kurva normal, sebagian besar pemilih cenderung ke tengah. Pemilih bergerak menjauhi titik ekstrem kiri atau kanan. Dalam sistem multipartai ekstrem yang dipengaruhi pendekatan kompetisi elektoral, partai-partai cenderung mengarah ke catch all party, meraup semua segmen pemilih sembari menjauhi pemilih ekstrem yang berjumlah sedikit. 

Kurva Normal 

Tidak ada insentif elektoral bagi partai yang memakai logika basis sosial. Partai dimungkinkan menang justru ketika mereka bermigrasi ke tengah (flight to the center) dan mengaburkan jenis kelamin ideologi mereka. Pemilih bergerak ke tengah karena dalam sistem multipartai yang terlalu ekstrem, positioning dan diferensiasi ideologis tidak terlihat sempurna. Perilaku politik partai di Indonesia pascareformasi mengikuti kurva normal ini.

Partai-partai nasionalis-sekuler mengubah pendekatan dengan lebih terbuka terhadap agenda-agenda Islam sehingga menarik pemilih muslim yang taat. Partai-partai Islam melakukan rebranding dengan mencitrakan diri sebagai partai terbuka dan pluralis. Sebaliknya, dalam kurva lonceng terbalik, median voters berjumlah sangat kecil. Garis kurva semakin bergerak ke titik di ekstrem kiri atau kanan, mencakup pemilih yang makin besar mengikuti garis kurva yang menaik.

Kurva ini meniscayakan partai untuk “mengeksploitasi” garis ideologi ke titik ekstrem partainya masing-masing karena di sanalah ceruk pasar pemilih berada. Logika yang dipakai adalah pendekatan basis sosial partai. Kurva ini lebih dimungkinkan jika sistem kepartaian kita lebih sederhana sehingga memaksa partai untuk menegaskan “jenis kelamin” ideologis mereka. Median voters yang sebagian besar berdomisili di tengah memiliki keterikatan kepada partai yang rendah (partyID). Inilah karakteristik utama dari swing voters. 

PartyID adalah perasaan seseorang bahwa partai tertentu adalah identitas politiknya, atau bahwa dia merasa dekat dengan partai tertentu. PartyID ini merupakan komponen psikologis yang akan memberikan sumbangan bagi stabilitas dukungan terhadap partai dan sistem kepartaian. Namun, data tren survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) menunjukkan rata-rata partyID pemilih kita hanya 20%. Secara umum, ada 80% pemilih yang tidak memiliki loyalitas terhadap partai mana pun. 

Swing Voters 

Indikator dari swing voters yang memiliki partyID yang rendah adalah besarnya pemilih yang belum menentukan pilihan (undecided voters) dan pemilih yang lemah “iman” atau pemilih yang memiliki preferensi elektoral ke sebuah partai, tapi mudah pindah ke “lain hati.” Swing voters juga bisa dicirikan oleh pemilih yang suka berpindah-pindah ke lain partai. 

Pemilih labil atau protest voters inilah yang mewarnai dinamika elektoral kita dan menyebabkan instabilitas dukungan elektoral dari pemilu ke pemilu. Dalam sejarah politik elektoral pascareformasi, jumlah swing voters sangat besar. Tiga pemilu juga menghasilkan pemenang dari tiga partai yang berbeda.Tak pernah ada juara bertahan yang mampu menang kembali pada pemilu berikutnya. Dukungan terhadap partai seperti roller coaster. 

Perolehan suara PDI Perjuangan yang mencapai 34% pada Pemilu 1999, tinggal 14% pada Pemilu 2009. Golkar yang memperoleh 23% pada 1999 juga mengalami gempa tektonik elektoral dan suaranya menyusut menjadi 14% pada 2009. Partai-partai Islam seperti PKB dan PPP juga tak luput dari sentimen negatif dari pemilih mengambang. Pada 2009, keduanya ditinggalkan separuh pemilihnya pada Pemilu 1999. Pada 1999 PPP, misalnya, meraih 10,71%, lalu turun menjadi 8,15% pada 2004, dan hanya meraih 5,46% pada Pemilu 2009. 

Perubahan dukungan pada partai 1999-2009 pada tingkat agregat dilihat dari selisih perolehan suara partai-partai pada dua pemilu tersebut. Ada yang selisihnya positif, ada pula yang negatif. Perubahan dukungan pada partai-partai dari Pemilu 1999 ke Pemilu 2009 ternyata sangat besar. Kalau dilihat perubahan pada partai lima besar Pemilu 1999 (PDI Perjuangan, Golkar, PKB, PPP, dan PAN), perubahan rata-rata sekitar sembilan persen pada masing-masing partai dalam 10 tahun. 

Selain itu, perolehan suara ketiga pemenang pemilu dari waktu ke waktu terus merosot. Pada 1999 PDI Perjuangan menjadi pemenang pemilu dengan dukungan 34%, pada 2004 Golkar tampil sebagai juara dengan hanya bermodalkan 22%.Terakhir, Demokrat menjadi jawara Pemilu 2009 cukup dengan membukukan suara 20,8%. Uniknya, fragmentasi suara justru makin menjadi-jadi. Partai yang mendapat suara 3% atau lebih pada Pemilu 1999 hanya terdiri dari atas lima partai saja.

Pada 2004, partai yang menangguk suara 3% atau lebih naik menjadi tujuh partai (pemain barunya Demokrat dan PKS), dan 9 partai pada 2009 (plus Gerindra dan Hanura). Perubahan elektoral makin menyulitkan terjadinya konsensus di DPR. Swing voters telah membuat sistem kepartaian kita terlihat semakin terfragmentasi, di mana jumlah partai di parlemen makin banyak dengan kekuatan kursi yang hampir merata. 

Akibatnya, sering terjadi ketegangan antara pemerintahan dan legislatif dan koalisi permanen menjadi sulit tercapai karena ketiadaan partai mayoritas di parlemen. Koalisi yang dibangun lebih didasarkan oleh faktor transaksional. Partai-partai politik harus segera mencermati besarnya proporsi pemilih mengambang (swing voters) yang mempengaruhi peta kekuatan partai politik pada 2014 nanti.

Pertanyaan menariknya, partai mana yang potensial menangguk dukungan swing voters? Inilah yang harus dipotret secara berkala melalui survei sistematik untuk melihat pergerakan dukungan pemilih mengambang. Survei hari ini memang membuktikan Golkar berada di atas, namun dalam waktu 15 bulan ke depan, bukan tidak mungkin muncul kejutan baru akibat migrasi swing voters ke partai lain.

Gejolak Politik Elektoral 2014

Gejolak Politik Elektoral 2014
Burhanuddin Muhtadi;  Pengajar FISIP UIN Jakarta,
Direktur Eksekutif Indikator Opini Publik Indonesia
MEDIA INDONESIA, 28 Januari 2013
BERDASARKAN Surat Keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) No 05/Kpts/ KPU/2013, hanya 10 partai yang lolos verifikasi sehingga bisa berlaga dalam Pemilu 2014. Ke10 partai itu terdiri dari 9 partai yang sudah memiliki kursi di DPR dan 1 partai baru, yakni NasDem. Secara politis, keputusan KPU itu menguntungkan NasDem karena menjadi satu-satunya partai baru yang lolos sebagai kontestan pemilu. Partai-partai yang tidak lolos parliamentary threshold (PT) Pemilu 2009 juga tak ada yang lolos dari lubang jarum.

Jika NasDem mampu memanfaatkan situasi ini, setidaknya ada dua keuntungan politis. Pertama, NasDem bisa melakukan pendekatan kepada partai-partai non-PT dan partai baru yang tidak lolos untuk diajak berkoalisi. Terlebih lagi, muncul kecurigaan politis di kalangan partai yang gagal lolos verifikasi bahwa KPU telah dikendalikan partai-partai lama yang duduk di Senayan sehingga menyebabkan partaipartai baru dan non-PT gagal mengikuti Pemilu 2014.

Kedua, sebagai satu-satunya partai baru yang lolos verifikasi, NasDem bisa membuat diferensiasi yang tegas di mata pemilih. Pemilih akan disodori dua pilihan yang kontras; sembilan partai lama yang sudah ketahuan rekam jejaknya selama ini dengan satu partai baru. Partai-partai lama memang memiliki keunggulan komparatif dari sisi jaringan dan infrastruktur yang sudah terbentuk, sumber daya kader yang telah tersedia, momentum ratusan pemilu kada di sepanjang 2013 ini yang bisa dimanfaatkan partai lama untuk memanaskan mesin politik, dan lain-lain.

Namun, partai-partai lama juga menjadi sasaran tembak sentimen negatif publik. Disilusi dan apati pemilih terhadap kinerja partai yang marak dengan pemberitaan mengenai korupsi elite politik, patronase negatif, konflik internal, faksionalisasi, dan lain-lain, jelas memberi insentif bagi partai baru untuk menegaskan jati diri dan perbedaannya dari partai lama.

Batu Ujian

Karena itu, NasDem seharusnya tak hanya menjual slogan partai baru. Percuma saja jika pencitraan sebagai partai baru yang berorientasi perubahan terus dikumandangkan, tetapi ironisnya spirit dan mindsetnya masih lama. Setidaknya ada beberapa persoalan krusial yang menjadi batu ujian bagi NasDem untuk menegaskan positioning yang berbeda dengan partai lama, yakni rekrutmen pejabat publik, kaderisasi, penyelesaian konflik internal dan faksionalisasi, serta transparansi dan akuntabilitas pendanaan partai.

Sayangnya, baru saja ditetapkan sebagai peserta pemilu 2014, NasDem dihantam isu faksionalisme dan konflik internal yang tak kalah hebat ketimbang partai lama. Pecah kongsi Surya Paloh dan Hary Tanoe membuktikan bahwa meskipun mereka selama ini tidur dalam `ranjang politik' yang sama, mereka memiliki `mimpi' yang berbeda. 
Mundurnya Hary Tanoe yang diikuti elite dan kader-kader lainnya menjadi iklan buruk bagi NasDem. Publik bisa mengambil kesimpulan bahwa NasDem tak ubahnya seperti partai lama karena belum apa-apa sudah terjangkiti virus negatif partai pada umumnya.

Beruntunglah eksodus elite dan kader tersebut segera dinetralkan dengan masuknya tokoh-tokoh ke NasDem, seperti Sekjen DPD Siti Nurbaya, Sekjen DPR Nining Indra Saleh, politikus kawakan Golkar Enggartiasto Lukita, pengacara OC Kaligis, dan kalangan yang mengatasnamakan aktivis `98.

Selain masalah internal, seleksi dan rekrutmen calon legislatif juga menjadi parameter seberapa mampu NasDem menjaring caleg-caleg yang berkualitas, berintegritas, dan memiliki track record yang bersih dari korupsi dan kejahatan HAM. Jika NasDem gagal meyakinkan publik dalam merekrut caleg yang kredibel, partai tersebut akan kehilangan respek di mata pemilih. NasDem hanya akan dilihat sebagai partai yang secara fisik baru, tetapi secara faktual mengidap mentalitas partai lama. Insentif sebagai partai baru bisa dialihkan ke partai lain, atau pemilih lebih cenderung golput karena 10 partai yang lolos sebagai peserta Pemilu 2014 menciptakan oligopoli politik. Pemilih disodori pilihan yang terbatas, dan satu-satunya pilihan baru yang tersedia dinilai publik tak ada bedanya dengan pilihan lama.

Persoalan bisa makin bertambah pelik jika pengadilan tata usaha negara (PTUN) mengabulkan gugatan partaipartai yang dinyatakan gagal verifikasi oleh KPU. Pengalaman pada Pemilu 2009 yang lalu, KPU akhirnya membolehkan empat partai ikut pemilu meski pada awalnya mereka dinyatakan gagal verifikasi.

Sebab-musababnya ialah keputusan PTUN yang mengabulkan gugatan Partai Buruh, Partai Merdeka, Partai Persatuan Nahdlatul Umat Indonesia, dan Partai Sarikat Indonesia. Jika PTUN nanti mengabulkan gugatan partai yang tidak lolos, praktis NasDem tak bisa mengklaim sebagai satu-satunya partai baru. Insentif partai baru atau partai nonparlemen akan terbagi. Selain itu, partai lama juga akan melakukan rebranding dengan menawarkan paket perubahan yang menarik, terlepas dari motifnya sekadar untuk menarik suara di Pemilu 2014.

Dinamika Elektoral

Secara elektoral, semakin sedikit jumlah partai peserta Pemilu 2014, semakin besar peluang partai yang mampu mencapai magic number ambang batas parlemen 3,5%. Pada Pemilu 2009, dari 38 partai peserta pemilu, 29 partai tidak lolos PT. Perolehan 29 partai yang gagal itu mencapai sekitar 19%. Jika 19% suara terbuang itu terbagi secara proporsional ke partai peserta Pemilu 2014 yang jumlahnya makin sedikit, peluang untuk lolos PT di 2014 akan makin besar.

Pemilih akan dihadapkan pada pilihan yang tidak terlalu ekstrem. Suara yang awalnya diberikan ke partai yang tidak lolos verifikasi administrasi maupun faktual bisa saja diberikan ke partai peserta pemilu yang dianggap memiliki kedekatan ideologis, sosiologis, atau historis. Namun, bisa juga terjadi proporsionalitas dukungan dari partai-partai yang tidak lolos verifikasi ke seluruh partai peserta pemilu.

Berdasarkan survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) September 2012, sembilan partai diprediksi lulus PT 3,5%, yakni Golkar (18%), PDI Perjuangan (16%), Demokrat (11%), NasDem (6%), Gerindra (5%), PKS (5%), PKB (4%), PPP (4%), dan PAN (3%). Hanura memang belum aman (1,2%), tapi suara undecided voters bisa menolong Hanura untuk sekadar lolos dari lubang jarum.

Survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada Desember 2012 menunjukkan dinamika politik elektoral lebih terjadi pada Golkar, PDI Perjuangan, dan Gerindra, yang mengalami sentimen positif. Adapun Demokrat masih menghadapi cuaca politik yang tidak bersahabat.

Sebagai partai baru, NasDem memang menciptakan kejutan baru dengan bertengger di jajaran partai menengah. Meski belum pernah mengikuti pemilu, NasDem sudah muncul sebagai kekuatan elektoral baru yang mengancam kenyamanan partai-partai yang sudah mapan. Meski demikian, tren elektabilitas NasDem tidak berubah dari dukungan elektoral sejak Februari 2012. Stagnasi yang sama dialami PPP, PKB, PAN, dan Hanura.

Memang survei perlu di-update, terutama pasca pengumuman KPU tentang 10 partai yang lolos sebagai peserta Pemilu 2014. Namun, berdasarkan simulasi 10 partai yang lolos pun, dukungan elektoral tetap terfragmentasi; kekuatan politik relatif merata dan pemilu tak mampu menghasilkan partai mayoritas yang mampu mencapai single majority di DPR.

Secara faktual-empiris, fragmentasi politik di parlemen tidak berhubungan langsung dengan banyak-sedikitnya peserta pemilu. Pada 1999, dari 48 peserta pemilu, hanya 5 partai (PDI Perjuangan, Golkar, PKB, PPP, dan PAN) yang memperoleh suara 3% atau lebih. Pada 2004, peserta pemilu menyusut menjadi 24 partai, tetapi partai yang mendapatkan 3% atau lebih malah bertambah menjadi 7 (plus dua pemain baru, Demokrat dan PKS). Pada 2009, dari 38 peserta pemilu, partai yang mendapat dukungan 3% atau lebih bertambah lagi menjadi 9 partai, dengan aktor baru Gerindra dan Hanura.

Pemenang pemilu dari waktu ke waktu, makin mengecil juga dari segi persentase suara. Pada 1999, PDI Perjuangan menjadi jawara pemilu dengan perolehan 34%. Lalu Golkar tampil sebagai pemenang pada 2004 dengan mengantongi 22%, dan terakhir Demokrat cukup mengantongi 20,8% untuk memenangi Pemilu 2009. Teori Bandwagon Effect, bahwa pemilih cenderung menjatuhkan pilihan kepada partai yang berpeluang besar menang, kurang terbukti secara empiris.

Di satu sisi, besarnya massa mengambang (swing voters) dan volatilitas dukungan pemilih memberikan insentif elektoral bagi semua partai untuk mendulang suara di 2014. Dinamika elektoral sangat dipengaruhi oleh ke mana suara swing voters akan berlabuh. Tak pernah ada juara pemilu yang mampu mempertahankan kemenangan di pemilu berikutnya. Di sisi lain, Pemilu 2014 potensial akan mengulang episode lama: tiadanya partai mayoritas dan munculnya kekuatan politik yang merata bisa menciptakan kegaduhan permanen di parlemen. ●

Tsunami Politik PKS

Tsunami Politik PKS
Burhanuddin Muhtadi ; Pengajar FISIP UIN Jakarta,
Penulis Buku “Dilema PKS: Suara dan Syariah” (2012)
SINDO, 01 Februari 2013
Dalam acara pelantikan John F Kennedy sebagai presiden Amerika Serikat, seorang penyair besar Amerika, Robert Frost, diundang untuk membacakan puisi. Sebagai eulogi atas puisi Frost, Kennedy berkata: “When power leads man toward arrogance,poetry reminds him of his limitations. When power narrows the area of man’s concern,poetry reminds him of the richness and diversity of existence. When power corrupts, poetry cleanses.” 

Kennedy mengakui bahwa kekuasaan dan politik itu cenderung korup.Ketika politik itu kotor,kata Kennedy,puisilah yang akan membersihkannya. Saya tentu tidak sedang “berdeklamasi” untuk menjelaskan perkembangan mutakhir pascapenetapan tersangka Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq atas dugaan kasus penerimaan suap impor daging sapi oleh PT Indoguna Utama. 

Politik memang bisa mengubah segalanya. Politik dan korupsi laksana dua sisi keping mata uang. Karena itulah, intelektual besar Mesir, Muhammad Abduh, berkata lirih, “Audzubillah min alsiyasah wa al-siyasiyyin” (Saya berlindung dari godaan politik dan kaum politisi). 

Politik Dagang Sapi 

Reputasi politik yang buruk, dalam istilah populer di Indonesia, diringkus dalam kata “dagang sapi.” Inilah pengejawantahan definisi purba tentang politik: siapa dapat apa, kapan, dan bagaimana caranya. Politik itu ibarat dagang sapi, di mana negosiasi, tawar-menawar, dan kompromi menjadi bahasa pengantarnya. Tukar-menukar material, juga seks, menjadi mata uangnya.

Kasus impor daging sapi yang diduga melibatkan Luthfi Hasan membantu kita mengonkretkan abstraksi tentang politik yang jorok. Inilah politik dagang (daging) sapi dalam arti yang sebenarnya. Setidaknya ada dua tafsir yang berkembang untuk menjelaskan kasus ini.

Pertama, penjelasan politik konspiratif. Banyak elite, terutama PKS, yang percaya bahwa penetapan tersangka terhadap Luthfi Hasan adalah bagian dari skenario besar membonsai PKS karena kritisisme mereka selama ini terhadap kekuasaan. Tafsir politik ini diletakkan dalam kerangka politik saling menyandera jelang 2014. 

Memang tak ada kebetulan dalam politik, tetapi mengandalkan sepenuhnya pada plot politik semacam ini membuat kita malas berpikir jernih dan sekadar mencari kambing hitam. Seolah-olah KPK hanyalah alat kekuasaan untuk menyenangkan penguasa. Kita lupa, atau pura-pura lupa, bahwa dua tahun terakhir ini justru elite dari partai penguasa yang paling banyak menjadi pesakitan di KPK mulai dari Nazaruddin, Angelina Sondakh, Hartati Murdaya, dan Andi Mallarangeng. 

Kedua, tafsir hukum. KPK tentu punya alat bukti yang memadai untuk menetapkan status Luthfi Hasan sebagai tersangka. Bukti penyadapan telepon yang diduga melibatkan pejabat di Kementerian Pertanian yang dipimpin kader PKS dengan Luthfi Hasan, penangkapan tangan AF yang diduga kurir orang nomor satu di PKS menjadi amunisi KPK sebelum menetapkan status tersangka. 

Alangkah bodohnya KPK jika menersangkakan seseorang tanpa alat bukti yang cukup. Jika kita mengikuti konstruksi politik-hukum atas kasus ini, kementerian yang rentan menjadi sapi perahan partai. Biaya politik yang mahal adalah hulu korupsi. Kita selama ini sibuk berdiskusi di hilir, tetapi lupa sumber korupsi justru terletak dalam sistem politik berbiaya tinggi.

Desain multipartai plus sistem proporsional terbuka tanpa diikuti rezim pembatasan spending kampanye hanya akan membuat elite partai berubah menjadi monster ganas yang memakan uang rakyat. Kementerian menjadi ajang jarahan untuk memperebutkan komisi dengan menjual lisensi atau proyek kepada pengusaha yang mampu menukarnya dengan insentif tinggi. 

Ujian Besar 

Kasus impor daging ini jelas merupakan tsunami politik bagi PKS.Kasus ini melucuti jantung kredibilitas partai yang selama ini menjual tagline bersih, peduli, dan profesional. Kita harus fair,dibanding partai lain, PKS relatif lebih bersih. Sebelumnya tidak pernah ada dalam sejarah kader PKS yang bermasalah di KPK. Sekarang sekali berurusan dengan KPK langsung melibatkan pucuk pimpinan tertinggi PKS dan bukan tidak mungkin juga menyeret Kementerian Pertanian yang dikuasai kader PKS. 

Secara hukum, kasus ini memang masih jauh dari selesai. Status Luthfi Hasan masih tersangka, tetapi politik memiliki logika dan hukum sendiri. Premis politik seringkali bergerak jauh lebih cepat ketimbang proses hukum. Hukum politik bertumpu pada opini publik yang kadang jauh lebih kejam ketimbang fakta hukum itu sendiri. Benar bahwa opini yang berkembang di media bergantung pada ”kebenaran logis,” sementara fakta hukum berdasarkan pada ”kebenaran empiris.” 

Seorang tersangka koruptor bisa jadi selamat di meja pengadilan yang terhormat, tetapi secara sosial politik, dia sudah kehilangan kepercayaan di mata masyarakat. Selain citra PKS yang lebam, kasus impor daging ini juga potensial meruntuhkan moral kader. Saya melihat banyak sekali kader PKS di tingkat akar rumput yang ikhlas, berjibaku untuk kepentingan partai tanpa dibayar, bahkan mengeluarkan dana pribadi.

Merekalah tulang punggung partai. Jika mereka mengalami demoralisasi, tentu berdampak negatif bagi PKS dalam mencapai target tiga besar pada 2014. Tak cukup dengan doktrin tsiqah qiyadah (percaya terhadap kepemimpinan partai), tetapi PKS harus melakukan terobosan radikal untuk memulihkan citra dan kepercayaan kader. PKS juga harus bersikap terbuka dan membantu KPK membersihkan oknum-oknum partai yang terlibat. 

Inilah ujian besar bagi PKS untuk merebut kembali marwah partai yang rusak akibat kasus daging impor ini. Semoga PKS lolos dari ujian ini agar pemilih masih bisa bermimpi tentang partai politik yang bersih dari virus korupsi.

SBY dan Masa Depan Demokrat Pasca-KLB

SBY dan Masa Depan Demokrat Pasca-KLB
Burhanuddin Muhtadi  ;  Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia,
Peneliti Senior Lembaga Survei Indonesia
MEDIA INDONESIA, 01 April 2013
SBY akan dinilai tidak konsisten dengan ucapannya yang sebelumnya dalam rapat kabinet meminta jajarannya fokus mengurusi negara dan tidak mencurahkan perhatian untuk kepentingan partai.
KONGRES luar biasa (KLB) Par tai Demokrat di Bali berakhir antiklimaks. Perseteruan antar faksi memperebutkan kursi ketua umum pascaditinggalkan Anas Urbaningrum mulai meredup setelah ada rapat di Cikeas sepekan sebelum KLB. Dalam rapat tersebut, muncul kebulatan tekad para ketua dewan pimpinan daerah (DPD) yang `meminta' Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) agar `turun gunung' memimpin langsung apa yang disebut sebagai penyelamatan partai.
Dengan demikian, KLB hanyalah formalitas dari kesepakatan Cikeas. KLB sudah selesai jauh sebelum perhelatan resminya dimulai di Bali. Indikasi `kesediaan' SBY turun kelas menjadi ketua umum ialah dari layanan pesan singkat (SMS) dia yang ditujukan kepada Marzuki Alie sebagai teguran atas `manuver' mengumpulkan DPD dan DPC di Jakarta sebelum KLB. Dalam SMS itu SBY mengatakan, “Sudah cukup lama saya menahan diri. Sekarang tidak bisa lagi. Demi Partai Demokrat yang kita cintai, saya akan mengambil segala risiko.“
Hal itu dipertegas dalam pidato pertamanya pascadipilih secara aklamasi sebagai ketua umum. SBY mengatakan, meski dengan risiko mempertaruhkan citra dan dikritik serta digugat banyak kalangan karena bersedia menjadi ketua umum, dia rela asalkan Partai Demokrat bisa selamat dalam menghadapi Pemilu 2014. Perebutan menuju Demokrat-1 praktis berakhir sejak SBY menyatakan kesediannya. Pertarungan penuh warna yang terjadi dalam kongres di Bandung tidak terulang. Pada saat itu, terjadi empat jenis `perang' yang dilakukan tiap kubu Anas Urbaningrum, Marzuki Alie, dan Andi Malarangeng, yakni perang citra, perang propaganda, perang survei, dan perang memperebutkan restu SBY.
Kesediaan SBY dipilih sebagai ketua umum ibarat sutradara film yang langsung turun gunung menjadi pemain. Calon-calon ketua umum lainnya sudah pasti mundur secara teratur dari gelanggang. Ruang kompetisi praktis tertutup bagi calon lain. Modal sosial, historis, politis, dan elektoral antara SBY dan bakal calon yang lain sangat tidak seimbang. SBY memiliki dua kapital yang tak tertandingi oleh kader lainnya. Pertama, kapital kesejarahan. Bagaimanapun, Partai Demokrat diinisiasi dan didirikan SBY. Kedua, kapital elektoral. Postur Partai Demokrat yang menjelma sebagai pemenang pemilu pada 2009 tak bisa dilepaskan dari peran SBY sebagai pengepul suara.

Krisis Terbesar
Apa yang mendasari kesediaan SBY menerima `pinangan' peserta KLB sebagai ketua umum? Harus diakui, saat ini Partai Demokrat mengalami krisis terbesar dan terberat sejak didirikan pada 9 September 2001. Krisis tersebut bersumber pada tiga hal, yakni krisis soliditas, krisis elektabilitas, dan krisis figur. Sejak dua tahun terakhir, Partai Demokrat mengalami faksionalisasi tajam antarfaksi. Manajemen konflik tak terkelola dengan baik. Strategi komunikasi publik partai berantakan tak keruan. Tiaptiap elite mempertontonkan `aurat politik' partai di depan publik. Ibarat pasangan yang berantem urusan domestik, mereka melakukannya di depan teras rumah sambil teriakteriak ke tetangga agar bertepuk tangan dan bersorak-sorai atas keributan yang mereka bikin sendiri. Kontrol bencana (damage control) tak terkendali.
Akibat mengalami krisis soliditas, Partai Demokrat limbung menghadapi efek Nazaruddin. Setiap faksi bernyanyi sendiri tanpa irama. Muruah partai dipertaruhkan. Satu per satu elite partai terkena efek Nazaruddin. Meski secara faktual, menurut data Kementerian Dalam Negeri dan riset Indonesia Corruption Watch (ICW), rekor korupsi Partai Demokrat masih kalah jauh di bawah Golkar terutama bila dilihat dari sisi keterlibatan kader-kader mereka, Demokrat di mata publik dipersepsi sebagai partai paling korup. Data survei Lembaga Survei Indonesia menemukan, dalam dua tahun terakhir, rata-rata 50% masyarakat menilai Demokrat ialah partai yang paling banyak korupsinya.
Kesenjangan antara data faktual dan persepsi itu dimungkinkan beberapa sebab. Pertama, dari segi teori peran harapan (role expectation), ekspektasi publik terhadap Demokrat dalam memberantas korupsi berbeda jauh ketimbang terhadap Golkar. Jika Golkar melakukan korupsi, `toleransi' publik mungkin lebih rendah karena Golkar sudah dianggap terbiasa melakukan korupsi. Hal itu berbeda dengan Demokrat yang berkoarkoar menjadikan antikorupsi sebagai selling point dalam kampanye Pemilu 2009 lalu, tapi faktanya justru banyak elite partai tersebut yang tersandung kasus korupsi.
Kedua, kasus-kasus korupsi yang mendera Demokrat melibatkan banyak petinggi teras partai seperti Anas Urbaningrum, Andi Mallarangeng, Nazaruddin, Angelina Sondakh, dan Hartati Murdaya. Hal itu berbeda dengan partai lain yang tingkat resonansi kasus korupsinya lebih kecil karena hanya menyangkut kader-kader di tingkat bawah sehingga tidak memiliki nilai berita yang besar. Karena kasus korupsi yang melibatkan elite Demokrat memiliki nilai berita besar dan posisi mereka sebagai the ruling party, tak mengherankan jika media memberi porsi pemberitaan yang tinggi.
Akibatnya, bisa diduga, elektabilitas Partai Demokrat terjun bebas hingga tinggal 8,3% menurut temuan Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) pada Desember 2012. Meski Anas sudah mundur dari kursi ketua umum, elektabilitas Demokrat belum menunjukkan tanda-tanda pulih kembali, setidaknya menurut survei terakhir Lembaga Survei Indonesia. Tampaknya publik menunggu hasil KLB di Bali dan langkah-langkah perbaikan yang dilakukan Demokrat.
Jangankan kader selain SBY, bahkan SBY sendiri pun belum tentu memberi jaminan mampu menyelamatkan Demokrat dari krisis soliditas dan elektabilitas. Namun, setidaknya SBY merupakan kader paling populer di mata publik sehingga masih bisa diharapkan mampu menyelamatkan Demokrat dari tubir jurang. SBY juga masih didengar semua kubu yang bertikai di internal Demokrat sehingga mampu menyamakan barisan partai dalam menyambut Pemilu 2014 yang ada di depan mata.

Ekspresi Keputusasaan
Dari sisi pragmatis dan jangka pendek, pilihan terhadap SBY sebagai ketua umum memang memiliki rasionalisasi yang kuat. Meski demikian, sulit dimungkiri, penempatan SBY sebagai ketua umum merupakan ekspresi keputusasaan, rasa frustrasi, dan kepanikan luar biasa di kalangan internal Demokrat dalam menghadapi badai soliditas dan elektabilitas yang tak kunjung berlalu. Karena sadar opsi yang tersedia makin menyempit, sedangkan pemilu sudah di ambang pintu, SBY yang seharusnya fokus mengurusi negara akhirnya harus dipaksa turun kelas menjadi part-timer ketua umum.
Selain itu, pemilihan SBY sebagai ketua umum mengonfirmasi bahwa Demokrat mengalami krisis kaderisasi dan figur. Terbukti, Demokrat mengalami kemampatan sistem reproduksi kepemimpinan sehingga harus menarik-narik SBY terjun ke gelanggang secara langsung. Tanpa sadar, Demokrat mengakui mereka gagal melahirkan `superstar' baru. Sudah lebih satu dekade partai itu berdiri, tetapi masih juga bergantung pada karisma personal dan magnet elektoral SBY.
Di atas segalanya, ada harga yang harus dibayar mahal oleh SBY karena kesediaan menjadi ketua umum. SBY akan dinilai tidak konsisten dengan ucapannya yang sebelumnya dalam rapat kabinet meminta jajarannya fokus mengurusi negara dan tidak mencurahkan perhatian untuk kepentingan partai. SBY akan dinilai menjilat air ludahnya sendiri. Lagi pula fokus SBY untuk memberikan warisan terbaik di akhir periode kepresidenan nanti akan terganggu oleh urusan kepartaian, apalagi menjelang Pemilu 2014. Jika SBY dianggap kurang maksimal, Demokrat juga akan terkena getahnya karena dianggap menjadi penyebab kinerja pemerintah kurang positif.
Komitmen SBY untuk memimpin Demokrat hanya sampai 2015 tentu harus terus diawasi agar dalam jangka panjang Demokrat mampu menerjemahkan personal appeal SBY ke institutional appeal. Pendekatan sentrifugal seharusnya diinisiasi SBY dengan cara memendarkan kekuatan elektoral yang awalnya berpusat di tubuhnya menjadi kekuatan institusi partai yang dia di rikan. SBY bisa memodifikasi hukum kekekalan energi. Dalam ilmu alam, kekekalan energi tidaklah hilang, tapi hanya berubah menjadi energi dalam bentuk lain. Ketika SBY menularkan kekuatan elektoralnya kepada kader-kader yang lain, energinya tidaklah hilang, tapi justru akan bertransformasi ke dalam energi-energi baru melalui kekuatan institusional Partai Demokrat dan lahirnya magnet-magnet elektoral baru.